Topswara.com -- Seringkali sebagai orang tua kita lupa ketika usia anak kita bertambah, karakter mereka juga tumbuh dan berkembang. Intelektual dan emosional mereka tentu juga berubah. Sayangnya, ingatan yang sering nempel pada otak orang tua adalah anak kita ya masih anak-anak. Tidak beda umur 10 tahun dengan 17 tahun.
Disanalah letak persoalan kita dengan si bujang dan gadis. Saat memberikan nasihat atau teguran, seringkali orang tua masih pakai template yang sama, alias model yang serupa dengan saat mereka masih pakai seragam merah putih.
Akibatnya muncullah konflik-konflik kecil dengan mereka. Repotnya, begitu anak kita berargumen, orang tua langsung berpikir kalau anak ini pembangkang. Padahal yang terjadi kita keliru memilih uslub/teknik menasihati atau menegur mereka.
Harus diakui, anak-anak prabaligh lebih mudah diarahkan karena intelektual dan emosional mereka yang masih terbatas. Kalimat perintah dan larangan yang bersifat langsung seperti, “Shalat, nak!” atau “Simpan sepatumu di rak!” mudah diberikan dan mereka kerjakan tanpa banyak perdebatan.
Tetapi begitu masuk usia baligh orang tua sering khilaf kalau kecerdasan si bujang itu bertambah. Bacaan, tontonan, dan pergaulan memperluas cakrawala berpikir mereka dalam mengambil keputusan.
Kalau dulu mereka hanya mendapatkan informasi melulu dari orang tua, sekarang banyak sumber informasi yang mereka dapat. Banyaknya informasi yang didapat, otomatis memberi mereka banyak pilihan yang bisa diambil, bukan cuma dari satu pintu, orang tua.
Naiknya usia juga membuat naluri pertahanan diri anak bertambah. Dulu mereka manut saja disuruh tidur siang, tapi mana bisa membuat anak bujang atau gadis tidur siang atau mandi pagi seperti waktu SD. Dulu mereka nurut saja dipotong rambut gaya selera orang tua, tapi begitu jadi jejaka dan gadis mereka merasa punya hak memilih potongan rambut sendiri.
Itu semua normal ayah bunda. Mereka tidak salah. Itu sunnatullah. Satu-satunya yang salah adalah kita, orang tua, masih pakai uslub yang sama dengan sepuluh tahun lalu pada si bujang dan gadis yang sekarang umurnya tujuh belas tahun!
Belajar dari Al-Qur’an
Silakan ayah bunda baca Al-Qur’an akan mendapati cara para Nabi yang luar biasa saat berdialog dengan putra-putra mereka. Al-Qur’an sendiri punya cara yang amazing saat berdialog dan mengingatkan kita. Saat Nabi Ibrahim as. melaksanakan perintah Allah untuk menyembih putranya, Ismail as., beliau menggunakan cara bertanya;
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (TQS. ash-Shaffat: 102)
Ada beberapa penafsiran tentang lafadz “falamma balagha ma’ahu as-sa’ya”. Ada yang menafsirkan ketika Ismail sudah sanggup bekerja membantu ayahnya. Sedangkan Imam al-Farra menafsirkannya ketika berusia tiga belas tahun.
Bisa kita tarik ibrah, Nabi Ibrahim as. mengajak dialog putranya melaksanakan perintah Allah ketika ia sudah berusia matang. Nabi Ibrahim tidak memberikan perintah tapi Ismail as. memahami dari pertanyaan itu sudah terkandung perintah Allah. Maka Ismail as. menjawab:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Gunakan Uslub Sesuai Usia Mereka
Ada beberapa tips yang semoga bermanfaat dalam memberikan nasihat ataupun teguran pada si bujang. Supaya nasihat dan teguran kita mereka terima, tanpa membuat hati mereka tertekan atau marah.
Pertama, jadilah pendengar yang baik. Sepele tapi orang tua sering abai. Biasanya nih, anak baru cerita sepuluh kalimat, orang tua sudah langsung menyimpulkan; kamu salah! Situasi ini nggak enak, kan kalau terjadi pada kita. Suami baru cerita separuh, istri sudah mendebat. Wow, terbayang seperti apa situasinya.
Kondisi yang sama juga terjadi pada jiwa anak. Akhirnya ia merasa selalu disudutkan orang tua dan selalu merasa salah di mata orang tua. Apalagi nih, orang tua senang bicara begini, “Kami ingin yang terbaik buat kamu” atau, “Orang tua tuh udah pengalaman banyak” atau “Nggak mungkin kami orang tua kasih nasihat yang salah, nasihat kami tuh pasti benar.”
Lho, siapa yang memastikan orang tua selalu benar?
Apa iya yang terbaik versi orang tua pasti terbaik menurut anak?
Meski maksud orang tua benar, tapi di sana terkandung egoisnya kita. Jujur saja.
Dear, ayah bunda, sadar nggak sih kalau itu bisa menjatuhkan mental anak? Lebih fatal lagi bila kemudian anak beringsut-ingsut menjauhi orang tuanya dan…menjauhi agamanya (Islam)
Dengarkan dulu seutuhnya cerita si bujang dan gadis, baru menyimpulkan dengan baik. Setiap manusia apalagi yang dewasa senang bila memiliki sosok yang mau mendengarkan cerita mereka.
Kedua, hindari bersikap agresif. Kadangkala kita bernafsu memberi nasihat atau teguran pada anak. Akhirnya si bujang merasa diserang, lalu membela diri dengan berargumen. Saat itu orang tua biasanya justru terpancing untuk semakin agresif.
Kondisi ini tidak positif untuk mental anak. Ini akan membuat dua keadaan; ia akan patah arang dan hilang respek pada orang tua, atau melawan! Keduanya sama-sama negatif. Tetaplah memberi nasihat dengan santun, nada penuh kasih sayang, bukan sedang berdebat layaknya panelis di Indonesia Lawyer Club (hehehe).
Ketiga, gunakan gaya istifham al-inkari. Salah satu cara yang dipakai Al-Qur’an dalam memberikan tausiyah pada umat manusia adalah dengan istifham al-inkari, yaitu menanamkan pemahaman dengan suatu pertanyaan yang bersifat pengingkaran. Misalnya:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? (TQS. al-‘Ankabût: 2).
Jawaban atas pertanyaan ayat di atas pastinya: pasti mereka akan diuji!
Contoh lain:
Apakah (kamu hendak mengubah nasib) orang-orang yang telah pasti ketentuan azab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang yang berada dalam api neraka? (TQS. az-Zumar: 19).
Mengapa uslub seperti ini tepat untuk si bujang dan si gadis, karena pertanyaan seperti mengajak mereka berpikir dan menyentuh perasaan mereka tanpa menyudutkan mereka. Misalnya ketika melihat kamar mereka berantakan, kita bisa bertanya, “Bang, mau ayah ajarkan cara merapihkan kamar?” Itu lebih mengena tanpa menyudutkan ketimbang kalimat, “Kamar kamu berantakan banget, gimana bisa ngurus orang lain, kalau ngurus diri sendiri aja nggak bisa?”
Atau saat mengajarkan mereka agar tidak kecanduan bermain ponsel bisa kita tanya, “Mas, hafalan Al-Qur’an kita bertambah atau nggak sih kalau berjam-jam main hape?” ini jauh lebih baik ketimbang, “Kamu tuh pengangguran banget sih kerjanya cuma main hape setiap hari.”
Keempat, beri ruang kepercayaan padanya. Di zaman yang penuh pergaulan aneh-aneh tawuran, narkoba, lgbt tanpa disadari kita terjebak pada kondisi paranoid. Ketakutan berlebihan, sedikit ataupun banyak. Pengaruhnya pada kita adalah dengan membatasi ruang gerak mereka. Orang tua minim memberikan kepercayaan pada anak.Bila sudah begini, anak merasa tidak nyaman. Ia pun berargumentasi, dan kita mencapnya membangkang.
Yang bisa kita lakukan adalah memberikan ruang kepercayaan yang cukup dengan rambu. Misalnya kita tahu di antara kawannya ada yang kurang baik perilakunya, cukup kita sampaikan, “Ayah lihat si fulan kurang baik omongannya kotor dan sepertinya malas shalat. Kita boleh saja berteman dengan orang-orang seperti itu, tapi jangan dijadikan sahabat dekat. Cukup kenal saja.”
Kelima, jangan bertele-tela dan berulang-ulang. Orang dewasa manapun akan tersudutkan bila sering diberikan nasihat yang sama berulang-ulang dan panjang. Kebiasaan kita sebagai orang tua, justru hobi melakukan hal itu pada anak.
Akhirnya anak akan defensif dan malas mendengarkan. Ada sebagian anak yang memilih diam tapi bukan karena patuh, tapi karena malas menanggapi. Mereka jadi tidak respek pada orang tua.
Yang bisa kita lakukan manakala si remaja melakukan kesalahan berulang, cukup mengingatkannya dengan kalimat singkat, seperti, “Ayah sudah kasih tahu kan, kalau perbuatan itu merusak?” atau “Perlu nggak Umi ulang nasihat untuk kamu soal masalah ini?”
Anak akan terdiam tapi merasa bila perbuatannya salah tanpa kemudian kehilangan rasa hormat pada ayah dan bundanya. Beda dengan keadaan bila orang tua dengan agresif mengulangi lagi nasihat yang sama. Ia akan merasa dipojokkan ketimbang diberikan pelajaran.
Terakhir, tetaplah dukung dia untuk berubah lebih baik lagi. Meskipun Anda sampai bertengkar dengan anak, tapi setelah itu rangkul dan dukunglah. Pegang tangannya atau tepuk bahunya, sambil katakan, “Umi percaya kamu bisa lebih baik lagi”, atau “Ayah doakan kamu selalu dalam lindungan Allah.”
Yuk, mulailah mengubah cara kita mendidik si bujang dan si gadis agar mereka tumbuh menjadi batang yang kuat dan kokoh, dan tidak patah sebelum tumbuh berkembang[]
Oleh: Ustaz Iwan Januar
Direktur Siyasah Institute
Sumber : iwanjanuar.com
0 Komentar