Topswara.com -- Indonesia adalah negara yang dikenal dengan istilah agraris, dimana negara kita memiliki lahan pertanian yang sangat luas, belum lagi sumber daya alam yang melimpah, baik diatas maupun dibawah permukaan bumi dengan berbagai macam kandungan alamnya.
Namun, realitanya Indonesia berada dalam kondisi yang genting, karena mengalami stunting ditengah tingkat kemiskinan yang terus melonjak naik, terlebih saat dihantam badai pandemi Covid-19 tiga tahun lalu.
Perlu diketahui bahwa angka stunting di Indonesia berada pada 21,6 persen. Pemerintah terkait diantaranya Kementerian Keuangan juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memiliki PR besar untuk menurunkan sampai pada 3,8 persen sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Jelas angka real dan harapan masih sangat jauh (Ekonomi.bisnis.com, 6/4/2023).
Penemuan Menteri Bappenas, Suharso Monoarfa mencium adanya kebohongan data terkait stunting yang dilaporkan pemerintah daerah atau pemda.
Ia mengatakan dalam pidatonya bahwa data-data dari Pemda adanya misleading dan data fiktif, yakni data yang dibeberkan oleh pemda adalah hanya angka dan tidak sesuai dengan penemuannya dilapangan. Dikatakan turun padahal itu hanya angka dan tidak dapat terukur penangan angka stunting secara komprehensif.
Berbicara tentang penanganan stunting tentu butuh anggaran yang tidak sedikit hal ini diceritakan oleh Menkeu Sri Mulyani saat rapat dengan Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman dan membahas betapa pentingnya mengatasi stunting. Sub kegiatan stunting di pemerintah daerah bisa menembus 283, dengan total anggaran Rp77 triliun (Cnnindonesia.com, 6/4/2023).
Stunting dan Kemiskinan, Buah Penerapan Ekonomi Kapitalisme
Masalah stunting yang seolah tidak kunjung usai, pada dasarnya solusi yang ditawarkan tidak menyentuh pada akar permasalahan. Seperti rencana pembentukan badan khusus maupun dengan mendesak undang-undang pembangunan keluarga, semua hanya retorika yang tidak berimplikasi apapun terhadap kasus stunting di negeri ini.
Belum lagi banyaknya dana koordinasi yang memakan mencapai 240 M kata Menkeu. Jelas ini memakan anggaran, yang harusnya 77 T dapat efektif namun kepentingan bermain disini. Terlebih korupsi bukan lagi aib baru dalam birokrasi saat ini.
Saat ini pemenuhan kebutuhan pangan dalam asupan gizi masyarakat tidak tercapai oleh negara. Lahan pertanian yang seharusnya dialokasikan untuk pangan masyarakat telah banyak beralih fungsi. Peralihan fungsi lahan ini menyusutkan ketersediaan pangan bagi masyarakat, sehingga mengancam kesatuan ketahanan pangan nasional dalam asupan gizi masyarakat.
Ketidaktersediaan pangan oleh negara akan menjadikan negara mau tidak mau harus melakukan impor. Padahal, negara Indonesia merupakan negara agraris, memiliki lahan pertanian luas.
Namun, adanya alih fungsi yang juga menunjukkan adanya kepentingan pengusaha maupun penguasa dalam rangka industrialisasi, akibatnya menjadikan ketersediaan lahan pangan dalam ketercukupan asupan gizi masyarakat tidak mampu tercapai.
Sumber Daya Alam (SDA) menjadi hilang kebermanfaatan bagi rakyatnya. Rakyat miskin ditengah geliat pembangunan industri yang tidak dapat dibendung. Sunggu ironi!
Stunting Butuh Solusi Sistemik
Penyebab stunting adalah karena minimnya kesejahteraan rakyat. Dalam sistem Islam (khilafah), kesejahteraan rakyat akan terjamin melalui beberapa mekanisme.
Pertama, khilafah menetapkan bahwa setiap Muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga, bertanggung jawab bekerja untuk menafkahi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini akan didukung dengan lapangan pekerjaan memadai yang disediakan oleh negara.
Kedua, khilafah mendorong masyarakat untuk saling tolong-menolong jika terjadi kesulitan atau kemiskinan yang menimpa individu masyarakat. Keluarga dan tetangga akan turut membantu mereka yang dalam kondisi kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam, semisal zakat, sedekah, dan lainnya.
Ketiga, khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam hal kepemilikan, baik individu, umum, dan negara, semua diatur untuk kemakmuran rakyat. Negara juga menjamin kehidupan setiap individu masyarakat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan, dan papan yang layak.
Khalifah pun mengupayakan agar pertanian dapat ditingkatkan untuk memproduksi kebutuhan pangan. Tidak akan ada impor pangan yang justru mematikan harga jual masyarakat. Kebijakan khalifah dalam ketahanan pangan negara dipastikan untuk memenuhi gizi masyarakat.
Khalifah memahami bahwa ia adalah pengurus dan bertanggung jawab atas rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari).
Teringat dahulu, saat sistem Islam yang berjaya dan diterapkan di tengah-tengah kehidupan, sejahtera bukan hanya harapan namun realita. Perpaduan antara sistem yang sempurna serta pemimpin yang amanah adalah kuncinya.
Umar bin khathtab yang saat itu menjabat sebagai khalifah bahkan rela memanggul sendirian karung gandumnya dan daging untuk diberikan kepada rakyatnya yang kelaparan, beliau bahkan menolak keras saat mu’awin (pembantu khalifah) hendak membantu memanggul bahan makanan tersebut.
Kejadian serupa juga terjadi di era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rakyat bahkan tidak ada yang bersedia menerima zakat karena semua telah mampu dan tercukupi sandang pangan papannya.
Tentu ini semua adalah gambaran nyata, bukan mimpi dan janji politik kesejahteraan ala demokrasi kapitalisme. Sudah saatnya bangsa ini kembali ke sistem pengaturan syariah Islam dalam mengatasi persoalan bangsa termasuk stunting. InsyaAllah harapan kesejahteraan itu masih ada dan hanya akan terjadi ketika syariah diterapkan.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (TQS. Al A’raf:96)
Wallahu 'alam bisshawwab. []
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Aktivis Muslimah
0 Komentar