Topswara.com -- Jaminan kesehatan sejatinya adalah kebutuhan seluruh rakyat, baik kaya ataupun miskin semua berhak mendapat pelayanan kesehatan yang optimal. Layanan ini dapat berupa fasilitas yang memadai, nakes yang cakap dan terdidik serta obat-obatan yang berkualitas dan terjangkau. Semua ini selayaknya bisa didapatkan di semua rumah sakit, klinik maupun puskesmas di seluruh negeri.
Di Indonesia sendiri fasilitas dan layanan kesehatan ini belumlah seluruhnya memadai. Kurangnya tenaga dokter, perawat, bidan, apoteker, ahli gizi termasuk biaya berobat yang tinggi dan obat-obatan yang mahal masih menjadi kendala bagi rakyat dalam memenuhi haknya. Maka dari itu pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan menunjuk BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai pelaksananya.
Program jaminan tersebut sendiri adalah serupa asuransi kesehatan yang dibayarkan peserta setiap bulannya. JKN terdiri dari dua jenis, yaitu BPJS, dimana iuran dibayar mandiri oleh peserta dan KIS (Kartu Indonesia Sehat) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
Pemerintah pusat sangat mendorong para kepala daerah terutama Gubernur dan Bupati untuk menggalakkan program ini di daerahnya agar target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) yang dituangkan dalam Inpres Nomor 1 tahun 2022 yaitu 98 persen rakyat Indonesia mendapat jaminan kesehatan. Dan daerah yang berhasil melaksanakan aturan ini akan mendapat penghargaan.
Seperti yang baru-baru ini diterima oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna berupa penghargaan UHC (Universal Health Coverage) karena keberhasilannya mendaftarkan lebih dari 95 persen penduduk Kabupaten Bandung menjadi peserta JKN-KIS. Meski demikian, Kang DS (sapaan akrab Dadang Supriatna) berharap dengan diterimanya UHC ini maka fasilitas kesehatan di wilayah kerjanya dapat semakin optimal dalam melayani masyarakat dan berjanji akan menjamin akses layanan kesehatan seluruh penduduk Kabupaten Bandung. (detikjabar, 14 Maret 2023)
UHC sendiri adalah bagian dari program WHO untuk memberi jaminan kepada semua orang agar mempunyai akses kepada layanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan, dengan kualitas yang memadai, tanpa menimbulkan kesulitan finansial bagi penggunanya. Sementara itu pemerintah mengimplementasikan program ini melalui JKN-KIS yang bekerjasama dengan BPJS.
Padahal BPJS sendiri faktanya belum memberikan pelayanan yang maksimal kepada pesertanya. Tak jarang kita dengar cerita pasien yang ditolak oleh RS hanya karena mendaftar dengan kartu jaminan tersebut. Belum lagi pasien rawat jalan yang harus mengantri sedari subuh agar mendapat nomor antrian yang tidak terlalu panjang. Ketidakadilan rumah sakit secara nyata terlihat dalam melayani pasien umum dan BPJS. Ketidakadilan ini terkadang disebabkan perbedaan kelas kepesertaan dan nominal iuran, dana BPJS belum cair atau karena peserta BPJS masih nunggak membayar iuran per bulan. Lalu kemana iuran itu mengalir saat rakyat yang rutin membayar tapi belum menggunakan haknya?
Pada tahun 2020 saja BPJS tercatat memiliki arus kas positif sebesar Rp18,7 triliun. Artinya sumber dana (yang didapat dari laba) dan penggunaan dana tergolong sehat. Bahkan BPJS mengalami surplus hingga tahun 2024. Tetapi mirisnya dana sebesar itu bahkan tidak mampu digunakan untuk melayani rakyat sebaik-baiknya. (Muslimah News, 30 November 2022)
Di sini terlihat buruk dan zalimnya penguasa dalam mengurus kesehatan rakyatnya. Yang demikian itu terjadi akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler neoliberal di negeri ini. Penguasa lebih berorientasi kepada bisnis yang menguntungkan daripada peduli dengan kesehatan umat. Padahal negara wajib menjamin kesehatan penduduk tanpa memungut iuran dana sedikitpun dari masyarakat. Karena pada hakikatnya pelayanan kesehatan adalah hak masyarakat yang merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Bukan membiarkan rakyat menanggung sendiri kebutuhan mereka dan malah menjadikannya ajang bisnis untuk meraup materi sebanyak-banyaknya.
