Topswara.com -- Mendidik anak agar mendapatkan ketangguhannya perlu dibangunkan pondasi yang kokoh dan lurus karena pondasi menentukan bangunan yang dibangun di atasnya.
Seperti halnya ketika kita hendak membangun pondasi rumah, bangunan diatasnya tergantung pondasi tersebut. Bila pondasinya datar maka bangunan di atasnya akan datar, bila pondasinya miring maka bangunannya juga miring.
Bila pondasinya kokoh bangunannyapun akan kokoh, jika pondasi rapuh bangunnya akan cepat ambruk. disinilah pondasi itu sangat penting untuk diperhatikan dengan serius.
Begitupun jika orang tua hendak meletakkan pondasi dalam mendidik anak-anaknya, lemah atau kuat, kokoh atau rapuh, tangguh atau loyo bangunan kepribadian Islam ananda dipertaruhkan pada pondasi tersebut.
Dalam pendidikan Islam pondasi itu adalah akidah Islam. Akidah Islam harus dipastikan benar, lurus, murni, bening, kokoh, membangkitkan agar bangunannya akan berdiri sesuai pondasinya.
Pastikan pemikiran-pemikiran yang membangun akidah anak adalah pemikiran yang benar tidak ada campuran pemikiran-pemikiran asing di luar akidah Islam, kalau tidak demikian akidahnya akan rapuh.
Akidah Islam ditanamkan pada anak melalui proses berpikir rasional tentang kebenaran, kebenaran itu harus muthlak, dan juga melalui sentuhan naluri tadayyun (beragama) secara bersamaan.
Anak merasakan dirinya lemah, kurang dan mengagungkan keberadaan Allah dalam jiwanya. Maka urgen mendidik anak dengan jalan proses berpikir terlebih dahulu. Untuk mendapatkan sebuah kebenaran maka orang tua wajib memahami dengan baik apa itu berpikir.
Syarat berpikir itu ada empat, yaitu fakta, indera, otak dan ma’lumah sabiqah (informasi sebelumnya). Jika anak mampu mengikat informasi yang diberikan dengan fakta maka saat itulah terjadi aktifitas berpikir, saat itulah anak paham dan saat itu pula anak berpikir tentang kebenaran, dimana kebenaran itu adalah sesuai kenyataan, informasi yang diberikan sesuai kenyataan.
Tentu ini adalah proses berpikir yang terjadi pada fakta yang dapat diindera langsung oleh anak, syarat dua indera saja yaitu mata dan pendengaran anak sudah bisa melakukan proses berpikir.
Tataran ini level berpikir anak baru level berpikir paling bawah. Orang tua tidak cukup mengantarkan anak berpikir pada sesuatu yang dapat diindera langsung saja, namun lebih dari itu adalah berpikir mendalam pada perkara-perkara yang tidak tampak atau perkara yang ghaib.
Misalkan anak kita hadirkan fakta tentang ikan, maka ketika nak mampu menyebutkan setiap ada fakta ikan itu adalah ikan maka anak sudah dapat mengikat fakta dan informasi.
Ketika kita sudah memberikan informasi ini ikan sungai, ini ikan laut, ini ikan mas, ini ikan nila,ini ikan gurame dan ini lele dan anak bisa menyebutkannya ketika inderanya bekerja melihat ikan-ikan tersebuat dan mampu menyebutkan seluruh nama-nama ikan tesebut, maka anak sudah berpikir, suddah paham dan semua itu adalah kebenaran.
Namun tidak cukup sampai disitu anak harus digiring berpikir tentang apa yang tidak tampak, apa yang ada dibalik ikan. Misal tentang khashiyah ikan, gizi yang terkandung dalam ikan, protein yang terkandung dalm ikan.
Tataran ini riset itu berjalan dan anak butuh dalil. Bahkan sampai pada satu pemikiran siapa pencipta protein yang ada dalm ikan, siapa yang mengatur protein itu bisa bekerja untuk membangun sel-sel dalam tubuh manusia.
Jika sudah sampai jawabannya adalah Allah maka level inilah akidah Islam itu bisa ditanamkan dan sentuhan bahwa manusia lemah dari penciptaan dan pengaturan itu semua.
Tidak sampai hanya di level itu, tapi juga naik ke level kemustaniran (kecemerlangan) berpikir anak ketika informasi yang diberikan dapat digunakan oleh anak untuk menilai benda, menilai perbuatan dan menilai pemikiran atau ide.
Ketika anak mampu menjawab dan bersikap bahwa ikan yang dihadapannya itu bisa dimakan jika jelas halal dan haramnya berdasarkan ketetapan dari Allah sang Khaliq dan Mudabbir.
Perlu mengantarkannya ke tingkat berpikir ini, level berpikir yang dapat memecahkan uqdatul qubra (simpul besar) dimana kemustanirannyadapat menjawab dari mana manusia, alam dan kehidupan ini ada termasuk dari mana asal ikan, untuk apa manusia diciptakan dan hendak kemana manusia setelah mati.
Jawaban-jawaban mendalam ini akan dijadikan sebagai landasan berpikir. Jika aqidah yang kokoh ini sudah dibangun maka anak akan membangun semua pemikirannya dan aturan hidupnya di atas landasan bangunan aqidah tersebut, halal haram berasal dari Allah SWT.
Proses membangun pondasi akidah seperti di atas fasenya adalah fase usia dini. Maka di usia dini pondasi itu ibaratkan baru menyusun bata-bata agar semua komponen berpikirnya aktif dan terstimulasi dengan baik dan semua naluri anak terstimulasi juga dengan baik. Apa bata penyusunnya? yaitu tsaqafah Islam, bahan pendukungnya adalah ilmu pengetahuan alam dan life skill.
Maka buatlah semua bahan penyusun bata itu kuat dan kokoh dan buat pula strategi belajarnya yang dapat mengokohkan susunan bata-bata tersebut.
Pastikan pondasi yang dibangun adalah pondasi akidah yang kokoh, lurus, bersih, tidak kotor dan tidak miring, agar bangunan kepribadian islam anak mengikuti pondasi yang ada.
Untuk mengetahui kokoh atau tidaknya pondasi tentu harus teruji dulu, biasanya kita diuji dengan permasalahan-permasalahan anak.
Misal anak masih sulit bangun subuh, anak masih suka bentak-bentak, masih suka memaksa jika punya keinginan, anak tidak mandiri, anak tidak semangat belajar dan lain-lain.
Jika kita ingin melihat rapuh atau tidaknya pondasi maka lihatlah dalam persoalan-persoalan yang mengguncang kepribadian Islam anak apakah anak mudah diarahkan dalam menyelesaikan masalah ataukah tidak apakah solusi yang diambil dari Islam atau tidak.
Kita akan bisa mengevaluasi bata yang mana yang harus direkatkan lagi dengan kuat, bata yang mana yang masih miring, maka segera dibenahi.
Peletakan pondasi awal di usia dini membutuhkan energi, semangat, kinerja yang tinggi, pengorbanan dalam menanamkan pondasi, kesabaran, ilmu, wawasan, strategi dan lain-lain, jika di usia ini berhasil, target usia 6 tahun itu anak sudah memiliki pondasi akidah Islam, maka di usia mumayyiz 7 tahun saat anak sudah aqil (berakal) dan mumayyiz, insya Allah menshalehkan anak merupakan perkara yang mudah. Jika usia dini kita sedang menyusun bata-batanya maka di usia mumayyiz kita mengokohkannya.
Bagaimana ini bisa ditempuh oleh setiap orang tua? Maka orang tua perlu memiliki pondasi yang kokoh dan lurus pula terlebih dahulu dalam mendidik anak. Jika bangunan akidah orang tuanya miring maka bangunan kepribadian Islam anaknya pun besar kemungkinannya akan miring[]
Wallaahu a'lam bishshawab
Oleh: Ustazah Yanti Tanjung
Pemerhati Keluarga dan Anak
0 Komentar