Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Susahnya Mudik Tanda Dukungan Negara


Topswara.com -- Ruwetnya mudik terus terjadi. Sekian banyak problem klasik mudik berulang, tidak kunjung menemukan solusi.

Untuk Provinsi Jawa Tengah, yang terkenal sebagai jalur mudik terpadat, ada lebih dari 82 titik kemacetan. Paling banyak adalah pasar tumpah yakni sebanyak 42 titik, selebihnya berupa sejumlah exit tol, persimpangan jalan, perlintasan kereta api, dan penyempitan jalan. 

Lokasi rawan macet tersebut di antaranya pasar tumpah di Brebes, Bundaran Bandungan Kabupaten Semarang, wisata Tawangmangu, dan wisata Baturaden. 

Selanjutnya ada titik macet akibat kerusakan jalan di Jateng, yakni di Batang, serta penyempitan jalan di Kendal dan Temanggung. Selain itu, ada 67 proyek jalan raya yang belum selesai pengerjaannya. 

Cuaca ekstrem saat ini menambah potensi keruwetan mudik, karena bisa menimbulkan berbagai bencana yang menghambat perjalanan. Seperti tanah longsor, banjir, dan tanah/jalan ambles. Terdapat lebih 127 titik banjir, 39 titik longsor di jalan provinsi, dan lebih dari 52 titik di jalan nasional. Juga ada kendala proyek jalan yang belum usai (rejogja.republika.co.id; Minggu, 9 April 2023) (1).

Belum lagi melambungnya harga tiket transportasi yang meroket menjelang Lebaran (republika.co.id, Rabu 5 April 2023) (2). Sedangkan kebutuhan selama di kampung halaman nanti juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat momennya juga hari Raya. 

Wajar pemudik lebih banyak yang memilih menggunakan sepeda motor agar menghemat biaya perjalanan. Padahal lebih beresiko karena melelahkan dan berbahaya karena jarak tempuhnya mencapai luar kota, bahkan luar provinsi.

Lalu apa pemerintah segera memberi solusi lantas? Nyatanya Tidak. Mereka malah memberi solusi parsial, sebatas menjalin kerja sama ekonomi dengan para pengusaha layanan transportasi dengan tebar diskon tiket; dibandingkan memberi solusi harga tiket perjalanan yang terjangkau dan murah bagi masyarakat. 

Walaupun ada mudik gratis, jumlahnya sangat terbatas dan tidak menjangkau seluruh daerah. Para pengusaha transportasi tetap mereguk untung yang fantastis karena menaikkan harga tiket yang jadi tren setiap musim mudik (saat peak season).

Parahnya, ada kasus korupsi ditemukan di kementerian yang mengurus masalah mudik. Masyarakat pun akhirnya semakin resah dan waspada. Sejauh ini, KPK telah menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus korupsi penerimaan suap pembangunan proyek kereta api di Direktorat Jenderal Perkerataapian Kemenhub tahun anggaran 2018-2022. Proyek yang dikorupsi berada di wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Bagian Tengah, Jawa Bagian Barat, dan Jawa-Sumatera (www.tempo.co, Jum’at 14 April 2023) (3).

Meski sudah ada berbagai ruas jalan tol transpulau, nyatanya tidak memberikan solusi. Infrastruktur jalan tol justru rawan makan korban karena jaraknya yang terlalu panjang, tetapi minim sarana peristirahatan di titik-titik tertentu. 

Di samping itu, ruas jalan strategis lama, seperti jalur Pantura, malah terbengkalai minim perawatan. Hal ini berdampak mematikan ekonomi rakyat yang telah bertahun-tahun menggantungkan nasib di jalur tersebut. 

Pelayanan tranaportasi mudik saat ini belum bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Semua ini berakar dari layanan publik sistem sekularisme kapitalisme. Pemerintah sebatas regulator dalam mengurus kebutuhan rakyat, bukan pelayan. 

Sehingga kebijakannya tidak pro rakyat. Saat rakyat menjerit mahalnya harga tiket, solusi yang diberikan sangat parsial, sebatas diskon harga tiket. Padahal akar masalahnya adalah negara lepas tanggung jawab memberikan layanan transportasi murah bahkan gratis. 

Selain itu penyerahan pengelolaan transportasi pada pihak swasta dan asing menyebabkan komersialisasi yang merugikan rakyat yang dianggap konsumen. 

Begitu juga saat banyak terjadi kecelakaan saat mudik, solusi yang diberikan hanya sebatas perbaikan jalan atau himbauan pada para pemudik untuk mewaspadai titik rawan kemacetan dan bencana. Ini menunjukkan keselamatan jiwa bukan prioritas penguasa dalam sistem kapitalisme. 

Berbeda dengan khilafah sebagai sistem pelaksana syariat Islam kaffah, sangat memahami arti penting mudik. Mudik tidaklah menjadi hal rumit karena memang khilafah menerapkan syariat Islam yang fokus untuk melayani rakyat, termasuk masalah kebutuhan transportasi.

Khilafah tidak memosisikan mudik sebatas sebagai ritual tahunan, tetapi ada dimensi ibadah di dalamnya. Yaitu  mewujudkan pelaksanaan salah satu syariat Islam, yakni perayaan Hari Raya Idul Fitri yang di dalamnya ada aktivitas birrul walidain (bentuk bakti anak pada orang tua) dan silaturahmi dengan kerabat setelah sekian lama merantau, demi mempererat ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama kaum muslim). 

Maka khilafah berkewajiban untuk menyelenggarakan proses mudik dengan sebaik-baiknya, yakni aman dan nyaman, bahkan gratis. Ini juga menjadi bagian dari bentuk khilafah menjamin keamanan. Sebagaimana sabda Nabi SAW :
“Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan tidak pula (saling) membahayakan” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Khilafah akan menyediakan banyak tempat peristirahatan bagi para pemudik di perjalanan. Bahkan pada kondisi tertentu, pemudik termasuk musafir juga bisa digolongkan sebagai ibnusabil, yakni mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah sehingga mereka termasuk salah satu golongan yang wajib menerima zakat. 

Sehingga khilafah akan memberikan zakat mal pada mereka. Pemudik, dari sudut pandang khilafah, termasuk golongan musafir yang memiliki posisi penting dalam Islam karena doa seorang musafir adalah doa yang diijabah (mudah dikabulkan) oleh Allah sehingga tidak seharusnya seorang musafir menjadi korban kezaliman dengan dijerat harga tiket tinggi dan bahayanya perjalanan. 

Allah berfirman :
"Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).

Salah satu contoh bagaimana perhatian khilafah terhadap masalah transportasi, yaitu sikap Khalifah Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah (kepala khilafah), beliau pernah berkata :
“Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban diriku di akhirat nanti.”

Bahkan di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, khilafah mampu membuat dan menyelesaikan proyek kereta api Hejaz Railway, yang terbentang antara Damaskus-Aman sampai Madinah. 

Proyek ini dibangun tidak lama setelah penemuan teknologi kereta api. Latar belakang pembangunan adalah agenda tahunan ibadah haji kaum muslimin. Dengan kereta api ini, perjalanan menjadi lebih pendek (17 jam menjadi 4 jam). 

Maka jika dikaitkan dengan tradisi mudik, maka khilafah akan mengaturnya dengan mudah. Maka transportasi baik jalur darat, air maupun udara; akan dijamin aman, nyaman, terjangkau bahkan gratis. Kebijakannya tidak akan parsial, seperti sebatas meminimalisasi kemacetan atau menghimbau masyarakat saja. 

Namun pengambilan kebijakan adalah untuk memudahkan rakyat dan menghindari jatuhnya korban kecelakaan. Ini wujud ketaatan khilafah terhadap firman Allah “..bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seolah-olah ia telah membunuh semua manusia..” (Al-Maidah : 32).  

Untuk itu, khilafah mempunyai berbagai mekanisme. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fii Daulatil Khilafah dan Ajhizatu Daulatil Khilafah, menjelaskan beberapa prinsip mekanisme tersebut:

Pertama, negara tidak boleh menjadikan jalan umum sebagai sumber pemasukan. Bahkan negara wajib memberikan pelayanan transportasi murah bahkan gratis. Konsep ini membuat layanan transportasi, yang merupakan kebutuhan dasar publik, bisa diwujudkan. 

Jika negara menetapkan harga murah untuk transportasi, maka keuntungan dimasukkan ke Baitul Mal dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembiayaan hajat hidup publik lainnya. 

Konsep ini juga akan menutup celah monopoli swasta terhadap transportasi, meski khilafah tidak melarang swasta membantu negara menyediakan layanan transportasi.

Kedua, penyedia layanan transportasi wajib menggunakan anggaran mutlak. Artinya, ada atau tidaknya anggaran di Baitul Mal, Khilafah tetap wajib membiayai transportasi publik yang ketiadaannya berdampak dharar (bahaya) bagi masyarakat. 

Anggaran ini dapat diambil dari pos kepemilikan umum atau pos kepemilikan negara Baitul Mal. Jika tidak ada anggaran, khilafah boleh memungut Dharibah (pajak) di kalangan kaum muslimin saja. Dan itu pun dipungut dari mereka yang memiliki kelebihan harta. 

Ketiga, strategi pelayanan mengacu pada tiga prinsip utama, yaitu :
Pertama, kesederhanaan aturan
Kedua, kecepatan dalam pelayanan
Ketiga, dilakukan oleh pihak yang ahli (kapabel)

Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal..” (HR Muslim). 

Keempat, pembangunan infrastruktur transportasi mutlak mengacu pada politik dalam dan luar negeri negara khilafah. Selain itu khilafah harus memperhatikan prmanfaatan teknologi terkini dan keselarasan moda transportasi (darat, laut, udara), dengan kondisi geografi sebuah wilayah. Seperti Indonesia yang merupakan negeri kepulauan terbesar dengan 17.000-an pulau, maka khilafah wajib mengatur transportasi terbaik di wilayah ini.

Demikianlah seharusnya penyelenggaraan transportasi mudik jelang Lebaran seperti yang diselenggarakan oleh khilafah, agar perayaan Idul Fitri menjadi sempurna dan terasa bermakna sebagai buah takwa pasca-Ramadhan.

Wallahu’alam Bishshawab.


Oleh: Irawati Tri Kurnia
Aktivis Muslimah


Catatan Kaki :
(1) https://rejogja.republika.co.id/berita/rsu449399/waspadai-titik-rawan-kemacetan-arus-mudik-di-jateng-berikut-perinciannya
(2) https://ramadhan.republika.co.id/berita//rsml89330/kemenhub-diminta-atasi-harga-tiket-mudik-mahal-jelang-lebaran
(3) https://nasional.tempo.co/read/1714819/kpk-cari-pejabat-kemenhub-lain-yang-terlibat-korupsi-proyek-rel-kereta-api
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar