Topswara.com -- Lagi gencar acara konser musik, anak muda adalah alat. Saat konser, anak muda yang menjadi wayang sedangkan konser di-baliknya ada dalang yang punya tujuan. Anak muda menjadi sebuah alat dominasi dan motor industri.
Anak muda rela berutang, sedangkan mereka menikmati cuan. Anak muda di bela mati-matian dengan asas kebebasan dan sangat jauh dari edukasi yang dapat mengubah peradaban. Konser yang akan digelar dalam waktu dekat ini, sedikit banyaknya memicu persoalan anak muda dalam ranah financial.
Akibat penjualan tiket yang terbuka pada bulan Mei ini di kabarkan salah satu penggemar Coldplay bernama Danar (31) rela menjual barang-barangnya demi bisa membeli tiket konser Coldplay yang paling mahal, yakni tiket Ultimate Experience seharga Rp11 juta (Kompas.tv, 16/05/2023).
Tidak sampai disitu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut banyak netizen yang ingin menggunakan pinjaman online (Pinjol) sebagai jalan pintas untuk menonton konser Coldplay yang akan diadakan pada bulan November mendatang (Radar Kepahiang.id, 13/05/2023).
Adanya konser Coldplay dengan pemuda hari ini yang notabenenya sering ikut-ikutan dengan tren-tren yang hype, mereka menghalalkan segala cara entah itu dengan melakukan buka uang tabungan, jual motor, gadai laptop, pinjaman online (pinjol), dengan alasan kapan lagi datang?
Padahal sebenarnya ini bukanlah kebutuhan asasiyah manusia. Namun, inilah wajah generasi yang dididik oleh sistem sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan yang telah membuat generasi hari ini berperilaku hura-hura dan menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup mereka.
Difasilitasi Demi Cuan
Mirisnya, konser ini difasilitasi oleh negara dan panitia penyelenggara, padahal kontribusi dalam membangun generasi tidak ada. Manfaat konser tersebut dalam membangun peradaban suatu bangsapun tidak ada.
Justru konser Coldplay tersebut dikhawatirkan membelokkan generasi hari ini lantaran Coldplay mendukung komunitas L98T dan penganut ateisme yang bertentangan dengan agama.
Apa tujuan mereka dengan mengadakan konser ini? Cuan, tentu saja. Sudah terbayang betapa gendut rekening penyelenggara.
Negara sendiri mengklaim acara ini akan memberi dampak ekonomi bagi pelaku UMKM. Padahal, sebenarnya sudah terbaca bahwa pihak yang paling diuntungkan adalah pengusaha besar terutama di bisnis perbankan, hotel, penyelenggara konser, transportasi, dan lain-lain. Sedangkan UMKM sekadar mendapatkan tetesan ekonomi.
Dalam sistem kapitalisme, kita umat Islam bekerja keras kepada para kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan besar. Kemudian, kita mendapatkan gaji dan kita belanjakan lagi untuk membeli produk para kapitalis tersebut.
Ketika kita ingin meredakan stres karena pekerjaan yang penuh tekanan, misalnya, dilakukan dengan cara bersenang-senang menonton konser. Uangnya masuk ke para kapitalis juga. Terbayang betapa berkuasanya para kapitalis itu menyedot dana masyarakat termasuk umat Islam.
Walhasil, di dalam sistem kapitalisme para kapitalislah yang paling diuntungkan. Wajar saja mereka menjadi crazy rich. Sementara itu, selepas menonton konser para penonton kembali pulang ke rutinitas penuh tekanan dan kembali stres. Bahkan, ada yang lebih stres karena harus membayar cicilan utang. Miris!
Matinya Empati Secara Sistemik
Penyelenggaraan konser ini juga menunjukkan matinya empati penyelenggara dan pihak pemberi izin terhadap problem kehidupan yang di hadapi masyarakat hari ini. Masalah tersebut diantaranya adalah kemiskinan, stunting, pengangguran, dan berbagai persoalan lainnya.
Di sisi lain, antusiasme masyarakat membeli tiket konser yang harganya selangit itu membuktikan tingginya kesenjangan sosial yang terjadi di negeri ini. Inilah gambaran negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Paradigma liberal yang di junjung tinggi negara telah menjadikannya tak lebih dari sekedar regulator atau pembuat kebijakan.
Kebijakan yang di tetapkan pun hanya untuk memenuhi kepentingan para kapitalis dalam industri hiburan. Sebab sistem ekonomi kapitalisme memandang selama ada permintaan yang di pandang bisa mendatangkan keuntungan maka produksi/pengadaan permintaan tersebut harus di beri ruang, sekalipun pengadaannya merusak moral masyarakat atau ada unsur keharaman di dalamnya.
Tidak Memiliki Visi terhadap Generasi
Patut kita ingat, kemunduran generasi muda muslim bukan terjadi semata karena sikap para anak muda. Faktanya, negara ini memang memfasilitasi terjadinya serangan gaya hidup asing.
Dalam konser Coldplay yang akan di gelar November mendatang, pemerintah memberikan dukungan penuh berupa izin digelarnya konser, izin menggunakan (menyewa) GBK, juga di beri jaminan keamanan dengan di gerakkannya pengerahan personel pengamanan.
Namun, sikap berbeda ditunjukkan pemerintah pada para pemuda muslim yang berikhtiar mengkaji Islam. Mereka dicap teroris, radikal, dan aneka stigma negatif lainnya.
Kebijakan penguasa ini membuat publik bertanya-tanya, mengapa konser yang jelas-jelas membahayakan kepribadian generasi muda justru difasilitasi, sedangkan kegiatan dakwah Islam dicurigai dan dianggap berbahaya?
Tampak bahwa negara tidak memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas terhadap generasi. Akibatnya, negara salah meletakkan prioritas dan kebijakannya justru menumbuhsuburkan praktik hedonisme.
Serangan budaya dari luar diterima dan difasilitasi dengan biaya besar, sedangkan ikhtiar sebagian pihak memberi pemahaman yang benar pada generasi muda melalui dakwah amar makruf nahi mungkar justru dilarang dan dikriminalisasi.
Negara yang menerapkan sistem kapitalisme ini gagal membentuk masyarakat yang memahami hakikat hidupnya sebagai hamba Allah, beramal sesuai dengan aturan Allah, hingga membentuknya memiliki empati atas nasib sesama. Sistem kapitalisme liberalisme telah berhasil menjatuhkan taraf berpikir ummat ke taraf yang sangat rendah.
Jika hal ini diteruskan, para anak muda akan makin jauh dari Islam. Berbagai kerusakan generasi, seperti pergaulan bebas, aborsi, kenakalan remaja, kriminalitas, narkoba, dan sebagainya akan makin parah. Jika demikian, bagaimana nasib negeri ini pada masa depan?
Islam Menyelamatkan Anak Muda
Berbeda dengan penerapan sistem islam dalam bingkai negara khilafah. Dalam pandangan Islam, paradigma negara Islam dalam melayani rakyatnya adalah paradigma riayah atau mengurus urusan ummat. Negara wajib memenuhi kebutuhan asasi warga negaranya, kebutuhan sandang, pangan, dan papan akan di penuhi negara dengan berbagai mekanisme.
Negara akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyatnya yang mampu bekerja. Sementara bagi mereka yang lemah dan terkendala fisik negara akan memberikan santunan.
Adapun kebutuhan akan layanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan fasilitas publik negara wajib memenuhi semua itu dengan standar pelayanan terbaik, cepat, mudah, dan profesional, serta gratis.
Bahkan tidak hanya kebutuhan asasi, negara juga akan memudahkan rakyatnya memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini untuk meningkatkan kualitas hidup warga negaranya sebagai khairu ummah (ummat terbaik) sehingga berhak mendapatkan pelayanan kualitas terbaik.
Hal ini sebagaimana firman Allah Taala dalam QS Ali Imran: 110,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Hanya saja kebutuhan sekunder dan tersier yang di maksud tetap di batasi oleh syariat Islam. Negara tidak akan membiarkan barang haram atau aktivitas haram beredar di masyarakat, meskipun hal tersebut mendatangkan keuntungan bagi negara.
Sebab, negara yang bersandar pada akidah islam sangat memahami bahwa keharaman hanya akan menjauhkan hidup dari keberkahan.
Pelaksanaan pendidikan dalam khilafah yang berbasis akidah Islam juga akan melahirkan generasi bervisi dunia sekaligus akhirat. Mereka akan menjadi individu masyarakat yang memahami bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan dan sebagai ladang mengumpulkan bekal untuk kebahagiaan akhirat.
Alhasil, lahirlah pribadi-pribadi bertakwa yang senantiasa menyibukkan diri dalam amal shalih, bukan sibuk menikmati hidup dengan berbagai kemaksiatan. Mereka juga akan menjadi orang yang memahami skala prioritas amal dan memiliki empati yang tinggi atas nasib sesama. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda : "sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia" (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, hanya sistem Islam yang mampu memuliakan manusia sekaligus akan membangun peradaban mulia di bawah institusi khilafah Islamiah.
Wallahu'alam bish shawwab.
Oleh: Rines Reso
Pemerhati Masalah Sosial
0 Komentar