Topswara.com -- Lagi dan lagi. Kasus korupsi tidak pernah berhenti di negeri ini. Seolah menjadi tradisi yang harus diwariskan lintas generasi.
Kasus korupsi PT Waskita menjadi drama korupsi teranyar saat ini (CNBC. com, 3/5/2023). Kejaksaan Agung RI menetapkan direktur PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelewengan dana PT Waskita Beton Precast pada 2016-2020.
Dalam kasus tersebut, Destiawan diduga berperan dalam memerintahkan serta menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF) menggunakan dokumen pendukung palsu.
Dana ini digunakan untuk membayar utang-utang perusahaan-perusahaan karena adanya pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif atas permintaan tersangka. Perbuatannya ini terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menimbulkan kerugian negara yang luar biasa, mencapai Rp 2,5 T. Selain sejumlah tersebut, pihak penyidik pun menyita uang sejumlah Rp 96, 61 Milyar, dan sejumlah luasan tanah yang tersebar di Jakarta, Bogor dan Grobogan.
Tidak habis pikir. Penguasa yang seharusnya menjalankan amanah mengurusi kepentingan masyarakat, justru menyelewengkan wewenangnya demi kekayaan dan kepuasan pribadi.
Di negeri ini, korupsi makin menjamur. Padahal berbagai undang-undang pengaturan dan sanksi tindak korupsi telah ditetapkan. Namun, korupsi makin menjadi. Lembaga Pemberantasan Korupsi pun seolah tidak berdaya menahan badai korupsi negeri ini.
Korupsi menjadi tindakan wajar yang terjadi dalam sistem demokrasi kapitalisme. Karena sistem ini membanderol segala bentuk dana mahal yang fantastis.
Misalnya saja dalam bidang politik. Dana penyelenggaraan pemilihan dan dana kampanye berasal dari kantong pribadi. Pencalonan para wakil rakyat dan penguasa ditarif dengan biaya luar biasa.
Alhasil, para penguasa yang tergiur kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi harus merogoh kocek lebih dalam. Tidak ada jalan lain, selain penyelewengan dana perusahaan yang kini tengah dijalankan.
Dana segar dari para kapitalis pemilik modal. Saat tangguk kekuasaan telah didapatkan, dana besar ini pun menjadi tanggungan utang yang tidak dapat terhindarkan. Memprihatinkan.
Kekuasaan digunakan demi menggapai kegemilangan pribadi dan golongan. Tanpa memikirkan tugas utama yang semestinya dilaksanakan. Inilah watak pemimpin ala demokrasi kapitalisme.
Tidak heran, saat kasus korupsi tidak dapat dikendalikan, bak jamur di tengah musim penghujan. Akhirnya, rakyat juga yang dirugikan. Rakyat hanya bisa menderita melihat keadaan.
Berbeda dengan paradigma Islam. Sistem Islam jelas memberikan batasan-batasan sesuai syariat. Pemimpin dipilih rakyat dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan umat. Tujuan serta proseduralnya gamblang. Sistem sanksi yang diterapkan pun menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.
Tidak hanya itu, sistem Islam menetapkan sanksi pencegah yang ditujukan agar kejahatan dan penyelewengan tidak terus-menerus berulang.
Sistem Islam pun menjamin setiap pemimpin memiliki karakteristik iman dan takwa yang sempurna. Sehingga dapat menjalankan kepemimpinan dengan amanah.
Dari Ibnu 'Umar ra., bahwa Rasulullah SAW. bersabda, yang artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Konsep ini hanya dapat sempurna dilaksanakan dalam sistem Islam. Dalam wadah khas yang dicontohkan Rasulullah SAW., yaitu khilafah manhaj An Nubuwwah. Satu-satunya wadah yang mampu menjaga kemuliaan pemimpin dan kemaslahatan umat. Tidak ada pilihan lain.
Masihkah kita bersandar pada sistem demokrasi kapitalisme yang jelas-jelas merusak sendi kehidupan? Tentu tidak.
Selayaknya sistem rusak ini segera dicampakkan. Karena hanya menimbulkan kemudharatan bagi seluruh umat. Dan tidak pantas rasanya jika kaum muslimin meragukan kekuatan pengaturan sistem Islam. Terbukti hanya sistem Islam-lah yang berjaya dalam kegemilangannya selama 14 abad.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar