Topswara.com -- Saat ini sedang marak trend thrifting atau shoping pakaian bekas impor dari luar negeri. Trend ini sedang mendunia hingga sampai juga ke Bekasi.Tren ini mulai meruap ketika satu per satu toko online yang menjual pakaian bekas hasil kurasi bermunculan dalam lima tahun terakhir.
Menanggapi hal tersebut presiden Jokowi sampai turun tangan hingga mengeluarkan statement bahwa trend ini bisa membahayakan UMKM dalam negri.
Pemerintah Kabupaten Bekasi juga mendukung kebijakan pemerintah terkait larangan transaksi jual beli pakaian bekas hasil impor karena memiliki dampak buruk secara ekonomis maupun kesehatan (Antarajabar 25/03/2023).
Tidak hanya itu, pihak Polri pun segera mengambil bagian dengan memberi instruksi untuk menindak tegas importasi pakaian bekas ilegal ini.
Untuk itulah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melakukan penggerebekan di sejumlah gudang tempat importasi pakaian bekas atau thrifting di Pasar Senen Jakarta Pusat hingga Bekasi. Setidaknya ada ribuan ball press pakaian bekas impor sebagai barang bukti yang disita dari para pemilik gudang (kompas.com, 20/03/2023).
Thrifting yang sempat dianggap sebagai opsi berbelanja lebih ramah lingkungan atau disebut juga sustainable living tetapi berdampak negatif, jika ditemaah lebih dalam ternyata thrifting tidak semudah kelihatannya.
Budaya baru ini dapat memicu kerusakan yang cukup besar bagi lingkungan dan juga orang lain. Maka penting untuk kita memahami keburukan dari siklus jual beli pakaian bekas untuk lebih memahami konsekuensinya, terutama jika menyangkut keberlangsungan hidup banyak orang.
Ada beberapa dampak buruk dari tren thrifting yang perlu kita sadari:
Pertama, menyebabkan gentrifikasi, secara umum merupakan perubahan sosial ketika kaum menengah atas mengonsumsi sumber daya yang ditujukan pada kaum menengah ke bawah. hal ini berdampak buruk bagi kaum menengah ke bawah yang merupakan target pasar utama dari pakaian bekas tersebut.
Dengan tersapu habisnya pakaian layak oleh kaum menengah ke atas, mereka hanya diberikan dua opsi yaitu membeli pakaian layak dengan harga mahal atau membeli pakaian sisa yang kurang layak.
Kedua, memicu konsumsi yang berlebih, maraknya gaya hidup thrifting ada sangkut-pautnya dengan tren shopping haul atau yang dimaksud dengan membongkar belanjaan yang biasanya dilakukan oleh para influencer baik di dalam ataupun luar negeri.
Dengan melihat idola mereka memamerkan pakaiannya, netizen terstimulasi untuk ikut berbelanja pakaian bekas dengan jumlah yang banyak tanpa memikirkan kebutuhan pribadinya.
Konsumsi yang berlebihan ini nyatanya tidak membantu keseimbangan alam seperti tujuan awal thrifting. Hal tersebut kemudian akan berpengaruh besar dalam meningkatnya jumlah pakaian yang terbuang sia-sia.
Ketiga, menumpuk limbah tekstil, meski konsep thrifting pada awalnya mendorong masyarakat untuk mengurangi limbah tekstil, namun nyatanya limbah tekstil semakin membludak di negara-negara berkembang.
Pasalnya, negara berkembang seperti Indonesia lah yang menjadi sasaran utama negara maju untuk ‘membuang’ pakaian-pakaian bekas.
Jutaan ton limbah pakaian bekas tersebut umumnya menjadi gunungan kain kusut di TPA. Gawatnya, limbah tekstil merupakan limbah yang paling sulit untuk diproses dan diuraikan, sehingga gunungan tersebut akan dibiarkan semakin tinggi atau bahkan dibiarkan larut melalui sungai-sungai besar yang pada akhirnya berakhir di laut.
Mengingat di Indonesia terutama di Bekasi pengelolaan sampah dan daur ulang masih menjadi masalah maka akan terbayang thrifting malah akan menambah banyak masalah baru lingkungan.
Dalam menjalani sustainable living, banyak hal yang perlu dikonsiderasikan mengingat sistem yang berpengaruh di dunia saat ini adalah kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme harapan untuk mengurangi kerusakan alam dengan menjalankan gaya hidup ramah lingkungan ternyata hasilnya malah berkebalikan.
Karena banyak unsur-unsur kapitalisme merusak tujuan tersebut seperti keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan dampak buruk, kesenjangan hingga gaya hidup konsumerisme.
Thrifting kini telah menjadi gaya hidup generasi muda untuk dapat mengikuti tren tampil mewah dengan harga murah. Ada juga yang menyebut thrifting bukan sekedar cara untuk mensiasati mahalnya harga busana tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum kaya dan para pejabat yang mengumbar kemewahan mereka melalui media sosial.
Oleh karenanya, kita harus melihat permasalahan ini menggunakan lensa yang lebih makro yaitu dalam kacamata sistem dan solusinyapun dengan sistem alternatif.
Islam dengan aturan ekonominya secara makro, secara bersamaan menyelesaikan pula persoalan pada aspek individu. Pada saat yang sama menjamin hak-hak hidup, dan memungkinkan adanya kemewahan tetapi hanya sebatas menikmati kualitas.
Dalam sistem Islam masyarakat dipastikan memiliki gaya hidup yang khas, bukan menjadikan materi itu segala-galanya. Negara pun harus melakukan edukasi gaya hidup takwa agar masyarakat tidak terjatuh dalam lembah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme. Negara melindungi pola konsumsi masyarakat.
Kebutuhan sandang warga negara menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, dengan telah ditanamkannya mindset bahwa berpakaian bukanlah untuk memenuhi nafsu konsumtif dan shopaholic.
Karena dalam Islam fungsi dari berpakaian adalah untuk menutup aurat secara sempurna. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Araf ayat 26 :
"Hai anak Adam sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah paling baik".
Konsep berpakaian dalam Islam adalah sopan, tidak menyerupai orang kafir dan lawan jenis, serta tidak transparan. Jika saja masyarakat mampu mengatur pola berpakaian sesuai syariat maka thrifting tidak akan menjadi tren fashion masyarakat, dan impor pakaian bekas tidak akan masuk ke dalam negeri. Wallahu alam bish shawab.
Oleh: Heny Era
Aktivis Muslimah
0 Komentar