Topswara.com -- Kasus bullying kembali marak. Tidak hanya terjadi pada orang dewasa, namun juga pada anak-anak.
Masa anak-anak seharusnya diisi dengan hal-hal yang menyenangkan dan dukungan penuh dari orang-orang sekitar, tetapi sayangnya, pernyataan tersebut sangat berbeda dengan realita di masyarakat hari ini.
Masih banyak anak-anak yang tidak terpenuhi haknya, dan tidak sedikit pula yang bahkan sampai harus meregang nyawa. Seperti kasus yang baru-baru ini ramai diperbincangkan di media.
Sejumlah anak di Sekolah Dasar (SD) di daerah Sukabumi, Jawa Barat tega mengeroyok adik kelasnya yang masih duduk di bangku kelas dua SD. Dilansir dari bandung. MHD, 9 tahun, siswa kelas dua salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat harus meregang nyawa akibat ulah kakak kelasnya yang mengeroyoknya pada Senin (15/05/2023) lalu (kompas.com, 20/05/2023).
Di laman yang berbeda, tangerang.tribunnews.com (21/05/23), kasus ini masih dalam tahap penyelidikan dugaan karena laporan terkait adanya tindakan kekerasan yang terjadi pada anak ini baru didapatkan dari warga, sedangkan dari keluarga korban bahkan belum melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib.
Keluarga mana yang tidak teriris hatinya melihat anak kecil yang masa depannya masih panjang malah harus mendapatkan akhir hidup yang tragis. Ironi memang melihat fenomena bullying yang semakin masif di masyarakat. Bagaimana tidak, pelaku tindak kekerasan ini semakin sadis dan bengis, bahkan dapat kita jumpai dari tingkat SD. Sungguh, ini gambaran nyata bobroknya pendidikan di sistem kehidupan hari ini, yaitu sistem kapitalisme.
Kurikulum pendidikan yang ada dan pola asuh yang tersebar di masyarakat hanya berorientasi pada pencapaian materi belaka. Mendidik anak untuk menjadi juara kelas misalnya.
Pendidikan yang diberikan baik di sekolah maupun keluarga hanya mengacu pada keberhasilan duniawi dan mengesampingkan kebahagiaan yang hakiki di akhirat. Akhirnya kebanyakan generasi muda hari ini tidak memiliki pemahaman akidah dan akhlak yang benar.
Mereka sudah jauh terbawa arus kehidupan sekulerisme yang bebas. Tontonan yang tanpa batas pun memiliki andil yang besar dalam perkembangan generasi hari ini. Lantas, bagaimana Islam memandang fenomena bullying ini?
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Karena, Islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam, maka sudah pasti Islam sangatlah memperhatikan kesejahteraan hidup pemeluknya dengan cara menerapkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala seadil-adilnya.
Dalam Islam, setiap perbuatan ada standarnya. Semua harus dilandasi pada keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQS. Al Hujurat: 11).
Berdasarkan dalil tersebut, Muslim dilarang untuk merendahkan apalagi berbuat zalim kepada sesama muslim maupun umat manusia seluruhnya.
Oleh karena itu, perilaku yang sadis seperti itu tidak akan mudah dilakukan karena setiap individu takut terhadap azab Sang Pencipta dan hanya mengharap ridhaNya.
Kemudian, dalam Islam juga ada mekanisme yang komprehensif dalam membangun kepribadian setiap individu yang tak terikat batasan usia maupun strata sosial di masyarakat.
Adanya kerjasama yang baik dari individu, keluarga, masyarakat hingga negara menjadikan kehidupan bermasyarakat aman dan damai di bawah naungan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh.
Ketika setiap individu menyadari bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, maka ia akan sangat berhati-hati dalam bermuamalah setiap saat dan dimana saja.
Lingkungan keluarga yang syar’i juga mendukung keberhasilan terbentuknya kepribadian yang baik dari rumah. Selanjutnya di masyarakat, setingkat sekolah misalnya, kurikulum pendidikan yang diterapkan juga sesuai dengan fitrah manusia, yaitu menuntut ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat semata-mata untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Pemangku kebijakan yang tidak lain penguasa pun akan mengatur sistem pendidikan secara keseluruhan dengan baik dan benar sesuai syariat Islam dengan mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Kepribadian setiap individu rakyat akan terjaga, selalu dalam keimanan, berakhlakul mulia dan terampil. Kejadian yang membuat hati miris seperti yang baru-baru ini terjadi, anak-anak makin sadis di sistem kapitalis hari ini, akhirnya tidak akan mudah ditemui.
Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orang tua maupun guru, akan tetapi juga butuh peran negara dan masyarakat.
Negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyaring segala tontonan di media apapun yang berpengaruh besar terhadap pembentukan generasi. Tidak hanya sekedar memfilter media, namun negara juga punya tanggung jawab besar untuk melindungi generasi dari segala ancaman yang akan terjadi.
Begitupun masyarakat, mereka juga memiliki andil yang besar untuk menasehati, mengajak pada kebaikan, dan mencegah tindakan yang buruk.
Sebab, jika hanya orang tua yang berperan dalam menjaga generasi muda, sedangkan lingkungan masyarakat dan negaranya tidak mendukung, maka tidak menutup kemungkinan anak akan terkontaminasi dengan pengaruh buruk dari lingkungan sekitar.
Oleh sebab itu, peran orang tua sangat penting dalam membentuk generasi yang baik. Dukungan sistem kehidupan yang diterapkan negara dan kontrol masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif juga sangat diperlukan. Tentu, sistem kehidupan yang berasal dari Al-Khaliq (Sang Pencipta) yang akan membawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam.
Sedangkan penerapan aturan Islam secara sistematis secara sempurna akan melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup yang jelas (visioner) yang akan menjadi tonggak bagi peradaban bangsa.
Generasi yang diliputi rasa iman dan takwa tidak akan berani melakukan tindakan amoral dan keji karena di dalam hati mereka sudah tertanam kebaikan, dan diliputi rasa takut kepada Allah Subhanahu waktu ta’ala.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar