Topswara.com -- Pamer harta kekayaan, yang kini dikenal dengan istilah "flexing", kian menjamur di berbagai kalangan. Yang kini tengah menjadi sorotan, flexing keluarga para pejabat yang memamerkan berbagai kemewahan yang dimiliki.
Mulai dari tas branded, mobil mewah, sepatu yang mahal luar biasa, liburan mewah di kapal pesiar, dan beragam kemewahan lainnya. Flexing umumnya dilakukan di berbagai akun media sosial yang mereka miliki. Setelah menimbulkan kegaduhan di jagat maya, tidak sedikit dari mereka yang segera menutup akun tersebut.
Belakangan, aksi flexing banyak dilakukan para istri dan anak pejabat. Salah satunya kasus flexing istri pejabat Kemensetneg, Esha Ramanshah Abrar (kompas.com, 20/3/2023). Sang istri memamerkan kepemilikan mobil mewah, hadiah emas serta rumah mewah.
Kekayaan yang dimiliki tidak sebanding dengan jabatannya di Kemensetneg, yang menduduki posisi Kasubag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementrian Sekretariat Negara, golongan IV/a.
Gaji dan tunjangan yang diberikan negara, jauh di bawah kepemilikan harta yang dimiliki. Tentu saja, hal ini memantik kecurigaan masyarakat. Alhasil, KPK dan PPATK pun terjun langsung menindak dan memeriksa perkara tersebut. Dan masih banyak kasus serupa lainnya.
Flexing, Buah Kapitalisme yang Hedonis
Secara psikologis, flexing, merupakan sikap narsisme. Faktor utama pendorongnya adalah rasa tak nyaman di tengah publik (insecure). Dengan kata lain, perilaku flexing merupakan perilaku pamer yang dilakukan demi mendapatkan pengakuan publik terhadap keberadaannya.
Dalam sistem kapitalisme sekularisme, pengakuan dari publik adalah sesuatu yang sangat penting. Demi tercapainya beragam kepentingan. Tidak sedikit, flexing pun digunakan seseorang demi meraup rasa hormat masyarakat terhadapnya melalui gelimang harta. Namun sayang, faktanya banyak orang tidak menyukai perilaku pamer.
Secara fitrahnya, manusia menyukai kesederhanaan. Namun, dalam sistem rusak ini, pemahaman seseorang "beralih". Dari sederhana menjadi hedonis. Sebagai akibat dari sistem kapitalisme sekuler yang melahirkan gaya hedonisme.
Tentu saja, program ini merupakan upaya Barat yang terus digencarkan untuk merusak pemahaman generasi. Parahnya lagi, gaya hidup flexing dianggap sebagai budaya kekinian yang sah-sah saja diadopsi. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang keliru. Merusak arah pandang kehidupan yang benar.
Standar keberhasilan yang dipatok sistem kapitalisme sekularisme hanyalah capaian banyaknya materi dan kemewahan semata. Tanpa memandang benar atau salahnya perbuatan yang dilakukan. Alhasil, keserakahanlah yang dilahirkan. Tanpa ada batasan. Semua berlomba-lomba memperbanyak kekayaan.
Sistem kapitalisme sekularisme hanya melahirkan jiwa pejabat yang nirempati. Di kala masyarakat semakin terhimpit ekonomi, justru para keluarga pejabat makin kaya dengan melimpahnya harta. Tentu saja perbuatan seperti ini menyakiti hati masyarakat. Tidak heran, saat jurang sosial makin dalam, menjadi biang munculnya berbagai tindak kejahatan.
Flexing dalam Pandangan Islam
Menyoal keluarga pejabat yang gemar "pamer harta", selayaknya ditempatkan sesuai porsinya. Keputusan negara yang menonaktifkan pejabat karena keluarganya kedapatan flexing, adalah keputusan yang aneh.
Bisa jadi, keputusan tersebut adalah keputusan reflektif demi menjaga kehormatan dan citra penguasa di mata masyarakat. Semestinya, negara harus cermat memeriksa sumber keuangan pejabat tersebut, tatkala baru menjabat dan selama menjabat. Baru dapat memutuskan secara adil, dinonaktifkan atau tidak.
Sistem Islam tidak melarang pejabat atau warga negaranya memiliki kekayaan melimpah. Dengan syarat, harus didapat dengan jalan yang sesuai syariat, seperti berdagang. Bukan melalui jalan haram seperti korupsi, pencucian uang ataupun suap.
Negara akan menindak tegas setiap tindakan yang merugikan rakyat. Beragam kasus penyelewengan dana, sesegera mungkin ditindak tegas oleh negara. Karena negara memahami, segala tindakan ini akan merugikan dan merusak masyarakat.
Fungsi utama negara dalam sistem Islam, sebagai penjaga umat dan senantiasa berusaha mensejahterakannya. Negara memberikan sanksi yang tegas kepada para koruptor, berupa pewartaan/ pengumunan kepada masyarakat, denda, penjara seumur hidup hingga hukuman mati. Kebijakan vonisnya disesuaikan dengan tingkat kasus dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat.
Pemimpin yang terlahir dalam sistem Islam, dipastikan terjaga akidah dan akhlaknya. Meskipun ada para pejabat yang memiliki kekayaan melimpah, tidak lantas menjadikannya sebagai individu yang sombong ataupun suka pamer. Namun, justru bergaya hidup sederhana dan menjadi teladan di mata umat.
Syekh Abdul Qadim Zallum, dalam kitab Al Amwal fii Daulah Khilafah, menjelaskan bahwa Daulah, yang diwakili oleh Badan Pengawas Keuangan, wajib mengawasi setiap pegawainya baik dalam kinerjanya maupun sumber kekayaan yang dimilikinya.
Khalifah Umar bin Al Khaththab pernah mengangkat pengawas keuangan, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Petugas atau badan ini akan melakukan pembuktian terbalik kepada para pejabat yang diduga melakukan transaksi penyalahgunaan kekayaan negara.
Pembuktian terbalik adalah menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatannya. Jika didapati kenaikan yang tidak wajar, pejabat yang bersangkutan diminta untuk membuktikan sendiri bahwa semua kekayaannya didapatkan dengan cara yang halal.
Namun, jika tidak sanggup membuktikan harta kekayaan tersebut, maka kelebihan harta itu termasuk harta ghulul, yang wajib diberikan kepada Baitul Mal, dan menjadi pos kepemilikan negara.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Barang siapa yang kami angkat untuk suatu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuknya, maka segala sesuatu yang dia ambil selain itu, adalah harta ghulul"
(HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al Hakim).
Betapa sempurnanya pengaturan syariat Islam. Mengatur setiap segi kehidupan dengan asas utama ketundukannya pada As Syari’, Allah SWT. Semua konsep ini hanya dapat diterapkan dalam negara berbasis sistem Islam. Dalam wadah institusi khas sesuai teladan Rasulullah SAW. Khilafah manhaj An Nubuwwah. Satu-satunya institusi tangguh yang mengatasi berbagai kezaliman.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar