Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pelarangan Impor Thrifting Efektifkah?


Topswara.com -- Pemerintah pada akhirnya memberikan kesempatan kepada para pedagang dan importir pakaian bekas yang dikenal dengan istilah thrifting, untuk menghabiskan stok barangnya. 

Hal tersebut dilakukan setelah menuai protes akibat sebelumnya terjadi penggerebekan gudang-gudang yang berisi bal-balan pakaian bekas impor yang siap disajikan kepada para pelanggan baik di daerah Mojokerto Jawa Timur dan di daerah pasar Senin Jakarta Pusat. 

Publik bisa jadi banyak yang baru tahu bahwa impor pakaian bekas sejatinya telah dilarang sejak lama melalui Peraturan Menteri Perdagangan No 40 Tahun 2022 mengenai Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 terkait Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. (Kompas.id, 20/3/2023) 

Impor pakaian bekas pada faktanya banyak yang masuk dengan tidak melewati jalur resmi dengan membayar bea cukai. Banyak sekali jalur-jalur masuknya barang thrifting/pakaian bekas tersebut lewat pelabuhan-pelabuhan jalur tikus yang artinya tidak membayar bea cukai. 

Alasan pemerintah memperketat aturan thrifting yang utama adalah demi menjaga keberlangsungan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yaitu usaha garmen dalam negeri. Impor pakaian bekas terjadi karena permintaan masyarakat menengah kebawah akan pakaian berkualitas, bermerk namun harga yang terjangkau. Dengan harga yang sama dengan produk lokal yang baru, masyarakat lebih memilih produk branded impor. 

Di negara asalnya, masyarakat negara-negara maju sudah menjadi kebiasaan pula pakaian yang sudah tidak terpakai ada mekanisme untuk dijual kembali dalam rangka pengurangan sampah dan kenyamanan lingkungan. 

Negara Barat yang memang berideologikan kapitalisme termasuk dalam berekonomi, terus menggenjot kegiatan produksi termasuk dalam dunia fashion ini sekencang-kencangnya demi meningkatkan pendapatan perkapita. 

Tidak heran pula bila budaya konsumerisme disana akan menghasilkan residu dari gaya hidup yang harus dibuang ke negara berkembang. 

Prinsip saling menguntungkan eksportir dan importir termasuk juga permintaan masyarakat yang terus tinggi ini membuat bisnis thrifting sudah berlangsung sejak lama puluhan tahun yang lalu. 

Sebenarnya, hasil dari produksi fashion yang masih baru pun juga dipasarkan ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Tetapi tentunya tidak ada pelarangan dalam fashion yang baru ini sebagaimana thrifting. 

Apabila dikatakan bisnis thrifting ini mengancam produksi garmen dalam negeri, hal tersebut harus dibuktikan secara fakta dan konsistensi kebijakan. Pada tahun kemarin misalnya, banyak perusahaan tekstil gulung tikar akibat menurunnya angka permintaan pasar dari Eropa dan Amerika akibat resesi pasca pandemi. 

Tetapi untuk mengalihkan selera masyarakat agar mencintai produk dalam negeri tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagaimana dapat menciptakan produk bermutu dengan harga terjangkau. 

Sebenarnya, pemerintah berhak untuk membuat kebijakan apapun terkait perlindungan ekonomi rakyatnya. Tetapi hal tersebut haruslah komplit dan efektif termasuk cara-cara pelarangan impornya. Sungguh kasihan bila pengusaha thrifting tiba-tiba di razia, disita barang-barangnya untuk kemudian dimusnahkan.

Bukankah selain memenuhi apa yang diinginkan konsumen, bisnis thrifting juga menggerakkan perekonomian, dan usaha di bidang ini. Apabila terdapat pelarangan total, tentu pemerintah harus ikut bertanggung jawab supaya pengusaha thrifting mendapatkan ganti dari usaha yang sudah ditutup ini.

Dalam pandangan Islam sendiri, mempunyai ciri khas peradaban dalam masyarakat yang sangat berbeda dengan kapitalisme. Dalam negara khilafah tidak akan pernah menggenjot produksi barang tertentu termasuk fashion hanya demi mengejar pendapatan perkapita. 

Kegiatan perekonomian terjadi sesuai permintaan dan penawaran. Produk berkualitas diproduksi sesuai permintaan, termasuk barang yang bertingkat-tingkat kualitasnya semua diproduksi sesuai permintaan. 

Masyarakat daulah mempunyai pandangan hidup khas yang tidak terfokus pada duniawi dan materialisme. Kecintaan pada barang indah adalah fitrah bagi setiap manusia, tetapi itu bukan fokus dalam hidup. 

Sekilas, impor barang bekas ini memang terasa menghinakan negara, karena seolah-olah masyarakat hanya mampu untuk membeli barang bekas. Apalagi belum efek sampingan misalnya penularan virus dan bakteri dalam pakaian bekas tersebut. 

Dalam hal inilah tentu akan jadi pertimbangan daulah untuk kebijakan impor pakaian bekas ini seandainya hal tersebut dibutuhkan masyarakat. Tentu bagi daulah bukan hal yang sulit untuk mewujudkan produksi barang berkualitas yang terjangkau oleh masyarakat luas karena sistem perekonomian yang menyejahterakan di bawah syariat Islam.


Oleh: Ratna Mufidah, SE.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar