Topswara.com -- Korupsi telah menjadi budaya dalam sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri +62. Mirisnya, mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi sampai saat ini Indonesia masih menyandang jawara dalam hal korupsi.
Kasus korupsi ini telah merambah di berbagai level mulai dari pejabat, anggota dewan atau ASN bahkan dilakukan secara berjamaah. Seperti yang dikutip oleh antaranews.com, Jumat (31/03/2023),
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 orang dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian ESDM.
Akhir-akhir ini pun ramai kembali pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana yang sebelumnya sempat menghilang karena hingga kini pun belum ada kejelasan perihal jadi disahkan ataupun tidak.
Apa itu UU Perampasan Aset? Pakar Hukum Universitas Trisakti, Prof Abdul Fickar Hadjar mengatakan, secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Sebab, ada upaya-upaya paksa yaitu perampasan.
Selama ini, aset yang disita dan dirampas oleh penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset itu berpindah tangan kalau ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa disita atau bisa dilelang. (republika.co.id, Sabtu, 01/04).
Namun, apakah RUU ini akan menjadi solusi dalam mencegah korupsi jika disahkan?
Korupsi akan tetap terjadi, ketika negera tidak menerapkan sistem Islam. Dalam sistem kapitalisme sekularisme ini negara hanya memberikan solusi praktis tanpa memberantas sampai ke akar permasalahannya.
Karena dalam sistem buatan manusia ini, negara hanya memberikan sanksi yang tidak menjerakan seperti hukuman penjara, hanya membayar denda, atau yang terbaru dengan adanya UU perampasan aset. Maka, tidak heran kalau kasus korupsi makin menggurita di negeri ini.
Namun, berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi, mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas.
Para pejabat atau penguasa sadar akan amanah yang mereka emban, semua akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Sehingga, mereka tidak akan memakan harta yang bukan milik mereka. Sebagaimana firman Allah SWT.,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (TQS. An-Nisa: 29)
Begitupun, negara memberikan sanksi sesuai syariat Islam, dimana pelaku kriminal wajib dihukum, besar kecilnya hukuman disesuaikan dengan tindakan kriminal yang dilakukan.
Sistem persanksian dalam Islam bersifat jawabir dan jawazir, disamping sebagai penebus dosa hukuman juga memberikan efek jera. Hukuman bagi para koruptor dalam sistem Islam adalah dengan ta'zir, tindakan ta'zir yang paling berat bisa dihukum mati.
Hukum buatan manusia bersifat lemah, dan hukuman atau sanksi yang diberikan pun tidak memberi efek jera, wajar jika korupsi kian subur dan membudaya di negeri ini.
Hukum yang bisa mengatasi semua problematika hidup dan adil bagi seluruh umat manusia, tidak lain adalah hukum Islam. Maka, sudah saatnya umat menyadari bahwa hukum Allah SWT. yang seharusnya ditegakkan di muka bumi, bukan hukum buatan manusia.
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Eviyanti
Pendidik Generasi dan Pegiat Literasi
0 Komentar