Topswara.com -- Gelombang merumahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) jelang hari raya Idul Fitri kembali terjadi di wilayah Kabupaten Karanganyar.
Menurut ketua DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Karanganyar, Murjioko, jumlah pekerja yang dirumahkan hingga terkena PHK mencapai seratusan orang.
Sayangnya minim pelaporan sehingga tidak terdeteksi jumlah pasti pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK tersebut. Bahkan kasus merumahkan dan melakukan PHK terhadap pekerja tidak hanya terjadi di Karanganyar. Namun di beberapa daerah di Soloraya, seperti di Kabupaten Sragen. (Solopos.com 03/4/2023)
Murjioko mengatakan keputusan merumahkan dan melakukan PHK terhadap pekerja seringkali menjadi modus yang dilakukan perusahaan menjelang hari raya. Perusahaan enggan menunaikan kewajibannya membayarkan tunjangan hari raya (THR) bagi para pekerja.
Padahal, banyak di antara mereka telah bekerja lebih dari lima tahun. Namun para pekerja ini terjebak dalam status kontrak maupun pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). (Solopos.com 03/4/2023)
Kebijakan PKWT Bentuk Penerapan UU Cipta Kerja
Kebijakan merumahkan dan melakukan PHK pekerja kontrak maupun PKWT jelang lebaran ini sejatinya merupakan bentuk penerapan UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja yang disahkan tanggal 21 April 2023 lalu sangat sarat dengan kepentingan para pemilik perusahaan yang merugikan para pekerja.
Beberapa waktu lalu aturan PKWT dalam UU cipta kerja terbaru ini mendapat sorotan dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Beliau mengatakan bahwa dalam UU cipta kerja yang terbaru, masa kerja pegawai tidak dibatasi periode kotraknya. Sehingga perusahaan berpotensi memperbarui kontrak pekerja tanpa perlu mengangkatnya menjadi karyawan tetap. (Kompas.com 03/01/2023)
Padahal, menilik UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, secara tegas diatur mengenai berapa lama masa kerja pekerja kontrak atau PKWT. Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memuat, PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
Ketentuan lama ini mengharuskan perusahaan melakukan perjanjian atau kontrak kerja PKWT paling lama 3 tahun. Setelah lewat 3 tahun, perusahaan wajib mengangkat pekerja sebagai karyawan tetap apabila masih ingin mempekerjakannya.
Akibatnya kondisi pekerja penuh ketidakpastian karena sewaktu waktu bisa diputuskan masa kontraknya. Selain itu pekerja tidak mendapatkan tunjangan maupun kenaikan gaji berkala karena statusnya hanya pekerja kontrak.
Para pekerja atau buruh sering melakukan demo maupun mengadukan nasib mereka ke wakil rakyat. Seperti yang dilakukan puluhan karyawan PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) 1, Kebakkramat, Karanganyar, yang nekat mengadu ke kantor DPRD, Selasa siang (4/4/2023).
Mereka mengaku telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada awal tahun lalu, namun hingga kini mereka belum menerima pesangon. Namun jauh panggang dari api, mereka hanya diminta oleh ketua DPRD, Bagus Selo, untuk merembug kembali dengan perusahan mengenai penyelesaian permasalahan tersebut, karena semua harus maklum dengan kondisi perusahaan yang sedang sulit. (Jawapos.com 04/04/2023)
Tidak jauh berbeda, Bupati Karanganyar, Juliatmono pun menanggapi ihwal nasib pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK, hanya dengan meminta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk memberikan pelatihan atau bekal baru bagi mereka.
Misalnya, mereka dialihkan bekerja di sektor lain, seperti di bidang kuliner. Usaha kuliner ini membuka peluang menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Namun Juliatmono tidak memperhitungkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha kuliner yang tentu saja memberatkan para pekerja korban PHK tersebut. (Solopos.com 03/4/2023)
Begitulah watak asli para pemimpin dalam sistem kapitalisme. Mereka hanya sebagai regulator kebijakan yang memuluskan usaha para kapitalis atau pemilik modal tanpa memikirkan nasib rakyat yang menjadi tanggung jawabnya.
Islam Mengatur Masalah Ketenagakerjaan
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur berbagai masalah kehidupan, termasuk dalam masalah ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan sepenuhnya tergantung kontrak kerja (akad ijarah) antara pengusaha dan pekerja.
Sebagaimana hukum akad, kontrak kerja sama harus memenuhi ridha wal ikhtiar. Artinya, kontrak yang terjadi yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi pihak lainnya.
Pengusaha diuntungkan melalui jasa pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan pengusaha. Sebaliknya pekerja diuntungkan karena ia memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha.
Kezaliman dalam kontrak kerja dapat dilakukan pengusaha terhadap pekerja dan sebaliknya dapat dilakukan pekerja terhadap pengusaha.
Kezaliman pengusaha terhadap pekerja adalah tindakan mereka yang tidak membayar upah pekerja dengan baik, memaksa pekerja bekerja di luar kontrak kerja yang disepakati, melakukan pemutusan hubungan kerja secara semena-mena, termasuk tidak memberikan hak-hak pekerja seperti hak untuk dapat menjalankan kewajiban ibadah, hak untuk istirahat jika dia sakit, dan lain sebagainya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW. bersabda,
Allah SWT berfirman, “Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedang orang itu tidak memberikan upahnya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Sedangkan kezaliman pekerja terhadap pengusaha adalah jika pekerja tidak menunaikan kewajibannya yang menjadi hak pengusaha, seperti bekerja sesuai jam kerja yang ditentukan, melakukan pengrusakan terhadap aset milik pengusaha, dan lain sebagainya.
Dalam rangka mencegah kezaliman yang terjadi dalam kontak kerja tersebut, negara yang menerapkan Islam (khilafah) memberlakukan hukum-hukum tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja.
Jika masih ada perselisihan, khilafah menyediakan wadah yang terdiri dari tenaga ahli (khubara’) yang diharapkan dapat menyelesaikan perselisihan di antara keduanya secara netral.
Dengan demikian, jika syariat Islam ditegakkan dalam Khilafah, tak perlu lagi ada persoalan UMK, outsourcing, tunjangan kesejahteraan, ataupun PHK sewenang-wenang terhadap para pekerja. Pekerja dan pengusaha sama-sama diuntungkan, tanpa regulasi zalim yang hanya menguntungkan kapitalis, terlebih investor asing.
Hanya khilafah yang mampu menghilangkan kezaliman pada para pekerja, karena khilafah sajalah yang mampu merealisasikan hukum syariat Islam yang membawa keberkahan pada seluruh manusia. Wallahua’lam bishawab.
Oleh: Kamilah Azizah
Aktivis Muslimah
0 Komentar