Penguasa dalam sistem ini seolah tak memiliki kepentingan untuk mengurus rakyat dengan sebaiknya ataupun memastikan kesehatan mereka, para penguasa justru sibuk memikirkan bagaimana memuluskan berbagai program Barat termasuk UHC agar tetap terlaksana salah satunya melalui kapitalisasi. Akibatnya biaya kesehatan sangat mahal, pelayanan kesehatan dengan fasilitas serta obat-obatan terbaik hanya dapat dinikmati orang-orang berduit saja. Sementara rakyat miskin tidak dapat menjangkaunya hingga akhirnya mereka hanya mendapatkan pelayanan seadanya.
Sangat kontras dengan yang dilakukan penguasa dalam negeri yang diatur dengan Islam. Islam sebagai ideologi memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok individu rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara tanpa memandang status sosial mereka. Kaya ataupun miskin memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Negara pun wajib melakukan segala cara agar hak rakyat tersebut bisa terpenuhi dengan optimal.
Layanan akan diberikan secara maksimal dengan fasilitas, tenaga kesehatan, peralatan rumah sakit serta obat-obatan terbaik. Mekanismenya pun diatur sedemikian rupa dari hulu sampai hilir sehingga penjagaan kesehatan dapat dilaksanakan dalam empat aspek mulai dari preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif (pemulihan kesehatan) dan promotif (peningkatan kesehatan). Semuanya dapat diakses dengan mudah, murah bahkan gratis.
Pelayanan kesehatan seperti ini dapat dilaksanakan karena dukungan sistem ekonomi Islam yang berbasis Baitul Mal. Sistem ini meniscayakan kepemilikan sumber daya alam sebagai harta milik rakyat hasilnya dikembalikan kepada umat untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka termasuk kesehatan. Dengan sumber pemasukan negara yang cukup besar ini pelayanan kesehatan atau pun kebutuhan pokok masyarakat akan terpenuhi secara optimal. Negara tidak akan membentuk program batil yang isinya menyengsarakan rakyat dan memperkaya kelompok kapital. Negara akan mewujudkan pelayanan ini berupa ketersediaan rumah sakit-rumah sakit, dokter umum dan spesialis, tenaga kesehatan, obat-obatan, ruang perawatan, tanpa memilah kelas dan strata sosialnya. Semuanya diberikan secara gratis dan berkualitas.
Yang demikian karena penguasa dalam Islam benar-benar bertanggung jawab sebagai pengurus umat. Seperti sabda Rasulullah saw:
“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari)
Terwujudnya tanggung jawab negara dalam pelayanan kesehatan, berimbas pada kenyamanan serta kepuasan yang luar biasa dirasakan oleh masyarakat hingga ada yang rindu untuk dirawat. Dalam suatu riwayat pernah terjadi seseorang yang berpura-pura sakit hanya untuk menikmati fasilitas mewah rumah sakit. Hal ini membuktikan betapa sempurnanya pelayanan kesehatan di dalam sistem pemerintahan Islam dengan riayah pemimpinnya benar-benar riil, yakni mengurus dan mengatur kemaslahatan publik secara menyeluruh. Kondisi ini akan kembali dirasakan masyarakat jika Islam dan institusinya ada dan diperjuangkan keberadaannya. Wallahu a'lam bi ash shawab.
Oleh: Tatiana Riyardiyati Sophia S
Pegiat Dakwah dan Literasi
0 Komentar