Topswara.com -- Baby blues merupakan masalah psikologis yang umum dialami oleh ibu setelah melahirkan.
Kondisi ini menyebabkan ibu lebih emosional dan sensitif, seperti mudah sedih, cemas, lelah, lekas marah, sering menangis, kurang nafsu makan, sulit tidur, dan sulit konsentrasi.
Yang mencengangkan adalah fakta bahwa dari hasil penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami baby blues.
Bahkan, menurut data laporan Indonesi National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023, menyebutkan bahwa gangguan kesehatan mental pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini di Indonesia menjadi tertinggi ketiga di Asia.
Psikolog dan Ketua Komunitas perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) Maria Ekowati mengatakan, kondisi baby blues biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meskipun perempuan sudah lama mempersiapkan diri sebagai calon ibu.
Maria juga mengatakan bahwa kondisi baby blues parah juga bisa dialami wanita yang hamil karena “kecelakaan” hingga berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis atau mengalami KDRT (Republika, 28/05/2023).
Selain faktor hormonal, kurang istirahat, sulit beradaptasi dari kehidupan sebelum dan sesudah menjadi ibu, ataupun memiliki riwayat gangguan mental.
Namun, ternyata ada faktor yang lebih krusial yang turut mempengaruhi tingginya angka baby blues ini, yakni beban berat hidup di sistem sekularisme kapitalisme seperti saat ini. Tidak dipungkiri, sistem sekuler dimana peran agama dijauhkan dari kehidupan, telah menjadikan manusia jauh dari keimanan.
Maka wajar jika masyarakat, khususnya generasi muda saat ini mudah stres, depresi dan putus asa. Tidak sedikit remaja yang nekat bunuh diri kala masalah datang menghampiri.
Maka tidak heran jika kelak saat ia menjadi orang tua, khususnya ibu, jiwanya rapuh, dan tentunya sulit mencetak generasi tangguh. Ditambah lagi beban hidup yang berat akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Yang kaya makin kaya, yang miskin kian merana. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, juga biaya pendidikan dan kesehatan kian mahal.
Sedangkan lapangan pekerjaan sulit, bahkan angka pengangguran kian melejit. Hal ini berpengaruh pada kondisi para ibu, hingga akhirnya terpaksa memutar otak agar dapur tetap ngebul, bahkan berlelah-lelah demi mencukupi nafkah keluarga.
Belum lagi banyaknya masalah keluarga, kasus KDRT, perselingkuhan dan perceraian. Terbayang, sudahlah lelah secara fisik, lelah pula batinnya.
Wajarlah jika banyak ibu yang menderita hingga mengalami baby blues syndrome parah setelah melahirkan. Tentu ini tidak bisa kita biarkan.
Bagaimana nasib ibu dan calon ibu jika terus menerus seperti ini? Bagaimana pula generasi kedepan bisa menjadi penerus peradaban. Maka perlu upaya bersama agar kondisi seperti ini bisa terselesaikan.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar, semestinya tidak sulit menyelesaikan permasalahan baby blues ini.
Karena Islam adalah agama sekaligus way of life (jalan hidup) yang mempunyai seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna. Mulai dari masalah akidah, ibadah, akhlak, muamalah, pendidikan, kesehatan, peradilan, sosial, pemerintahan dan sebagainya.
Islam menjadikan akidah (keimanan) sebagai pondasi kehidupan. Dan hal inipun diterapkan dalam sistem pendidikan. Sehingga akan lahir generasi berkepribadian Islam yang tangguh dan berkualitas.
Serta mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, khususnya para ibu yang kelak menjadi madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Landasan iman ini akan menjadi kekuatan dalam jiwanya. Sehingga setiap lelah dan ujian yang melanda tak menjadikannya lemah, namun menjadi ladang pahala yang kelak berbuah surga. Inilah kekuatan ruhiyah yang menjadikan para ibu tidak mudah rapuh.
Sehingga dari rahimnya, lahirlah generasi-generasi tangguh. Selain sistem pendidikan berbasis akidah, Islam pun akan mewujudkan kehidupan yang sejahtera dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam.
Dimana negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warganya, mulai dari sandang, pangan, papan, juga pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara pun wajib menyediakan lapangan kerja bagi para ayah, sehingga mudah dalam mencari nafkah untuk keluarga.
Dan yang tidak kalah pentingnya, negara pun wajib menciptakan kehidupan masyarakat yang taat dan jauh dari maksiat. Masyarakat yang saling peduli, empati, penuh kasih sayang dan tolong menolong dalam kebaikan.
Tentunya hal ini dapat terwujud dengan masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar. Maka, di sinilah peran penting negara untuk mewujudkan semuanya dengan diterapkannya Islam secara kaffah.
Sehingga masyarakat, khususnya para ibu menjadi sehat lahir maupun batinnya. Juga fenomena baby blues bisa teratasi hingga ke akarnya.
Kondisi saat ini sangat berbeda dengan para ibu yang dilahirkan dari sistem Khilafah. Mereka sosok yang begitu memahami peran strategisnya yakni sebagai ummu warabatul bait.
Hal ini akan menuntut seorang ibu menjadi pendidik utama dan pertama putra putrinya, serta sebagai pengatur rumah tangga suaminya. Tidak hanya peran strategis mereka juga paham peran politisnya sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kewajiban melakukan amar maruf nahi mungkar dalam kehidupan umum.
Keberhasilan menjalankan dua peran inilah yang akan menentukan kualitas generasi sebuah peradaban. Terbukti sepanjang sistem Khilafah berdiri selama 13 abad begitu banyak teladan sosok ibu yang berhasil menjalankan perannya sebagai seorang ibu.
Seperti ibu dari para shahabiah yang senantiasa menyiapkan anaknya menjadi mujahid. Ibu yang begitu sabar mendidik anak-anaknya hingga menjadi ulama terkemuka maupun ibu-ibu yang luar biasa mendidik anaknya menjadi sosok khalifah terbaik untuk umat.
Keberhasilan ini tidak akan hadir dengan sendirinya. Khilafah sebagai institusi juga turut andil dalam menyiapkan generasi mereka. Melalui sistem pendidikan Islam, khilafah berhasil mencetak para generasinya memiliki kepribadian Islam yaitu terwujudnya pola pikir dan pola sikap islami.
Tidak hanya itu generasi akan dididik untuk menguasai tsaqafah dan IPTEK sehingga mampu menyelesaikan semua masalah kehidupan dengan keilmuan mereka.
Bahkan menurut Syekh Atha’ Khalil Ar Rustah dalam kitabnya dasar-dasar pendidikan dalam negara khilafah, kurikulum pendidikan daulah khilafah secara khusus akan menyediakan mata pelajaran kerumahtanggaan. Mata pelajaran ini dikhususkan bagi para perempuan untuk menjadi seorang ibu. Begitulah masyarakat dalam sistem khilafah.
Masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap sesama sehingga terbentuklah support system untuk para ibu dalam menjalankan perannya dengan optimal.
Demikian juga untuk laki-laki akan dididik menjadi suami yang peduli, menyayangi dan mendukung istri sesuai tuntunan syariah. Seperti inilah lingkungan yang dibutuhkan bagi para calon ibu dan ibu sehingga mereka tidak merasa sendirian atau merasakan tertekan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.
Dengan support system yang penuh dan dukungan semua pihak, ibu bisa menjalankan perannya. Hanya saja lingkungan yang demikian tidak mungkin terwujud dalam sistem sekularisme seperti saat ini yang sudah jelas menyebabkan kondisi baby blues makin parah.
Kondisi ideal dalam mengurus, mengasuh dan mendidik anak hanya bisa terwujud dalam naungan daulah khilafah islamiah. Dengan demikian hanya di bawah kekuasaan Islam akan tertanam kesadaran pada benak perempuan tentang peran penting sebagai pengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak mereka.
Tidak hanya bagi seorang ibu, tetapi suami, keluarga besar dan lingkungan sekitar juga akan menjadi support system bagi optimalnya tugas seorang Ibu. Dengan begini maka akan terbentuklah satu bangunan keluarga yang kokoh dimana di dalamnya ayah dan ibu menjalankan perannya dengan kesungguhan dan kepedulian yang tinggi.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar