Topswara.com -- Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor, Ustaz Arief B. Iskandar berpendapat bahwa untuk masalah akidah atau keimanan, dan dalil naqli yang digunakan haruslah kuat, qath'i, dan disampaikan secara mutawatir.
“Untuk itulah dalam persoalan akidah atau keimanan ini pun, dalil naqli yang digunakan haruslah kuat dan qath’i, serta tidak memberikan peluang sedikit pun untuk ada keraguan di dalamnya, juga disampaikan secara mutawatir,” tulisnya dalam buku Materi Dasar Islam, Islam Mulai Akar Hingga Daunnya, Cetakan XI, Dzulhijjah 1436 H/ Oktober 2015 M, halaman 4-5, yang merupakan buku best seller.
Seperti halnya Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang sudah dipastikan membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan qath’i, serta disampaikan secara mutawatir, berbeda halnya dengan hadis yang ada kalanya disampaikan secara ahad, juga ada dengan jalan mutawatir.
Hal tersebut menurutnya, telah menjadikan kebenaran Al-Qur’an adalah qath’i/jazm, serta tidak ada sedikit pun keraguan dalam mengimaninya. Dengan demikian, penggunaan Al-Qur’an sebagai dalil naqli dalam masalah akidah tidak dapat diragukan lagi.
Sedangkan hadis yang disebut mutawatir kata Ustaz Arief B. Iskandar adalah hadis yang disampaikan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabit tabi’in dalam jumlah tertentu dalam setiap thabaqat-nya (generasi).
“Setiap thabaqat (generasi) itu pun pun periwayat yang membawanya haruslah mempunya syarat-syarat yang akan menjadikan Hadis mutawatir ini bersifat qath’i, tidak zhan. Sehingga, kebenarannya seratus persen dan tidak dapat diragukan lagi,” terangnya dalam buku yang sama.
Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al Islamiyah itu menuliskan dalam buku tersebut beberapa syarat dari hadis mutawatir antara lain, “pertama, hadis yang disampaikan harus diterima langsung pada periwayat sebelumnya,” jelasnya.
Kedua, jumlah perawi tiap thabaqat-nya (sahabat, tabi’in, dan tabit tabi’in) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong. Jumlahnya harus seimbang tiap thabaqat-nya. Ketiga, untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin berbohong, baik sengaja maupun tidak, maka haruslah memiliki sifat adil, sempurna ingatan (hapalan kuat), dan beberapa syarat yang lain.
“Beberapa ulama yang memberi batasan minimal tersebut antara lain Syaikh Taqiyuddin (min. lima orang), Abu ath-Thayyib (min. empat orang), Ashhab asy-Syafi’I (min. lima orang). Bahkan ada yang menetapkan minilam dua puluh hingga emapt puluh orang,” tambah Ustaz Arief B. Iskandar.
Akan halnya keberadaan hadis ahad, kata ustaz Arief B. Iskandar, kekuatannya tidak bisa dipastikan seratus persen (qath’i) serta masih mengandung zhan, baik sedikit maupun banyak. Dari segi jumlah perwainya pun, hadis ahad lebih sedikit dengan kondisi dan syarat-syarat tidak seketat hadis mutawatir.
Hal itulah sebut ustaz Arief B. Iskandar yang menjadikan hadis ahad bersifat tidak qath’i (pasti) sehingga, walaupun sedikit masih mengandung keraguan (zhan). Seperti diketahui bahwa urusan akidah tidak boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
Oleh sebab itu, hadis ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus untuk masalah akidah. Namun, tetap dapat digunakan untuk masalah selain akidah tergantung kekuatan hadis ahad tersebut.
“Tidak dipergunakannya hadis ahad dalam masalah akidah berbeda pengertiannya dengan menolak keberadaan hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam. Adapun menolak kehujjahan hadis ahad hanya dalam masalah akidah, tetapi tetap mengakuinya sebagai hujjah dan sumber hukum seperti dalam perkara syariah. Sebab kebenaran akidah, tidak boleh ada keraguan sedikitpun,” pungkasnya [] M. Siregar
0 Komentar