Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Grasi Terpidana Mati, Wujud Lemahnya Demokrasi


Topswara.com -- Setelah mendekam di penjara lebih dari 22 tahun, terpidana mati kasus narkotika Merri Utami tidak jadi dieksekusi pasca mendapatkan grasi dari presiden. Sebelumnya ia telah divonis mati, tapi kini bisa bernafas lega karena hukumannya telah berganti menjadi hukuman seumur hidup.

Dikutip dari laman kompas.com (13/4/2023), bahwa terpidana mati Merri Utami  mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo. Hal ini disampaikan oleh tim kuasa hukumnya, Aisyah Humaida Musthafa dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Tebet, Jakarta Selatan. Dalam jumpa persnya  pada Kamis 13/4/2023, kuasa hukum Merri, mengatakan, kabar grasi tersebut diterima langsung dari Merri pada 24 Maret 2023.

Merri Utami merupakan terpidana mati dalam kasus 1,1 kg heroin yang terungkap di Bandara Soekarno Hatta 2001 silam,  Setelah melewati sidang pengadilan, ia divonis hukuman mati oleh PN Tangerang karena terbukti membawa heroin saat pulang dari Taiwan. Namun, Komnas Perempuan saat itu menyebut Merri sebagai korban perdagangan orang.

Grasi Menuai Kontroversi

Terkait pemberian grasi tersebut tidak pelak menimbulkan kontroversi. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) salah satu pihak yang menyambut baik keputusan presiden ini. Menurut peneliti ICJR, Adhigama Budiman, kebijakan ini adalah grasi pertama yang diberikan presiden kepada terpidana mati kasus narkotika. Ia menilai bahwa langkah presiden ini penting dalam perubahan kebijakan vonis mati selama ini. 

Di sisi lain, Muhammad Afif sebagai Direktur LBH Masyarakat (LBHM) juga selaku kuasa hukum Merri menganggap bahwa grasi presiden kepada kliennya hanya setengah hati. Meski meringankan hukuman, tetapi grasi yang dituangkan melalui Keppres No. I/G/2023 tersebut tidak mempertimbangkan durasi pemenjaraan MU yang telah mendekam lebih dari 22 tahun dan menjalani rangkaian pelaksanaan eksekusi mati pada 2016. Bahkan grasi baru dikabulkan setelah 7 tahun diajukan pada presiden. 

Selain MU, kasus dengan vonis pidana mati juga diterima oleh eks Kepala Divisi Propam Polri FS baru-baru ini. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa tindakan FS merupakan kejahatan luar biasa yang pantas dihukum seberat-beratnya. 

Hukuman mati menjadi keputusan hakim atas kejahatannya. Namun keputusan tersebut dianggap melanggar HAM. Ketika Indonesia masih menggunakan hukuman mati sebagai salah satu sanksi, sementara dunia internasional menolak hukuman mati.

Semua perbedaan pandangan tersebut terjadi salah satunya karena standar hukum yang kabur. Keterbatasan manusia sebagai mahkluk menjadikannya lemah dalam menentukan hukum benar dan salah.  

Kontroversi Hukum Bukti Lemahnya Sistem Demokrasi

Inilah realitas aturan hukum yang lahir dari sistem sekularisme demokrasi. Dalam sistem ini, aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Hal inilah yang menjadikan manusia memiliki kewenangan dalam membuat aturan. Maka wajar jika dalam penetapan hukum tidak ada batasan yang jelas, hingga ketidakadilan pun kerap terjadi saat menjatuhkan sanksi.

Hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem sekularisme demokrasi. Sebab hukum bersumber dari akal manusia yang terbatas. Manusia menilai benar dan salah secara relatif tergantung kemaslahatan yang dipandangnya. Oleh sebab itu hukum yang berasal dari manusia tidak akan mampu memenuhi rasa keadilan.

Hukum dalam Islam Menjamin Keadilan

Aturan Islam berasal dari zat yang Maha Adil, bukan buatan manusia. Sehingga akan mampu menjamin rasa keadilan. Hal tersebut telah terbukti pada masa pemerintahan Islam masih diterapkan. Yaitu sejak masa Rasullullah SAW. sampai masa kekhilafahan Turki Ustmani. 

Hukum yang diberlakukan merupakan hukum terbaik di segala zaman dan masa, yaitu syariat Islam. Sebagaimana  firman Allah SWT. 

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50)

Syariat Islam mencakup semua aspek kehidupan termasuk sanksi (uqubat). Terkait sistem sanksi ini, maka hukuman akan dijatuhkan kepada orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan atau melanggar aturan Allah SWT.

Adapun fungsi sanksi (uqubat) dalam Islam adalah sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, diharapkan akan mencegah orang lain melakukan kesalahan yang sama. 

Selain itu pelaku kemaksiatan mendapatkan efek jera hingga menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuha hingga tidak mengulang kesalahan serupa. Sedangkan jawabir (penebus) adalah sanksi diberlakukan sebagai penebus dosa bagi pelaku kejahatan hingga mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat.

Sistem sanksi dalam Islam juga memberi batasan-batasan hukuman secara jelas. Menurut Syekh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Sistem Sanksi Dalam Islam menyebutkan ada empat jenis hukuman dalam Islam. 

Pertama hudud yaitu pelanggaran hukum pidana yang batas hukumannya telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, seperti hukuman bagi pelaku zina, qazaf (menuduh berzina), mencuri, atau perampok. 

Kedua jinayat, yaitu hukuman terhadap pelaku yang melakukan pencederaan badan bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa, maka hukumannya adalah qisas. Hukuman akan setimpal sesuai kadar pencederaan badan yang dilakukan bahkan dengan nyawa jika sampai menghilangkannya, atau diganti dengan diyat (denda) jika korban memaafkan.

Ketiga takzir yaitu hukuman dari penguasa atau qadhi (hakim) berdasarkan ijtihad bagi pelaku yang melanggar kewajiban tertentu atau keharaman tertentu, sementara nash syarak (syariat Islam) belum menentukan kadar hukumannya. Seperti kasus seorang Muslim yang tidak shalat, tidak puasa, atau tidak membayar zakat.

Keempat mukhalafah yaitu pelanggaran terhadap administrasi dan ketentuaan perundang-undangan yang telah diadopsi oleh negara.

Demikian sistem sanksi (uqubat) dalam syariat Islam. Semua hal tersebut hanya bisa ditegakkan oleh penguasa dan qadhi (pemutus perkara) dalam sistem pemerintahan Islam. 

Sehingga kejahatan, kemaksiatan dan pelanggaran aturan dapat diminimalisir. Hukum pun diterapkan secara tegas tanpa tebang pilih. Rasa keadilan dari setiap komponen masyarakat akan didapat. Baik itu bagi korban dan keluarganya, masyarakat secara keseluruhan, hingga pelaku kejahatan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.


Oleh: Siti Aisyah
Penulis dan Member Komunitas Rindu Surga
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar