Topswara.com -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko baru-baru ini memberi kuliah umum di Universitas Jember (UNEJ) bertemakan “Ketahanan Pangan dan Energi Untuk Indonesia Maju” pada Jumat (24/3/2023).
Dalam kuliahnya, Moeldoko menekankan tiga masalah besar yang dihadapi dunia saat ini, yaitu krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan dimana Indonesia juga termasuk di dalam pusaran arus masalah global ini.
Tingkatkan Penggunaan Hasil Riset dengan skema kerjasama PT, Petani, dan Pemilik Modal
Moeldoko pada sesi kuliah umumnya di UNEJ menyatakan bahwa permasalahan pertanian Indonesia ada tiga hal, yakni masalah kepemilikan tanah, permodalan, dan teknologi. Permasalahan ini lantas disampaikan agar civitas akademika mampu merangkul petani terkait transfer pengetahuan yang berguna untuk pengembangan pertanian.
Hanya saja, kerjasama ini jelas membutuhkan modal yang tidak sedikit agar target peningkatan ketahanan pangan Indonesia bisa tercapai. Maka dari itu, pemerintah menggunakan skema Pentahelix yang melibatkan lima stakeholder penting dalam paradigma pembangunan kapitalistik saat ini yang meliputi A, B, C, G, M; dimana A atau academic adalah pihak perguruan tinggi, B adalah bussiness entity atau korporasi, C adalah community atau masyarakat, G adalah government atau pemerintah, dan M adalah media.
Sekilas, skema ini tampak sempurna karena melibatkan kemitraan multipihak yang diyakini mampu menuntaskan banyak permasalahan terutama 17 poin permasalahan dunia yang tercantum dalam Sustainable Development Goals atau SDG’s. Namun benarkah demikian?
Benarkan skema pentahelix solutif?
Faktanya saat ini hasil riset dari dunia pendidikan tinggi sudah lebih banyak mengikuti keinginan pasar dan dunia industri, yang ditandai dengan banyaknya proyek-proyek kerjasama B to C yang di berbagai kampus di Indonesia, termasuk kampus besar semacam UI, UGM, UNDIP, ITB, IPB, UNEJ dan kampus lainnya dengan berbagai korporasi sebagai pemodal riset.
Kemitraan antara pendidikan tinggi (PT) dengan korporasi justru merupakan tanda bahwa negara telah melepaskan tanggungjawabnya atas kebutuhan bahan-bahan pangan pokok yang nantinya dibutuhkan oleh masyarakat luas, karena orientasi korporasi atau perusahaan tidak sekedar kemitraan humanistik, melainkan kemitraan benefit yang harus menguntungkan secara ekonomi.
Motif ekonomi inilah yang menggerakkan kemitraan pentahelix, dan lagi-lagi pihak yang diuntungkan adalah korporasi, sementara masyarakat atau perguruan tinggi hanya dimanfaatkan saja daya beli dan daya produksinya agar motif ekonomi berjalan mengikuti skema pasar bebas. Belum lagi persoalan distribusi hasil panen yang setiap tahunnya tidak merata.
Hal ini dibuktikan dari ratusan bahkan ribuan ton beras BULOG yang dibuang percuma karena masa kadaluwarsa yang terlewati setiap tahunnya. Atau bagaimana hasil pertanian petani yang tidak bisa diperjual belikan lantaran harga jual komoditasnya sangat rendah, sehingga para petani ini dengan sakit hati merusak hasil pertanian kebunnya dengan sia-sia.
Atau harga pupuk yang melonjak tinggi sehingga tidak mampu dibeli oleh para petani. Atau penangkapan petani yang berhasil menemukan persilangan bibit unggul oleh polisi karena dikhawatirkan akan merusak skema pasar yang sudah dijalankan pengusaha-pengusaha besar.
Alih-alih meyelesaikan hal tersebut, pemerintah justru menargetkan impor hasil pertanian dari berbagai negara dengan dalih pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Sungguh miris, namun inilah fakta yang terjadi.
Jadi sebenarnya persoalan pangan di Indonesia bukanlah masalah produksi, melainkan distribusi yang tidak tepat sasaran dan berorientasi pada bisnis, bahkan bisnis swasta asing. Disinilah letak kesalahan negara dalam mengelola pangan di Indonesia.
Peran Perguruan Tinggi dalam Islam
Sesungguhnya Islam memuliakan orang yang memiliki intelektualitas beberapa derajat dibandingkan orang yang tidak berilmu sebagaimana yang terlihat dalam QS Al Mujadalah : 11. Sebutan bagi mereka adalah ‘ulul albab’ di dalam Al-Qur'an ketika keilmuwan mereka dilandasi dengan keimanan dan akidah Islam.
Adanya penyatuan antara iman, ilmu, dan amal dalam sudut pandang Islam inilah yang menjadi modal utama dalam membangun peradaban yang levelnya tidak hanya lokal, melainkan juga global.
Keilmuwan yang dimiliki oleh para intelektual ini diarahkan kepada tujuan yang sesuai syari’at Islam, yaitu menyelesaikan permasalahan kehidupan dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Namun sayangnya sistem kapitalisme yang kini diterapkan justru menggeser kemuliaan intelektual ini menjadi tidak lebih dari sekedar sekrup korporasi yang melayani kepentingan industri. Pun ketika dihubungkan kepada kebutuhan masyarakat, maka intelektual masa kini tetap berorientasi pada materi dan keuntungan sebagian pihak saja.
Lebih parah lagi, intelektual kini tidak menggambarkan sosok sebagaimana sosok ilmuwan yang dihasilkan oleh peradaban gemilang Islam dahulu.
Sebagaimana tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina, Al Kindi, Imam Al Ghazali, dan ribuan intelektual lain yang tidak hanya cerdas secara intelektual, berkontribusi nyata terhadap keilmuwannya, dan polimath, namun mereka juga ahli dalam agama Islam yang dengan ketawadhu’an mereka. Sosok-sosok semacam mereka hanya akan tercetak ketika peradaban Islam kembali diterapkan untuk menyinari dunia kembali.
Solusi Islam Atasi Krisis Pangan
Islam telah mewajibkan pemimpin negara agar mampu memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan masyarakatnya secara cuma-cuma. Hal ini tentu butuh penerapan Islam secara komprehensif dan menyeluruh agar cita-cita melepaskan diri dari berbagai krisis multidimensi bisa dilakukan, termasuk di dalamnya krisis pangan.
Islam memiliki mekanisme berlapis yang memungkinkan produksi dan distribusi bahan pangan bisa tepat target produksi dan tepat sasaran penerima.
Pertama, pengolahan lahan dan kepemilikannya. Al-Qur’an QS 41: 11 telah memuat indikasi bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi segala makhluk yang ada di dalamnya.
Artinya sebanyak apa pun makhluk yang hidup di bumi, baik manusia atau pun hewan, semua telah Allah jamin rezekinya sepanjang hidupnya. Juga QS 24:42 yang artinya “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk”, atau QS 57:2 yang artinya “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),”Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid [57] : 7).
Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada dua poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.
Kemudian terkait pengelolaan tanah, wa bil khusus tanah pertanian, maka syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif.
Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khathab memberikan bantuan sarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Walau demikian, lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah kharajiyah maupun tanah usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang). (Al-Nabhani, ibid. hal. 141).
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari).
Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara’ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara’ah).
Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk menyewakan lahan pertanian untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah bukan untuk ditanami, misal untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan syariah dalam masalah ini.
Kedua, terkait distribusi hasil bumi. Maka islam telah mengatur sistem perdagangan dan ketersediaan kebutuhan pokok serta pendistribusiannya ke tengah masyarakat sejak zaman Rasulullah SAW. Tidak boleh ada unsur penimbunan komoditas atau pun menjual dengan harga idak masuk akal di dalam perdagangan dalam Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “Seorang pedagang Muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para nabi, para shiddiqqîn dan para syuhada pada Hari Kiamat (nanti)” (HR Ibnu Majah), dan hadist lain yang artinya “Siapa yang melakukan menimbun makanan terhadap kaum Muslim, Allah akan menimpakan kepada dirinya kebangkrutan atau kusta” (HR Ahmad).
Apabila praktek menimbun komoditas saja diharamkan dalam Islam, maka lebih lanjut lagi, praktek monopoli komoditas jelas haram hukum. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga.
Sebaliknya, rakyat tidak punya pilihan selain membeli dari mereka. Inilah kezaliman nyata. Nabi SAW. memperingatkan para pelaku kartel dan monopoli pasar ini dengan ancaman yang keras:
“Siapa saja yang mempengaruhi harga bahan makanan kaum Muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada Hari Kiamat” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam Islam, negara tidak boleh kalah oleh para pemilik kartel ini. Negara harus memberangus praktik kartel dan monopoli perdagangan. Sebabnya, salah satu kewajiban negara menurut Islam adalah melindungi hajat hidup masyarakat serta menjaga keamanan dan ketertiban termasuk dalam perdagangan.
Khalifah Umar memberlakukan larangan praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum Muslim. Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah, “Bagaimana cara engkau menjual barang, Hathib?” Ia menjawab, “Dengan utang.” Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu, halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami. Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian. Juallah satu shâ’. Bila tidak, janganlah engkau berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sekehendak kalian!” (Rawwas Qal‘ahji,
Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 28).
Khalifah Umar tidak hanya membatasi praktik monopoli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan hewan, tetapi bersifat umum terhadap setiap barang yang mendatangkan madarat (kerugian) bagi orang-orang jika barang itu tidak ada di pasaran.
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.” (Rawwas Qal’ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm.
29).
Khatimah
Islam begitu sempurna dalam menyelesaikan krisis multidimensi. Segala krisis yang kini menimpa umat manusia tidak lebih dari pengabaian manusia terhadap aturan Allah SWT Yang Maha Adil sehingga kehidupan penuh dengan ketidak-adilan dan kezaliman.
Oleh: Prayudisti S. Pandanwangi
Aktivis Muslimah
0 Komentar