Topswara.com -- Belum reda panasnya isu transaksi janggal dengan nilai fantastis Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Destiawan Soewardjono menjadi tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan.
Kasus korupsi terus berseliweran di negeri ini. Kita juga masih ingat Gubernur Papua yang mencapai ratusan miliar rupiah. Sepanjang periode 2004-2022 KPK sudah menangani sebanyak 430 kasus atau 31,82 persen dari total kasus 19 tahun terakhir.
Korupsi bukan hanya cerita yang terjadi di negeri ini. Pada tahun 2006, Siemens AG perusahaan teknologi ternama Jerman telah menyuap pemerintah dan pegawai negeri di seluruh benua, hingga US$1,4 miliar AS. Viktor Yanukovych, saat menjadi Presiden Ukraina menggelapkan uang Ukraina sebesar US$40 miliar.
Mantan eksekutif Walmart de Meksiko diduga pada bulan September 2005 telah membayar suap kepada pejabat di seluruh Meksiko untuk mendapatkan izin konstruksi; William J.
Jefferson, mantan wakil Demokrat dari Louisiana, menyuap pemerintah Afrika untuk kepentingan bisnis.
Perusahaan Hewlett Packard membayar sekitar USD 10.900.000 uang suap antara 2004 dan 2006 kepada Jaksa Agung Rusia untuk memenangkan kontrak € 35.000.000 dolar untuk memasok peralatan komputer di seluruh Rusia, antara 1995 dan 2004, perusahaan patungan TKSJ yang terdiri
Technip SA, Snamprogetti Belanda BV, Kellogg Brown and Root Inc (KBR), dan
JGC Corporation memenangkan empat kontrak di Nigeria senilai lebih dari USD
6 miliar sebagai akibat langsung dari pembayaran USD 51 juta kepada Marubeni
yang akan digunakan untuk menyuap pejabat pemerintah Nigeria (Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi dan Perpajakan, Vol.1, No.1, April 2018).
Negara sekaliber Amerika Serikat juga tidak luput dari banyaknya kasus korupsi. Sebut saja yang booming adalah skandal Watergate, skandal Enron dan masih banyak lainnya dengan nominal yang fantastis.
Beberapa waktu lalu dunia dan masyarakat Indonesia gempar saat International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) mempublikasikan Pandora Papers, di mana ratusan nama politisi dan pejabat publik dari berbagai negara termasuk dari Indonesia yang diduga melakukan penggelapan atau menghindari kewajiban pajak.
Orang-orang penting yang banyak berbicara atas nama Pemerintah maupun pengusaha besar Indonesia muncul dalam deretan nama yang disebutkan di situ.
Seakan merata, tindak korupsi atau yang serupa dengan korupsi seolah sudah menjadi habit para penguasa yang melibatkan pengusaha (capital) besar yang dekat dengan kekuasaan. Suap dari pengusaha kepada pejabat tertentu untuk memuluskan suatu proyek merupakan modus yang paling banyak dilakukan.
Mahalnya Demokrasi
Hajatan politik Indonesia tahun 2024 telah disepakati anggarannya senilai Rp 76, 6 triliun. Angka ini bukanlah nilai yang kecil, apalagi di tengah kondisi ekonomi rakyat yang tidak sedang baik-baik saja.
India menghabiskan uang saku negara berkisar berkisar Rp 119,8 triliun hingga Rp 209,6 triliun untuk melaksanakan Pemilu 2019. Sedangkan Amerika Serikat pada Pemilu 2020 habiskan Rp 205,4 triliun. Brasil pada Pemilu 2018 menghabiskan uang Rp 24 triliun (kompas.com, 12/10/2022).
Ipang Wahid, Konsultan Komunikasi Politik menyebutkan biaya capres-cawapres untuk tahun 2024 bisa mencapai angka Rp 500 juta perhari (indotnesia.suara.com, 20/04/2022).
Anggaran terbesar adalah untuk promosi dan kampanye yang dilakukan dengan berbagai cara. Ini angka yang sangat fantastis yang tidak mungkin didapat dari hasil rogohan kocek pribadi sang calon semata.
Di luar dari jabatan yang diperoleh dari proses politik pemilihan yang berbiaya tinggi, sebagian pejabat suatu instansipun menampilkan life style ‘wah’ dirinya maupun keluarganya. Wajarlah masyarakat bertanya-tanya, darimanakah sumber kekayaan mereka?
Menghentikan Korupsi
Menyusul ramai perilaku flexing alias pamer kekayaan oleh pejabat atau keluarganya, ada himbauan agar mereka tidak lagi melakukan aksi pamer tersebut. Tentu saja ini jauh dari solusi, sebab bukan itu akar masalahnya.
Jika ada yang mengatakan demokrasi adalah investasi, maknanya “tidak mengapa berbiaya mahal bukankah ini demi masa depan negara”, pertanyaannya adalah masa depan yang bagaimana? Jika biaya mahal ini lekat dengan pusaran oligharki yang berdampak penyimpangan dari tujuan kekuasaan itu sendiri.
Kekuasaan adalah sarana untuk melayani rakyat dan kekuasaan sebagai amanah yang kelak dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT setiap detilnya.
Di dalam kehidupan kapitalisme demokrasi, jabatan dan kekayaan dijadikan sumber kebahagiaan. Jabatan dan harta merupakan prestise dan status sosial yang berkelas. Bahkan jabatan merupakan jalan untuk mengumpulkan banyak kekayaan.
Pasalnya, kapitalisme-demokrasi menyingkirkan agama (Islam) dari arena kehidupan bernegara, dimana Islam mengajarkan sumber kebahagiaan adalah ridha Allah SWT. Penentu benar atau salah adalah manusia.
Praktiknya, dibutuhkan proses pemilihan untuk menentukan siapa yang berkuasa bahkan terjadi saling berebut untuk berkuasa dikarenakan kekuasaan menjanjikan kekayaan yang luar biasa. Hadirlah di titik ini, pihak yang menyokong kekuasaan dengan kemampuan kapitalnya yang menanti ‘imbalan’ saat nanti orang itu berkuasa.
Beberapa hal yang mesti dilakukan yaitu : pertama, merevolusi pemahaman manusia bahwa kekuasaan dan jabatan merupakan amanah yang akan dipertanggung jawabkan secara akurat kelak di hadapan Allah SWT, ini hanya bisa muncul dari landasan iman.
Kedua, negara membina ketakwaan individu rakyat secara simultan sehingga menjadi sosok yang bertakwa, tentu saja hal ini mengharuskan negara mesti mengadopsi perspektif takwa.
Ketiga, menerapkan sistem politik Islam yang menjadikan Allah SWT sebagai pembuat hukum bukan manusia, sehingga hukum dan undang-undang tidak bisa dimainkan untuk kepentingan pihak tertentu seperti di dalam sistem kapitalisme demokrasi.[]
Oleh: Munajah Ulya
(Pemerhati Hukum dan Sosial Kemasyarakatan)
0 Komentar