Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tidak Pamer, Tidak Eksis


Topswara.com -- Ratusan PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung menerima SK petikan bupati di Gedung Moch. Toha Bandung. Usai pengambilan sumpah sumpah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

H.M Dadang Supriatna selaku bupati setempat menekankan bagi para anggota terpilih untuk tidak pamer kekayaan di Medsos, mampu menjaga perilaku, menahan diri dan memberikan contoh serta pelayanan yang baik kepada masyarakat. (RadarOnline.id 13/3/2023).

Adalah wajar jika hal ini terus dihimbau, semenjak isu Rafael Alun Trisambodo dan sejumlah kekayaannya merebak ke publik, kini para pejabat negara (ASN) pun dikritik lantaran disebut-sebut kerap pamer kekayaan di media sosial atau dikenal istilah flexing atau pamer. 

Suatu tindakan yang kerap dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Rasa ingin dihormati dan dihargai serta mendapatkan pengakuan memang suatu hal wajar yang muncul pada diri manusia. Mereka ingin diterima masyarakat karena nilai kelayakan tertentu, dipandang dan diakui saat mampu menyejajarkan dirinya dengan kebanyakan orang sukses lainnya.

Terlebih jika ia dikeliling oleh orang-orang dengan standar sukses seperti itu. Ada kebanggaan bila berhasil menampilkan gaya hidup sesuai dengan lingkaran pergaulannya. 

Ia baru merasa diakui dan diterima bila mengikuti pola pencitraan yang sama. Ketika melihat tampilan kemewahan di media sosial, merasa rendah diri atau merasa belum sukses jika tidak mengunggah hal serupa.

Hal ini bila dibiarkan terus menerus akan membuat orang/pelaku flexing terbentuk menjadi pribadi yang sombong, lalai, dan haus dengan pujian. Ia akan selalu haus dengan sebuah eksistensi. Ingin selalu mendapatkan apresiasi atas setiap perbuatan yang dilakukan.

Gaya hidup pamer sejalan dengan hedonisme dan konsumtif. Hal ini diakibatkan oleh sistem yang sekarang sedang diterapkan yaitu sistem kapitalisme sekularisme, yang menganggap kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan materi. 

Sukses diukur dengan seberapa bagus penampilan fisik, mahalnya barang yang dikenakan, intensitas berbelanja dan bonafitnya tempat belanja. Selalu haus akan penilaian dari orang-orang yang bahkan tidak ia kenal. Eksistensi diri begitu utama bahkan hingga di dunia maya. 

Gaya hidup pamer/flexing ini pun tumbuh subur di era sekularisme. Pelakunya  kebanyakan adalah orang kaya baru yang mendadak punya barang mewah. Namun tak hanya para crazy rich, nyatanya flexing juga melanda kebanyakan masyarakat yang hidupnya menengah atau rata-rata. 

Bahkan yang miskin pun berusaha keras agar bisa pamer di media sosial. Ditambah hal ini dikarenakan banyak sekali tontonan atau konten-konten yang menayangkan tentang harta-harta yang mereka miliki. 

Kita memang membutuhkan eksistensi, tetapi kita harus memahami bahwa mendapatkan pujian secara berlebihan justru akan membahayakan diri sendiri. 

Pujian itu ibarat gula, jika tubuh berlebihan mendapatkan asupan gula akan membahayakan, bahkan bisa mengakibatkan kematian. 

Ketika seseorang beriman kepada Allah SWT., ia akan selalu meminta pertolongan Allah ketika dipuji. Agar ia menjadi lebih baik dari yang mereka (orang-orang yang memuji) sangkakan padanya. Ia pun meminta ampunan Allah atas segala aib yang tidak ditampakkan di balik segala sanjungan.

Gaya hidup sekularisme ini dilandasi paradigma berpikir yang salah tentang kepribadian yang sering diartikan sebatas penampilan dan barang-barang yang dikenakannya. Dianggap baik bila pakaian yang dikenakannya serasi, yang mampu memancarkan aura kecantikannya atau ketampanannya. Hanya sekedar penampakkan luar secara fisik.

Sayangnya, masyarakat pun menaruh hormat  pada orang-orang seperti ini. Status sosial seseorang dipandang dari penampilan semata. Makin tampak bagus dari luar, makin dihormati. Akibatnya, mereka pun  sibuk memoles penampilan fisik dan lahiriyah. Mereka bahkan lupa untuk membina diri dengan kepribadian yang berilmu dan bertakwa.

Peradaban sekularisme bertanggung jawab membentuk pribadi-pribadi yang hedonis, konsumtif dan mementingkan penampilan lahiriah ini. Sebab, ketika kita hidup di dalam peradaban ini, sengaja atau tidak kita terseret arus mengikuti suasana kehidupan yang serba materialistis.

Banyak di antara kita yang mengalami kecemasan finansial karena khawatir tidak mampu memiliki barang-barang idaman. Banyak yang merasa belum bahagia bila belum memiliki rumah dan kendaraan pribadi serta berbagai hal berbau materi. Padahal, kebahagiaan hakiki bukan terletak pada itu semua. 

Kekayaan itu sejatinya bukan untuk dipamerkan, namun sejatinya digunakan untuk membantu sesama, inilah hakikat kekayaan yang sejati. Justru, ketika ada orang yang senang memamerkan berbagai hal yang dimilikinya, sebesar itulah apa yang harus dipertanggung jawabkannya. 

Rasulullah SAW. bersabda:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong meski hanya sebesar biji zarah. Tidak akan pula masuk neraka, yaitu seorang yang di dalam hatinya terdapat keimanan meski hanya sebesar biji zarah." (HR. Abu Daud :3568).

Karena itu, sudah seharusnya kita sadar dan kembali kepada kenyataan, bahwa realita hidup ini tak seindah apa yang nampak di dunia maya yang sejatinya hanyalah semu belaka. 

Kebahagiaan sejati nan hakiki adalah apa yang kita miliki, kita rasakan di kehidupan nyata. Jangan sampai angan-angan melayang di dunia maya hingga lupa mensyukuri apa yang sudah diraih di dunia nyata.

Mari kita hijrah total agar tidak mudah tergoda gaya hidup sekuler yang liberal. Kita bina diri menjadi pribadi islami yang mengutamakan  ketakwaan dibanding tingkat berlimpahnya kepemilkan barang, serta menjauhkan diri dari gaya hidup hedonis. 

Kita perjuangkan tegaknya peradaban Islam untuk menggantikan sistem sekuler yang merusak agar hidup lebih tenang dan tenteram. Tanpa perlu disibukkan dengan persaingan di media sosial akan parade gaya hidup mewah yang tipis-tipis meracuni pikiran umat.

Wallahu a'lam Bi-Ashawwab.


Oleh: Sipa Putri Aningsih
Sahabat Topswara dan Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar