Topswara.com -- Mungkin orang tua tidak begitu memahami level berpikir anak sesuai usia karenanya seringkali mendapatkan kesulitan dalam berkomunikasi.
Sebutlah adik Fatimah yang baru berusia 4 tahun dengan polosnya menceritakan hubungan romantis ayah bundanya di rumah pada teman-teman dan gurunya di sekolah yang seharusnya anak tidak menceritakannya.
Tetapi namanya juga anak yang berpikirnya adalah berpikir nyata dan amat polos bercerita apapun tentang dirinya dan tentang apa yang dia alami.
Terang saja saat orang tua dikasih tahu oleh guru bahwa anaknya mengungkapkan aib keluarga akan mendapatkan kegalauan bagaimana menjelaskan pada anak bahwa perkara itu harus disembunyikan dan bagaimana caranya mengkomunikasikan pada anak usia dini itu tentang apa yang dilihatnya berakhir sampai disitu tidak sampai tersimpan di memorinya dan kelak dikhawatirkan ada dampak negatif bagi tumbuh kembang anak.
Ini hanya salah satu contoh kasus tentu banyak perkara-perkara lain yang menuntut ayah bunda berkomunkasi efektif dan dapat dipahami anak.
Berkomunikasi dengan anak menuntut orang tua memahami tumbuh kembang berpikir anak dan tumbuh kembang emosionalnya sehingga didapatkan teknik-teknik komunikasi yang bisa dimengerti dan dipahami anak, apakah itu terkait sentuhan kesadaran rasional maupun kesadaran emosional.
Disini pula orang tua punya keharusan untuk memiliki kecerdasan dalam berbahasa, karena bahasa adalah alat komunikasi.
Islam mengajarkan pada kita bahwa mendidik anak dalam harus berbasis usia. Pendidikan anak wajib dibedakan antara usia pra baligh dan usia baligh, karena berbedanya tumbuh kembang akal di kedua usia tersebut, maka dibedakan pula teknis berkomunikasi dengan anak.
Berkomunikasi dengan anak usia dini, anak usia mumayyiz dan anak usia dewasa tentu memiliki titik tekan tersendiri dalam membangun akalnya agar pola berpikir dapat diletakkan di setiap aktifitas berpikir yang terjadi dan dapat dipahami oleh anak di setiap level berpikir.
Anak usia dini (0-6 tahun). Belum memiliki kesadaran rasional, ia lebih memiliki kesadaran emosional yang muncul dari pemenuhan kebutuhan jasmani (hajatul ‘udhawiyyah) dan naluri-naluri (gharizah).
Maka komunikasi-komunikasi emosional lebih memungkinkan anak usia dini untuk paham daripada komunikasi rasional, misal komunikasi pujian, membangun konsep diri positif, komunikasi ungkapan rasa sayang, memeluk, komunikasi sentuhan fitrah beragama.
Disini pula bahasa-bahasa ketauladanan sangat mudah diserap. Walau anak pada level usia ini lebih pada kesadaran rasional bukan berarti kesadaran rasionalnya tidak diproses, justru disinilah upaya menstimulasi berpikir lebih optimal terjadi.
Usia 0-6 tahun. Anak usia dini metode berpikirnya belumlah terbentuk, hadirnya fakta dan informasi sebelumnya belum banyak dia terima, indera anak belum bias bekerjasama dengan baik untuk mengihsas fakta , begitupun otak anak sel-selnya belum banyak terhubung.
Maka orang tua perlu melakukan stimulus-stimulus indera dan otak dengan menghadirkan berbagai fakta berupa benda-benda, fakta maknawi dan fakta yang ghaib serta memberikan informasi yang benar agar proses berpikir anak dapat terbentuk pas diusianya.
Usia 6-10 tahun. Akal anak di usia ini sudah terbentuk, memungkinkan dia memiliki metode berpikir rasional. Pada tataran ini ayah bunda berkomunikasi dengan senantiasa memperhatikan kebenaran berpikr anak dan meletakkan pola berpikir di atas landasan akidah Islamiyyah.
Ketika ayah bunda dapat berkomunikasi dengan kebenaran fakta yang dihadirkan dan kebenaran informasi yang disampaikan maka akan menutup ruang anak untuk berkata dusta dan anak akan terbiasa berlaku jujur dan ia akan berproses pada kejujuran intelektual.
Usia ini sentuhan komunikasi rasional bisa lebih dominan, anak tidak lagi selalu dituruti keinginannya dan diproses kemandiriannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan dirinya, semisal kalau lapar dia bisa ambil solusi sendiri ke meja makan dan menyiapkan sendiri kebutuhannya tanpa ayah bunda bersusah payah menyuruh-nyuruh.
Maka komunikasi-komunikasi kedisiplinan sudah diproses di usia ini hingga anak mendapatkan polanya dalam berpikir dan dalam bersikap. Komunikas-komunikasi yang harus intens di usia ini adalah komunikasi-komunikasi tsaqafah Islam dan upaya mengaitkan tsaqafah islam tadi sebagai ma’lumah sabiqah dengan amalnya dengan realitas yang dia hadapi.
Usia 10-14 tahun. Usia ini diharapkan anak terbentuk kepribadian Islamnya dan mulai mematangkan diri. Target yang hendak dicapai di usia ini adalah tafkir jaddiyyah (berpikir serius), apa yang dia pahami untuk diamalkan. Anak mulai memiliki qaedah amaliyyah, berpikir disertai amal dalam rangka mencapai tujuan.
Perkara ini dapat kita pahami bahwa rasulullah SAW memerintahkan memukul anak jika di usia 10 tahun tidak melakukan shalat. Itu artinya uisa 10 tahun anak sudah harus benar-benar serius dalam taat pada Allah, dalam ibadah, dalam keterikatan pada syariah Islam.
Maka komunikasi-komunikasi ruhiyyah dan konsekuensi-konsekuensi dari akidah harus lebih dideraskan untuk memetangkan kepribadian islamnya sehingga anak menjadi sosok pemuda yang memesona dengan Islam.
Usia 15 tahun – ke atas. Usia ini adalah usia yang diharapakan pola berpikir ananda dan pola sikapnya sudah dikontrol oleh akidah Islam, sudah nampak piawai mengurusi urusan dirinya dan berpikir untuk mengurusi urusan orang lain dengan islam karena kecukupan tsaqafah Islam yang ia punya.
Disinilah komunikas-komunikasi politik itu mengasyikkan bersama anak dan membawanya terjun langsung di medan perjuangan dakwah. Ayah bunda bisa menjadi mitra anak dalam melakukan perubahan masyarakat, orang tua menjadi sosoktauladan dalam melakukan perubahan, tempat berdiskusi, berbagi, mengatur strategi dll[]
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Ustazah Yanti Tanjung
Pemerhati Keluarga dan Anak
0 Komentar