Topswara.com -- Demi mencegah ancaman krisis pangan, pemerintah menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektar mangkrak dan 17.000 hektar sawah baru tak kunjung panen.
Seorang warga terdampak food estate bernama Rangkap di Desa Tawai Baru di kabupaten gunung Mas Kalteng mengungkapkan kekesalannya karna kehilangan sumber kehidupan mereka yang berasal dari pohon karet. Hutan yang dulunya menyediakan pohon karet yang siap di sadap kini tidak ada lagi, musnah karna program ini.
Sebenarnya mereka mengetahui bahwa jenis tanah dikawasan itu 70 persen nya adalah pasir. Struktur tanah seperti ini tidak cocok untuk menanam ubi kayu yang membutuhkan tanah yang gembur dan punya banyak bahan organik.
Hasilnya tanaman singkong tumbuh kecil kecil seperti wortel dan tinggi tanaman kurang dari satu meter padahal umumnya tanaman singkong memiliki tinggi mencapai satu meter bahkan lebih.
Sementara itu pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tetapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tidak sepenuhnya gagal.
Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik strategis (www.bbc.com, 15/03/2023).
Hasil program food estate selama dua tahun ini bisa menjadi bukti nyata kegagalan penguasa kapitalisme dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Kegagalan pangan ini berpangkal pada kebatilan persepsi terkait mengurus rakyat. Dalam kapitalisme orientasi kebijakan terpaku pada keuntungan materi.
Asas kebebasan kepemilikan membuat negara tidak bisa menghalangi para kapital swasta baik asing maupun lokal dalam menguasai kekayaan alam termasuk hutan. Mekanisme investasi senantiasa dijadikan sumber pemasukan program pemerintahan karna ketiadaan dana.
Karna itu meski telah banyak analisa dan kritikan yang diberikan para ahli lingkungan, pertanahan dan tanaman pada awal program akan dimulai, negara tidak menghiraukan nya bahkan tanpa beban menyerahkan kebijakan bukan pada ahlinya, tanpa dukungan teknologi dan sumber daya manusia yang handal.
Inilah penyebab kegagalan program food estate, dan lagi-lagi rakyat yang harus menanggung dampaknya. Program food estate akan menjadi solusi dan tidak menimbulkan dampak buruk jika dikelola dengan benar.
Dan pengelolaan yang benar membutuhkan sistem kepemimpinan yang benar. Sistem ini hanya ditemukan pada sistem yang menerapkan syariat Islam yang oleh kaum muslimin disebut khilafah.
Sistem khilafah merupakan wujud praktis institusi negara yang menerapkan hukum hukum syariat. Mindset penguasa khilafah yaitu khalifah adalah khadimatul ummah atau pelayan umat, menjadikannya senantiasa berusaha optimal dalam menjalankan amanah sebagai penguasa.
Islam memandang ketahanan pangan merupakan salah satu pilar ketahanan negara baik dalam kondisi damai maupun perang. Karnanya ketahanan dan kemandirian pangan mutlak diwujudkan khilafah.
Jika untuk mewujudkan nya khilafah harus membuka jalan sebagai area food estate, maka kebijakan yang dikeluarkan khilafah akan memperhatikan konsep pengaturan lahan dalam Islam.
Adapun konsep pengaturan lahan dalam Islam yakni pertama, Islam memandang tanah memiliki 3 status yaitu tanah milik individu seperti lahan pertanian, tanah.
Kepemilikan milik umum yaitu tanah yang didalam nya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang yang jumlahnya sangat besar, tanah yang diatasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta.
Dan tanah milik negara seperti tanah yang tidak berpemilik atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah disekitar fasilitas umum dan lain lain.
Status kepemilikan yang jelas ini akan menjadi dasar pengelolaan tanah. Konsesi tanah umum tidak boleh diberikan kepada para Kapital untuk perkebunan pertambangan maupun pertanian.
Jadi hak pengelolaan sepenuhnya ada ditangan negara dan hasilnya sepenuhnya dikembalikan seluruhnya kepada rakyat. Karna itu jika khilafah membuka lahan dan mengalih fungsikan lahan umum untuk negara tidak akan melibatkan swasta dalam hak kelolanya.
Kedua, lahan pertanian yang tidak digarap selama 3 tahun lebih maka hak kepemilikan nya bisa dicabut. Hal ini berdasarkan nash ijma sahabat. Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi atas tanah tersebut setelah menelantarkan nya selama 3 tahun.
Ketiga, khilafah akan memetakan lahan lahan sesuai dengan kondisi struktur nya. Lahan yang kurang subur akan dijadikan lahan industri dan pemukiman warga sedangkan lahan yang subur akan dipetakan untuk area pertanian dan area buffer agar fungsi ekologi hutan tidak rusak.
Keempat, khilafah akan mendampingi dan memenuhi kebutuhan pertanian dilahan yang telah ditetapkan sebagai food estate baik itu berupa alat berat, bibit unggul, alat alat pertanian modern dan sejenisnya.
Khilafah juga akan melakukan penelitian untuk mengembangkan pertanian sehingga rakyat tidak terpaku pada pertanian konvensional.
Untuk mewujudkan semua ini khilafah akan mengambil anggaran dari Baitul Maal bukan dari investasi yang melanggar syariat atau hasil pinjaman riba.
Salah satu contoh gambaran khilafah begitu memperhatikan masalah pangan terlihat pada kebijakan Umar bin Khattab ketika meminta Walinya yang berada di Basrah agar memberi perhatian lebih kepada rakyatnya yang mengusahakan lahannya untuk pertanian dan peternakan kuda.
Dalam fikih ekonomi 'Umar, Jaribah bin Ahmad al Haritsi menuliskan bahwa Umar bin Khattab menuliskan surat kepada Wali nya di Basrah " 'Amma ba'du, sesungguhnya Abu Abdullah menyebutkan bahwasannya dia menggarap ladang di Basrah dan berternak kuda dikala tidak ada orang penduduk Basrah yang melakukannya, sungguh bagus apa yang dilakukannya, maka bantulah ia atas pertanian dan peternakannya".
Seperti inilah khilafah mengatur lahan dan mengelolanya agar sesuai dengan peruntukkan nya. Sehingga kekayaan alam yang Allah berikan kepada umat manusia bisa dimanfaatkan dan mendatangkan keberkahan.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar