Topswara.com -- Larangan impor pakaian bekas telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Hal ini tertera pada Pasal 2 ayat 3 yang tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Terkait larangan impor pakaian bekas yang ditetapkan pemerintah, sejumlah pedagang pakaian bekas impor thrift menentang dan menurut mereka menjual pakaian bekas tidak akan
mengganggu UMKM karena pangsa pasarnya dan target pembelinya beda. Kalau pelanggan ingin pakaian baru mereka bisa membeli ke pasar atau mal (kompas.com, 23/3/2023).
Maraknya impor pakaian bekas sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan berburu baju bekas sudah menjadi gaya hidup di kalangan anak muda terutama saat menjelang lebaran tiba. Pasalnya barang bekas dengan brand fashion terkenal seperti Nike, GAP, Prada, Givency, Lacoste, Converse, Adidas, North Face dan masih banyak lagi dijual dengan harga miring.
Demikian pula pakaian bekas yang tak bermerek terjual laku. Padahal baju bekas impor mengandung bakteri yang tidak baik bagi tubuh manusia. Bahkan sulit hilang meski sudah dicuci berkali-kali. Namun demikian hasil penelitian itu tak membuat banyak peminat yang kapok untuk membeli baju bekas.
Hal tersebut juga menunjukkan adanya kebutuhan rakyat akan suplai pakaian untuk memenuhi kebutuhan pakaian bermerek dengan harga murah karena gaya hidup hedon dan brand minded.
Di sisi lain, juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah rakyat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah. Maka sungguh aneh jika maraknya pakaian bekas impor dipersoalkan saat ini bahkan oleh Presiden. Apalagi seruan itu dilakukan setelah industri tekstil dalam negeri mati.
Mirisnya alasan memberantas impor barang bekas jauh dari nalar, yaitu mengganggu UMKM. Sementara pada umumnya UMKM di negeri ini hanya memperpanjang rantai produksi. Tentu patut diduga pengusutan impor pakaian bekas ini bentuk pembelaan pada importir kain yang notabene hanya segelintir orang termasuk importir pakaian branded.
Anehnya lagi, yang dipersoalkan pemerintah hanya yang masuk secara ilegal yang berarti tidak memasukkan cukai impor. Berbagai kondisi tersebut sejatinya menunjukkan bahwa tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan ini dari akarnya, yakni problem kemiskinan dan gaya hidup hedon.
Yang nampak nyata justru pencitraan dan kebijakan membela pengusaha. Inilah wajah buram sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam dalam naungan institusi khilafah. Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu, seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Jaminan tersebut menjadi tanggung jawab penuh negara.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok individu, seperti sandang, pangan, dan papan, negara memberikan jaminan dalam bentuk mekanisme tidak langsung. Artinya negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja terlebih dahulu secara mandiri sesuai dengan kemampuan.
Konsekuensinya karena setiap individu akan berbeda-beda kemampuan dan keahliannya, maka bentuk pemenuhannya berbeda-beda antara individu. Namun jika belum juga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, maka di sinilah peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.
Mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok individu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut,
Pertama, negara memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya.
Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu.
Keempat, jika ada orang yang tidak mampu sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (baitul mal). Dalam hal ini negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum dan harta zakat. Jaminan pemenuhan diberikan oleh negara kepada seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim.
Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan kebutuhan asasi yang harus dijamin negara. Hal ini direalisasikan negara dengan menggunakan dana dari baitul mal, yakni pos kepemilikan umum dan pos fai'-kharaj yang jumlahnya sangat besar. Negara tidak akan menggantikan pemasukannya pada pajak sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.
Dengan mekanisme ini, maka tidak akan ada individu dalam khilafah yang sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi sampai rela mencari barang bekas yang pasti berdampak buruk bagi kesehatan.
Oleh: Nabila Zidane
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar