Topswara.com -- Bulan April identik dengan Kartini Day, sudah menjadi tradisi setiap tanggal 21 April seluruh sekolah di Kota Semarang akan memperingati. Berbagai macam cara untuk memeriahkan Kartini day, tidak lupa para siswa diwajibkan mengenakan pakaian tradisional, baik kebaya, beskap, lurik.
Selain itu biasanya pihak sekolah akan mengadakan berbagai macam lomba dengan tujuan untuk menginspirasi kaum perempuan meningkatkan peran dalam pembangunan.
Salah satunya yang dilakukan SMA Negeri 1 Semarang (Smansa). Smansa Kartini Day merupakan kegiatan tahunan sekaligus Program Kerja (Proker) Smansa Semarang. Pemilihan Kangmas-Mbakyu Smansa Semarang sebagai duta budaya sebagai perwakilan Smansa yang diharapkan selanjutnya bisa melangkah di ajang Denok Kenang Kota Semarang. (Tribunjateng.com 4/5/2023).
Dalam ajang Kartini day ini ada upaya untuk menyuarakan kesetaraan gender di tengah siswa. Yakni salah satu siswa akan menyampaikan ide Kesetaraan gender. Memang ide ini masih terlihat asing dikalangan pelajar.
Seperti yang diketahui ide kesetaraan gender lahir dari sistem sekularisme kapitalisme. Artinya sistem ini memisahkan agama dari kehidupan.
Ide kesetaraan gender ini menganggap bahwa perempuan memiliki andil yang besar dalam pembangunan negara. Oleh karena itu perempuan didorong untuk aktif di ranah publik, apapun sektornya. Kemudian perempuan itu setara dengan pria, sehingga perempuan harus diberikan porsi yang sama dengan pria, termasuk dalam hal kepemimpinan. Benarkah demikian?
Jika dilihat ide kesetaraan gender ini sepertinya cemerlang karena seolah-olah mengangkat derajat kaum perempuan dengan mengekspose dirinya ke tengah publik. Sejatinya ide tersebut telah menggerus fitrah perempuan. Kapitalisme telah menciptakan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan.
Misalnya saja karena tuntutan memenuhi kebutuhan hidup akhirnya banyak perempuan yang keluar mencari nafkah, banyaknya lapangan pekerjaan bagi perempuan membuat mereka berlomba-lomba menjadi wanita karir dengan menduduki sejumlah jabatan penting baik di sektor pemerintahan maupun swasta.
Selain itu, di dalam sistem yang rusak ini menjadikan isu kesetaraan sebagai bahan bakar untuk terus mengeksploitasi perempuan melalui slogan pemberdayaan. Miris sekali jika sedari dini siswa siswi sudah diajarkan ide sesat ini.
Seakan tujuan hidup ini adalah mengejar materi, memiliki kedudun tertentu dalam sektor swasta dan pemerintah, yang akhirnya melahirkan generasi materialisme, segalanya diukur dengan materi.
Padahal pemuda adalah kepanjangan tangan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan. Jika pemuda saat ini dicekoki dengan racun pemikiran kapitalisme apa jadinya kepemimpinan di tengah umat?
Perempuan di sistem kapitalisme dieksploitasi waktu, tenaga, pikiran untuk urusan yang seharusnya bukan prioritas mereka. Akhirnya mengabaikan tugas utamnya sebagai ummu warabbatul bait.
Islam Menjaga Fitrah Perempuan
Islam bukan hanya agama ritual namun juga sebuah ideologi. Dengan kata lain Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur kehidupan, termasuk menjaga kemuliaan perempuan.
Dalam Islam, perempuan dianggap sebagai makhluk yang dimuliakan, dilindungi. Saking besarnya kedudukan perempuan sampai-sampai 'surga di bawah telapak kaki ibu'. Serta, 'perempuan adalah tiang peradaban'.
Dalam Islam, tugas utama perempuan adalah sebagai madrasatul ula, ummu warabatul bait, ummu ajial. Yang mana cita-cita tertinggi perempuan ini akan melahirkan generasi faqih fiddin, tentu saja cita-cita ini tidak sejalan dengan ide kesetaraan gender.
Peran muslimah yang sesuai fitrah ini tidak terlepas dari sistem kehidupan. Artinya ketika Islam kaffah diterapkan dalam kehidupan akan melahirkan sosok-sosok Muslimah yang tangguh, orientasi mereka jauh kedepan, lintas dimensi.
Dalam Islam perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja, ia boleh memiliki kedudukan tertentu namun tidak diperkenankan menduduki jabatan di sektor pemerintah. Meskipun begitu perempuan masih memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan aktivitas politik, termasuk mengoreksi berbagai ketimpangan yang ada.
Perempuan boleh saja bekerja, tetapi tetap dalam koridor syariat yang tidak mencerabut fitrah mereka sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Lalu mampukah dalam sistem kapitalisme melahirkan perempuan tiang peradaban, jika orientasi mereka hanyalah materi?
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar