Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Beranikah Negara Menyelesaikan Masalah Pencucian Uang?


Topswara.com -- Pencucian uang merupakan istilah bagi pihak yang melibatkan pendapatan dan aset dengan cara disamarkan asal-usulnya sehingga aset dapat dipergunakan bebas tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut ilegal. Aktivitas tersebut membuat seolah-olah uang yang diperoleh berasal dari sumber yang sah.

Money laundering atau istilah tindak pidana pencucian uang (TPPU) makin dikenal publik. Setelah Ketua Komite Nasional Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (KNK-PP-TPPU) Mahfud MD membahas adanya dugaan TPPU yang melibatkan 491 ASN Kemenkeu dengan total transaksi mencapai sekitar Rp349 triliun. (BBC Indonesia, 29-3-2023).

Meski Menkeu Sri Mulyani membantahnya dengan menyebutkan bahwa transaksi mencurigakan TPPU yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu “hanya” Rp3,3 triliun, publik tetap kecewa lantaran kehidupan mewah sejumlah pegawai Kemenkeu di tengah kemiskinan yang melanda mayoritas warga sudah begitu gamblang tersorot media.

Tindak Pidana TPPU sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU berlaku bagi setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain; menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya; menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut ada sekitar 25 artis yang diduga terlibat dan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rafael Alun Trisambodo. Para artis itu di luar dari R yang sebelumnya disebut terlibat.
Dilansir dari detikHot, Senin (3/4/2023), dari 25 daftar artis yang diduga terlibat itu ada tiga band besar.

Sungguh miris sebuah negeri yang katanya negara hukum, yang semua tindakan kriminal akan ditindak lanjut dengan proses hukum yang berlaku. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa segala tindakan yang mengarah kepada kerugian negara bak seperti tebang pilih cara penerapan hukumnya. 

Sehingga tidak ayal tindakan korupsi bak seperti jamur yang berkembang tanpa melihat musim. Walaupun sudah ada UU yang di gadang-gadang dapat membasmi korupsi, seperti UU Tipikor dan TPPU ataupun yang masih dalam proses penggodokan yaitu UU perampasan aset yang di berlakukan apabila terbukti melakukan tindakan korupsi.

Namun, apakah ini masih bisa menjadi solusi tuntas dalam membasmi para pelaku korupsi? Tentu jawabannya tidak, apalagi kalau sistem yang masih di terapkan yaitu sistem kapitalisme yang menjadi cikal bakal tumbuhnya bibit korupsi. 

Karena mahalnya mahar politik yang harus di keluarkan untuk menjadi penguasa, inilah cikal bakal tumbuhnya tindakan korupsi. Karena apa yang dikeluarkan harus sebanding dengan apa yang di dapatkan, para elite politik memutar otak untuk bisa mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Karena sejatinya mereka menjabat semata-mata untuk meraih  keuntungan dari rakyat bukan mensejahterakan rakyat.

Inilah yang terjadi apabila sistem yang rusak masih tetap eksis dalam mengatur urusan rakyat, hasilnya rakyat yang selalu menjadi korban. Sistem politik demokrasi memang menjadikan kekuasaan tertinggi ada ditangan penguasa. 

Wajar jika aturan bisa berubah-ubah sesuai kepentingan mereka. Sistem sanksinya juga tidak menjerakan. Hukuman koruptor sungguh terlampau ringan. Koruptor yang terbukti melakukan TPPU, hukumannya paling lama 20 tahun dan denda paling besar Rp10 miliar.

Realitasnya pula, jarang ada koruptor yang dihukum hingga 20 tahun. Jaksa Pinangki yang terbukti korupsi triliunan uang negara, misalnya, hanya divonis 4 tahun dan sudah keluar penjara setelah 2 tahun. Belum lagi fasilitas mewah di penjara yang sama sekali tidak akan menjerakan pelaku. Terlebih negeri ini tidak memiliki sanksi sosial. Wajar jika pelaku korupsi seperti Emir Moeis masih bisa jadi komisaris salah satu anak BUMN.

Berbeda halnya apabila Islam yang di terapkan, amanah menjadi seorang pejabat bukanlah hal untuk dipermainkan dan tujuan mengembannya bukan untuk mencari harta sebanyak-banyaknya. Hal ini terjadi karena dukungan sistem Islam. Yang mana menumbuhkan keimanan dan peduli pada rakyatnya.

Sanksi di dalam Islam tidak bisa tawar menawar, itu menunjukkan ketegasan dalam membasmi segala macam tindakan kriminal, baik itu menyangkut individu atau tindakan yang merugikan negara. 

Wallahu a'lam bishawwab.


Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar