Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Angka Baby Blues Tinggi, Ada Apa dengan Kesehatan Mental Ibu Masa Kini?


Topswara.com -- Bagi setiap perempuan, sudah sunnatullah jika tiba pada fase menjadi seorang ibu. Namun kadang kala amanah tersebut menjadi momen yang tidak mudah ketika harus menjalankan peran barunya tersebut. Sebab tidak jarang, ibu mengalami perubahan suasana hati secara drastis hingga mengalami baby blues syndrome. 

Baby Blues Syndrome adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pascamelahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan.

Dilansir dari Republika, 28/05/2023 gangguan kesehatan mental tinggi pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini di Indonesia. Di Lampung, 25 persen wanita setelah melahirkan mengalami gangguan depresi. Hal ini terungkap dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023.

Selain itu, dari hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi pascamelahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50—70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Angka ini menjadi tertinggi ketiga di Asia.

Tingginya kasus baby blues ini menggambarkan bahwa kondisi kesehatan mental ibu saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, seperti sulit beradaptasi dari kehidupan sebelum dan sesudah menjadi ibu, perubahan hormon, kurang istirahat lantaran waktu tidur yang tidak teratur, ataupun memiliki riwayat gangguan mental.

Menurut Maria Ekowati, Psikolog dan Ketua Komunitas perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) mengatakan, kondisi baby blues biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meskipun perempuan sudah lama mempersiapkan diri sebagai calon ibu. Maria juga mengatakan bahwa kondisi baby blues parah juga bisa dialami wanita yang hamil karena “kecelakaan” hingga berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis atau mengalami KDRT. 

Selain faktor tersebut, ada faktor yang lebih krusial lain yang turut memengaruhi tingginya angka baby blues pada populasi ibu hamil dan menyusui, yakni kesiapan menjadi orang tua dan memikul tanggung jawab baru dalam mengurus anak-anak, terutama dalam rusaknya sistem sekuler saat ini.

Sebab, kesiapan menjadi orang tua tentunya tidak terbentuk secara instan dan tiba-tiba. Tidak cukup pula hanya dengan pelatihan pranikah dari KUA menjelang hari pernikahan. Melainkan, ada proses panjang untuk membentuk setiap perempuan agar siap menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anak mereka, yakni proses pendidikan dari usia dini hingga dewasa.

Hal inilah yang disayangkan ketika kurikulum pendidikan Indonesia tidak menjadikan kesiapan menjadi orangtua sebagai salahsatu kompetensi yang harus dimiliki. Bahkan mirisnya pendidikan Indonesia justru jauh dari nilai-nilai agama yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup. 

Akibatnya timbullah ketaksiapan generasi muda memikul tanggung jawab sebagai orang tua dan menjadi pribadi generasi yang tak siap bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Na'udzubillah! 

Seperti yang terjadi hari ini, generasi muda seolah menjadi generasi bermental “kerupuk”, diuji dengan sedikit cobaan dan musibah mereka mudah goyah, stres, dan rentan depresi serta bunuh diri.Ini karena kurikulum sistem pendidikan kita menjauhkan manusia dari aturan agama Islam. 

Makna agama dipersempit pada pelaksanaan ibadah ritual semata, bukan untuk mengatur dan menjadi solusi problematika umat. 

Disadari atau tidak, kehidupan sekularisme kapitalistik saat ini telah merenggut kesehatan mental individu. Remaja mengalami gangguan mental karena nilai-nilai sekuler liberal menjadi kiblat gaya hidup mereka. 

Akibatnya, banyak di antara remaja mengalami stres hingga depresi dalam setiap masalah yang menghampiri, bahkan bunuh diri dianggap sebagai solusi terbaik.

Di sisi lain, banyaknya ibu yang mengalami gangguan kesehatan mental dipicu oleh sistem kapitalisme. Bagaimana ibu mau sehat mentalnya dan fokus mengurus anak jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja begitu susah? Bagaimana pula ibu bisa berpikir jernih dan tidak terbebani jika sistem kapitalisme mempersulit para ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya? 

Faktanya, bahkan beberapa kasus ibu atau orang tua yang membunuh anak kerap dipicu kehidupan ekonomi yang kian berat.

Namun jika kita kembali kepada penerapan syariat Islam sebagai solusi, sejatinya kondisi baby blues syndrome ini bisa dicegah sejak dini, yaitu dengan menyiapkan sistem pendidikan dan supporting system, dalam hal ini negara sebagai pembuat kebijakan. 

Kurikulum pendidikan Islam sangat komprehensif dan sesuai fitrah manusia sehingga mampu menyiapkan setiap individu mengemban peran mulia sebagai orang tua, termasuk menjadikan orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya kelak.

Dengan sistem politik ekonomi Islam yang menyejahteraka, tingginya tingkat stres dan beratnya beban hidup akan teratasi karena negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. 

Bahkan negara menggratiskan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap rakyatnya. Sehingga dengan begitu jika ayah mendapat kemudahan mencari nafkah, ia bisa menghidupi keluarganya dengan baik. Kaum ibu juga tidak perlu bekerja demi membantu perekonomian keluarga.

Selain itu, negara mengontrol dan mengawasi media agar tidak tersebar tayangan, berita, dan konten yang berbau kekerasan, eksploitasi seksual, pornografi, dan segala hal yang merusak kepribadian generasi.

Lingkungan sosial masyarakat yang Islami akan menjadi supporting system yang bisa menjaga aktivitas individu masyarakat. Negara menciptakan kehidupan masyarakat yang bersih dari kemaksiatan sehingga terwujud masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar, serta saling menolong dan menyayangi antarsesama.

Begitu indah rahmat syariat Islam ketika diterapkan oleh negara secara kaffah (menyeluruh). Terbukti selama 13 abad Islam memimpin peradaban dunia, telah banyak melahirkan tokoh perempuan sebagai ibu tangguh, muslimah cerdas, dan mencetak generasi saleh/salihah.

Kemaksiatan dan kriminalitas akan menurun seiring mewujudnya masyarakat yang bertakwa dan berada dalam suasana iman yang kokoh. Peradaban Islam membangun masyarakat yang peduli sehingga support sistem terwujud optimal dalam masyarakat Islam. 

Oleh sebab itu, sudah saatnya kita mengadopsi sistem Islam yang sudah terbukti keberhasilannya dan mencampakkan peradaban kapitalis sekuler yang nyata rusaknya. 

Wallahua'lam bish-shawwab.[]












Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar