Topswara.com -- Alhamdulillah kita masih dalam suasana Idulfitri. Bagaimana kabar lebarannya kemarin? Sukses mudik atau tidak? Ditakdirkan Allah SWT bisa bersilaturahmi dalam keadaan sehat wal'afiat itu sudah nikmat yang luar biasa. Biasanya nih saat silaturahim selalu mendapatkan pertanyaan seputar materi.
Seperti kerja di mana? Gajinya berapa? Jabatannya sekarang apa? Masih kontrak atau sudah rumah sendiri? Kapan nikah? Anak berapa? Mobil berapa? Mana calonnya? Kuliah dimana? Bahkan ada yang bertanya dengan nada bercanda, "Kok tambah hitam?", "Kok tambah gemuk?" Dan masih banyak lagi pertanyaan materi lainnya saat acara kumpul-kumpul.
Responnya juga bermacam-macam. Ada yang menjawab dengan serius dan ada yang dibawa santai saja. Ada yang sampai menganggap pertanyaan tadi mengganggu mentalnya.
Memang sebagian orang biasanya bingung mau membuka obrolan dengan topik apa, jadi mereka cenderung mengikuti saja pertanyaan seputar materi dan tidak mau ribet-ribet mikir. Sebagai seseorang yang paham Islam berbagai pertanyaan tersebut janganlah terlalu dimasukkan ke hati.
Tetapi ada juga yang sengaja menanyakan hal tersebut karena ingin membanding-bandingkan nasib orang dengan dirinya. Ada yang memang agak julid atau pamer. Padahal kalau dipikir-pikir kenapa standar perbandingannya harus berbau materi? Seperti jabatan, jodoh, penghasilan, penampilan fisik dan lain-lain.
Di momen bahagia apalagi diliputi suasana ruhiyah seperti lebaran seharusnya pertanyaan yang muncul pun juga bernuansa ruhiyah, seperti bagaimana target ibadah selama Ramadhan kemarin? Sudah nambah ibadah apa saja waktu Ramadhan? Apa yang ingin di upgrade setelah ramadan ini agar kita tetap bisa menjadi orang yang bertakwa? Tetapi mengapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak muncul, namun justru pertanyaan seputar materi yang jadi pertanyaan standar masyarakat?
Fakta ini sebenarnya untuk menunjukkan bahwa pandangan masyarakat hari ini sangat terpengaruh oleh sistem kapitalisme. Kapitalisme memandang bahwa tujuan kehidupan adalah untuk menggapai kebahagiaan setinggi-tingginya dan kebahagiaan itu diukur dengan tolak ukur materi. Jadi tidak heran jika masyarakat sekarang jadi materialistik.
Sebagian besar umat Islam hari ini cenderung sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan tidak akan memikirkan perasaan orang. Dalam hal masalah ibadah, mereka juga tidak tahu mana hal-hal yang merupakan ketetapan Allah SWT dan mana hal-hal yang menjadi area usaha manusia.
Namanya jodoh, rizki, dan fisik sebenarnya sudah diatur dan menjadi ketetapan Allah SWT. Jadi, semua itu adalah sesuatu yang tidak bisa dijawab dengan pasti oleh manusia, yang ada justru berpotensi menyakiti perasaan lawan bicara.
Sebagai hamba, kita seharusnya meyakini dan menerima ketetapan Allah SWT dan tidak perlu dibanding-bandingkan sesuatu yang bukan menjadi area usaha kita. Toh juga sesuatu yang merupakan ketetapan dari Allah SWT tidak akan dihisab di akhirat nanti.
Allah SWT tidak akan meminta pertanggungjawaban kita tentang kenapa hingga umur setua ini belum juga bertemu dengan jodoh, kenapa kulit kita hitam, kenapa sudah nikah bertahun-tahun tetapi belum dikaruniai anak dan lain sebagainya.
Yang Allah SWT mintai pertanggung jawaban adalah apa saja amal yang sudah kita lakukan. Apakah kita sudah melakukan sesuai perintah Allah SWT? Sudah seberapa banyak ilmu Islam yang kita pahami? Apakah gaji yang kita dapatkan saat bekerja itu hasil ikhtiar bukan kecurangan dan lain sebagainya yang mana itu semua adalah area yang bisa dan harus diusahakan manusia sebagai hamba.
Jadi, itulah perlunya kita memahami agama biar tidak salah memaknai hidup dan memfokuskan hidup kita untuk menggapai ridha Allah SWT.
Kita juga memahami mana hal yang menjadi area yang harus kita usahakan dan mana hal yang sudah harus kita terima (ketetapan Allah SWT). Kalau masyarakat memahami juga hal ini, maka tidak akan pernah ada berbagai pertanyaan seputar materi seperti di atas.
Maka perlu ada usaha kita untuk memahamkan masyarakat akan Islam melalui aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Masyarakat yang tersuasanakan Islam akan berlomba-lomba melakukan ketaatan dan kebaikan.
Namun individu dan masyarakat yang paham Islam hanya akan terwujud oleh negara yang menerapkan Islam. Kenapa? Karena negaralah yang bisa melindungi umat dari pemikiran rusak seperti kapitalisme dan sekularisme.
Negara jugalah yang berwenang menerapkan hukum bagi warganya. Negara Islam (khilafah) akan mendidik warganya dengan pendidikan berbasis akidah.
Output dari pendidikan Islam ini adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Sehingga masyarakat dalam kekhilafahan paham betul akan tujuan hidupnya dan bisa menyikapi setiap hal terkait ketetapan Allah SWT dan area usaha manusia serta memfokuskan waktu dan tenaganya untuk amal-amal yang akan dihisab Allah SWT.
Oleh: Nabila Zidane
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar