Topswara.com -- Miris, generasi muda yang seharusnya menjadi harapan bangsa kini malah merusak diri sehingga kehilangan jati diri. Seperti apa remaja masa kini?
Nama Syakirah masih menjadi topik hangat di media sosial (Medsos) setelah skandal videonya. Bahkan, salah satu video yang dibagikan akun tersebut telah ditonton 14 juta. Dalam video, Syakirah tampak mengenakan baru warna biru lengkap dengan hijab hitam. Dia tengah duduk sambil merekam dirinya sendiri menggunakan handphone (HP).
Syakirah mengedipkan mata sambil menggoyangkan kepalanya, menunjukan wajah cantiknya yang menggoda setiap pria. Syakirah memang menjadi topik hangat gegara skandal tersebut (tribunnewssultra.com, 12/05/2023).
Selain Syakirah yang masih berusia 16 Tahun, masih banyak lagi fakta-fakta remaja saat ini yang viral di medsos karena skandal video syurnya. Bahkan lebih miris lagi, pelaku LGBT di kalangan pelajar pun makin marak. Mereka sudah berani berkomunitas dan mengeksiskan diri terutama di dunia maya.
Alasan mereka melakukan unggahan sosial yang sensasional dan mengundang kontroversial dilakukan untuk menarik minat sehingga tontonan dilihat dan disukai. Jika banyak di tonton dan di like maka biasanya akan trending. Selain itu mereka pun mencari sensasi, haus perhatian dan penghasilan yang menjanjikan.
Banyak fenomena di dunia remaja yang mengkhawatirkan. Masa muda yang seharusnya diisi dengan segudang prestasi dan inovasi yang bisa membangun diri dan bangsa ini tersia-siakan dengan berbagai aktivitas semu, miskin manfaat, merusak diri dan masa depan, bahkan melanggar fitrah insaniyahnya.
Suatu bangsa akan cerah jika generasi mudanya baik dan berkualitas. Maka perhatian pada kondisi dan nasib generasi muda ini harus menjadi perhatian utama bagi suatu bangsa yang memiliki visi menjadi bangsa yang maju dan bermartabat.
Jika negara abai dalam perhatian dan perlindungannya pada generasi muda, maka jangan heran kalau yang terbentuk adalah generasi yang lalai terhadap masa depan bangsa.
Semua yang terjadi pada generasi muda Muslim ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Banyak faktor yang saling berkelindan. Keluarga yang kurang membentengi iman anak-anaknya, kurang memperhatikan tumbuh kembang mereka sesuai aturan Islam, membuat banyak remaja banyak yang tidak paham konsep benar salah, baik buruk sesuai pandangan Sang Pencipta.
Akibatnya mereka terjebak dalam pergaulan yang salah karena, tidak ada benteng iman sebagai imunitas ketika berinteraksi dengan dunia luar yang semakin liberal.
Faktor terpenting lainnya adalah perhatian dan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Waktu khusus untuk keluarga sehingga anggota keluarga bisa menghabiskan waktu bersama.
Masyarakat pun tidak memberikan dukungan positif bagi generasi muda karena masyarakat kini yang individualis semakin abai terhadap kontrol sosial. Asalkan bukan anak sendiri yang rusak, masa bodoh dengan nasib anak orang lain. Amar makruf nahi mungkar seakan hanya akan merugikan diri sendiri di zaman ini.
Namun kealpaan keluarga dan masyarakat ini pada hakikatnya tidak lebih besar mudharatnya dibanding abainya negara dalam memberikan perlindungan kepada generasi muda.
Negara seharusnya menjadi pihak yang berperan besar melindungi generasi, karena negara berwenang menerapkan berbagai kebijakan mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan.
Namun kini negara abai terhadap pembinaan moralitas remaja. Persoalan moral dipandang sebagai urusan personal, tanggungjawab keluarga, bukan menjadi tanggung jawab negara.
Negara lebih banyak mengambil kebijakan kuratif, menangani korban pergaulan bebas, ketimbang mengambil tindakan preventif. Faktanya negara lebih sibuk menangani korban aborsi ataupun penularan penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS di kalangan remaja.
Alih-alih melarang pergaulan bebas di kalangan remaja, negara justru mengkampanyekan bahaya pernikahan dini. Padahal persentase kasus nikah dini amat rendah dibandingkan dengan perilaku pacaran dan seks bebas di kalangan pelajar.
Negara mempersoalkan nikah dini yang sah secara hukum agama, sementara pacaran yang jelas mendekati zina justru dibiarkan. Tidak ada perlindungan negara yang riil dalam melindungi remaja dari ganasnya dunia maya dengan konten-kontennya yang merusak pemikiran dan perasaan remaja.
Negara malah membiarkan perusahaan lokal dan mancanegara bersaing merebut pasar remaja yang haus akan gadget, berikut aplikasi-aplikasinya yang bermuatan gaya hidup hedonis, permissive bahkan anarkis.
Negara pun membiarkan masuknya artis-artis K-Pop yang dijadikan idola dan panutan hidup mereka. Maka tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa negara telah gagal memberikan perlindungan bagi generasi muda. Penyebab utama kegagalan ini adalah karena negara telah memberlakukan sistem kehidupan sekuler-liberal.
Dalam sistem ini agama tidak menjadi pondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya generasi pun jauh dari nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi pedoman mereka dalam berpikir dan berperilaku.
Parahnya lagi, ketika kalangan muda mulai bangkit kesadarannya untuk kembali kepada kehidupan Islam, mereka malah dicurigai dan distigmatisasi sebagai intoleran, bahkan radikal.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh paham liberalisme di kalangan generasi muda adalah rusaknya tata nilai dan moral dalam kehidupan. Terpinggirkannya aturan agama dari kehidupan, menghasilkan kebebasan perilaku di kalangan kaum muda.
Paham ini semakin mendapat ruang bebas dengan munculnya paham moderasi beragama yang diaruskan pemerintah secara massif. Moderasi beragama yang pada hakikatnya adalah deislamisasi, makin membuat generasi muda Muslim tidak mengenal agamanya.
Identitas Islam ditanggalkan, sebaliknya bangga membawa nilai-nilai barat yang liberal. Proyek ini menjadi mulus ketika diaruskan di sektor pendidikan. Dengan balutan narasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mengikis identitas Islam dari para mahasiswa.
Seharusnya negaralah yang menjadi benteng utama dalam melindungi generasi dari berbagai kerusakan pemikiran dan tingkah laku mereka.
Bukankah Rasulullah SAW bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Namun Al-Imam yang disebutkan dalam hadits ini, yang akan menjadi perisai itu, memang hanya akan terwujud dalam sistem terbaik yang pernah dicontohkan Rasulullah Saw dan para sahabat beliau dalam sistem kekhilafahan Islam.
Berharap perlindungan hakiki bagi generasi dari pemimpin dalam sistem saat ini hanyalah pemberi harapan palsu. Selayaknya kita segera perjuangkan sistem terbaik yang akan menjamin generasi muda tumbuh berkembang dalam tatanan hidup yang akan memuliakan manusia dan seluruh alam semesta.
Generasi hebat dalam Islam bukanlah sekedar generasi yang shalih, hanya sebatas membawa kebaikan untuk dirinya sendiri. Di tengah kerusakan yang masif dan dirancang sedemikian rapi, tidak cukup mencetak generasi yang shalih.
Dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali menyatakan, bahwa orang shalih adalah kualitas kebaikannya hanya untuk diri sendiri, sedangkan muslih kualitas kebaikannya bisa merambah dan menjadi petunjuk orang lain atau masyarakat luas.
Generasi muslih lebih nyinyir terhadap kemaksiatan yang ada di depannya. Bisa jadi keberadaannya tidak disuka dan dianggap sebagai pengusik tatanan yang sudah tenang.
Oleh karenanya bentukan generasi muslih ini menuntut bentukan yang kokoh. Terbentuk dari aqidah Islam yang matang dari proses berpikir yang benar. Generasi muslih yang tertanam kokoh pada akal dan jiwanya akan persepsi kemuliaan dan kehormatan.
Generasi yang sadar akan jati dirinya, tidak akan rela kecuali menjadi umat yang mulia dan tinggi. Kesadaran tersebut akan mendorongnya menyiapkan segala kemampuan dan keahlian demi melayakkan dirinya menjadi generasi pembebas.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar