Topswara.com -- Kemajuan teknologi saat ini sangat membantu kehidupan manusia, berbagai fasilitas yang ditawarkan dapat memudahkan manusia dalam berkomunikasi tanpa bertemu secara langsung atau tatap muka.
Bahkan semenjak adanya virus Covid-19 yang sempat melanda, kecanggihan teknologi begitu membantu masyarakat dalam bekerja, melakukan aktivitas belajar mengajar, sampai berbelanja online.
Tidak hanya itu di tengah era digital yang mendominasi membuat masyarakat dengan mudah mengakses berita melalui sosial media mereka, berbagai berita baik dan buruk dapat secara langsung ditanggapi mereka sehingga masyarakat kian melek pada berita yang sedang booming.
Namun dalam berkomentar masyarakat harus hati-hati dan waspada sekalipun kritik tersebut bukan bersifat mencela. Karena faktanya kebebasan berpendapat di muka umum hari ini kian sempit bahkan sampai berujung di meja hijau.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, yaitu kasus seorang aktifis HAM Haris Azhar yang diduga melakukan tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordintaor Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (bbcnews indonesia 03/04/2023).
Haris Azhar bersama Fatia Maulidiyanti dilaporkan setelah ia mengkritik Luhut melalui vidio "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya" yang diunggah melalui akun YouTube milik Haris Azhar (Tempo.co 3/04/2023).
Menanggapi kejadian tersebut, sejumlah LSM dan perorangan yang tergabung dalam 'Koalisi Masyarakat Sipil' (KMS) menyatakan, dakwaan atas Haris dan Fatia Maulidiyanti merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia.
Kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia. Dikatakan pula, Fatia dan Haris juga merupakan korban judicial harassment dimana perangkat hukum digunakan untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat.
Demokrasi Anti Kritik
Sisi gelap demokrasi mulai terlihat, masyarakat yang peduli terhadap negeri dengan menyampaikan pendapat dan kritik justru dibungkam atau malah dituduh anti pemerintah bahkan sampai dipidanakan.
Sangat disayangkan di era kemudahan teknologi justru banyak pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintah, mungkinkah ini yang disebut dengan kemajuan demokrasi? Atau justru kemunduran demokrasi?
Munculnya kritikan dari rakyat menandakan rakyat mulai jenuh pada kondisi saat ini, karena kehidupan masyarakat kian merana namun disisi lain kehidupan para penguasa kian bahagia dengan berbagai kekayaan yang mereka miliki.
Kekayaan yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat kini dinikmati golongan tertentu saja. Wajarlah banyak sindiran dari masyarakat melalui berbagai cara salah satunya dengan jalan memanfaatkan sosial media mereka untuk berkomentar, karena cara tersebut dianggap cepat dan mudah.
Akan tetapi kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilar demokrasi makin dikebiri, rezim juga makin represif terhadap kritik masyarakat yang kritis.
Padahal kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat merupakan konsekuensi atas dipilihnya sistem demokrasi sebagai pengatur tata negara.
Namun pada kenyataannya slogan kebebasan berpendapat hanyalah umpan untuk menarik masyarakat agar yakin bahwa sistem ini sistem terbaik dimana rakyat dapat mengutarakan argumennya.
Sangat disayangkan sistem demokrasi telah dicoreng oleh para pengusungnya dengan membungkam masyarakat yang aktif mengkritik para penguasa.
Padahal peran masyarakat dalam sebuah negara adalah mengawasi, mengkritik, dan menyarankan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum yang nantinya akan berdampak kepada masyarakat itu sendiri.
Adanya kritik seharusnya rezim dapat intropeksi ke depannya, namun ternyata rezim merasa terusik terhadap kritikan dari rakyat. Bukannya mengimplementasikan suara rakyat namun yang terjadi masyarakat dipertontonkan dengan praktik kriminalisasi terhadap para pengkritik menggunakan pasal pencemaran nama baik.
Kedudukan Kritik dalam Sistem Islam
Tabiat pemimpin anti kritik tidak akan ditemukan dalam sistem Islam, Islam justru menyuruh rakyatnya agar senantiasa mengkritik penguasa jika penguasa berbuat suatu kezaliman atau tindakan yang melanggar hak individu atau masyarakat.
Karena mengkritik bukan hal yang dilarang dalam Islam, selama dibarengi dengan etika yang baik. Kritik dalam Islam adalah salah satu bentuk dari amar makruf nahi mungkar, masukan berupa kritik amat dibutuhkan untuk saling mengingatkan. Terlebih dapat menjadi amal utama untuk mendatangkan pahala besar bagi sang pengkritik.
Allah SWT berfirman :
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ١٠٤
Artinya : "Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran/3 : 104).
Kemudian untuk menampung kritik masyarakat sistem pemerintahan Islam mempunyai mejelis umat yang mewakili umat dalam melakukan muhasabah terhadap para pejabat pemerintah.
Tugas majelis umat sebagai pengontrol atau pengoreksi terhadap penguasa. Pemimpin (khalifah) dalam Islam membuka ruang pada para rakyatnya sehingga jika ada suatu kezaliman yang dirasakan masyarakat utamanya maka sistem Islam akan langsung mengatasinya, hal ini berbeda dengan demokrasi yang membiarkan kezaliman ditengah masyarakat dan menutup pintu kritik kepada penguasa.
Wallahu alam bish shawab.
Oleh: Heny Era
Aktivis Muslimah
0 Komentar