Topswara.com -- Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan sebanyak 50 ribu massa akan menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional alias May Day pada Senin, 1 Mei 2023. Said menyebut massa bakal menggelar aksi di depan Istana Negara dan Gedung Mahkamah Konstitusi.
Said menyebut pihaknya membawa tujuh tuntutan dalam aksi May Day, yaitu:
Pertama, cabut Omnibus Law atau UU Cipta Kerja. Kedua, cabut ambang batas parlemen sebesar 4 persen dan ambang batas presiden sebesar 20 persen karena membahayakan demokrasi. Ketiga, sahkan Rancangan Undang-Undang DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT).
Keempat, tolak RUU Kesehatan. Kelima, reforma agraria dan kedaulatan pangan di antaranya dengan menolak bank tanah dan menolak impor beras kedelai. Keenam, pilih calon presiden yang pro buruh dan kelas pekerja. Partai Buruh haram berkoalisi dengan partai yang mengesahkan UU Ciptaker. Ketujuh, hapus outsourcing tolak upah murah alias HOSTUM
Tuntutan buruh saat ini sebenarnya tidak beda dengan sebelumnya. Seluruh tuntutan yang diajukan merupakan usaha mereka untuk membuat kehidupan para buruh menjadi sejahtera.
Jika saat ini mereka menuntut kesejahteraan, berarti hingga sekarang kondisi mereka tidak ada yang berubah. Nasib mereka tetap sama, bahkan mungkin lebih tidak manusiawi setelah disahkannya UU Cipta Kerja.
Bulan Mei sengaja dipilih untuk memperingati hari buruh Internasional karena banyak peristiwa mengenai buruh terjadi pada bulan tersebut.
Pertama kali, Mei 1886, para buruh di Chicago Amerika Serikat menuntut pemangkasan jam kerja. Pada saat itu, mereka bekerja 16 jam per hari sehingga meminta pengurangan jam kerja menjadi 8 jam per hari. Mereka juga mengancam mogok kerja.
Namun, pada 3 Mei 1886, terjadi kerusuhan. Sebuah bom meledak di antara para peserta unjuk rasa di alun-alun Haymarket, Chicago, Amerika Serikat. Akhirnya banyak korban berjatuhan.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, pertemuan sosialis internasional di Paris membahas May Day sebagai hari libur yang menghormati hak-hak pekerja. Pada Mei 1894, mereka berunjuk rasa memprotes 16 jam kerja dan rendahnya upah di Pullman Palace Car Company yang memproduksi gerbong kereta api di pabrik dekat Chicago. Tuntutan itu akhirnya dipenuhi pada 1926, yaitu memotong jam kerja jadi 8 jam dan menaikkan upah dua kali lipat.
Seiring waktu, pemerintah di wilayah tersebut menetapkan upah minimum dan mengurangi jam kerja lebih singkat lagi. Pada 1940-an, banyak negara yang menetapkan Mei sebagai Hari Buruh Internasional serta ikut menetapkan upah minimum dan lama jam kerja.
Tuntutan buruh dari tahun ke tahun tetap sama. Perjuangan mereka selama 137 tahun sepertinya tidak membuahkan hasil signifikan. Beragam aturan lahir memihak para pengusaha, seperti munculnya UU Cipta Kerja, RUU Kesehatan, dan sebagainya. Walhasil, mereka meminta adanya aturan yang dianggap dapat melindungi nasib mereka, seperti RUU PPRT.
Semua itu membuktikan bahwa sistem kapitalisme, ideologi yang menguasai dunia saat ini, telah gagal untuk menyejahterakan kaum buruh. Kapitalisme berhasil melahirkan para kapitalis yang menginginkan keuntungan besar dengan pengeluaran yang minim.
Artinya, mereka menekan biaya produksi sekecil mungkin—salah satunya memberi gaji rendah dan memperlama waktu kerja buruh—untuk mendapat laba yang besar. Begitulah prinsip usaha dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, uang atau materi adalah sumber kebahagiaan. Jadi, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.
Meskipun berbagai aturan lahir untuk mengimbangi nasib buruh, ternyata negara hanya berperan sebagai regulator. Negara membuat regulasi untuk memuluskan kepentingan para kapitalis, UU Cipta Kerja, misalnya.
Ini jelas memperlihatkan bahwa negara berada dalam kendali korporasi yang dengan uangnya dapat “membeli” penguasa dan mengatur sesuai kepentingan mereka. Jadi, selama kapitalisme masih bercokol di muka bumi, nasib buruh akan tetap keruh.
Kondisi buruh semacam ini tidak akan ditemukan dalam sistem Islam, sebuah sistem kehidupan yang sempurna. Sistem Islam mengatur segalanya dengan landasan keimanan, dibangun untuk memuliakan manusia apa pun golongannya.
Dalam Islam mengatur perburuhan bukan seperti perbudakan. Islam memandang masalah ini dengan akad ijarah (bekerja). Buruh adalah pekerja memiliki kedudukan setara dengan pemberi kerja (majikan). Mereka akan digaji sesuai keahliannya dan sesuai kesepakatan awal.
Dalam Islam jelas bahwa majikan tidak boleh menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Bagi pekerja pun wajib melaksanakan kerjanya sesuai kesepakatan awal.
Jadi, sesungguhnya Islam tidak membolehkan adanya penentuan upah minimum karena hal itu dapat menzalimi pekerja. Bisa saja para majikan tidak membayar gaji pekerja sesuai dengan pekerjaannya, padahal kerjanya lebih berat hanya karena mengikuti aturan upah minimum.
Adapun apabila terjadi perselisihan di antara keduanya, masalah itu akan diserahkan ke pihak ahli, yaitu yang dapat memahami masalahnya. Bukan malah diambil alih oleh negara, kemudian negara mematok nilai upah. Negara sendiri sebenarnya haram untuk mematok upah.
Peran negara seperti itulah yang menjamin semua kebutuhan rakyat terpenuhi. Jika ada pekerja yang memang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup karena sebab tertentu, seperti cacat, sakit, dan sebagainya. Negara wajib untuk memberikan bantuan. Bisa berupa zakat atau bantuan lainnya. Intinya, negara memastikan agar semua kebutuhan individu tercukupi.
Kapitalisme telah membuat masalah buruh makin keruh. Islamlah yang akan membuatnya menjadi jernih. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan nasib para buruh, kecuali dengan ideologi Islam.
Aksi buruh pun akan dapat membuahkan hasil manakala tujuan itu selaras dengan perjuangan menegakkan Islam kaffah, bukan sebatas tuntutan yang bersifat praktis. Karena sesungguhnya permasalahan mereka timbul karena kesalahan penerapan aturan yang tak menjadikan Allah sebagai pemutus persoalan.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga
Aktivis Muslimah
0 Komentar