Topswara.com -- Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di negeri ini seolah tidak mampu dituntaskan oleh penguasa. Janji yang terus berulang tidak ubahnya hanya sekedar lip service. Seharusnya sejak awal bisa diselesaikan bukan malah menjadi janji demi mendapatkan kembali posisi kekuasaan.
Negara yang menjunjung tinggi HAM harusnya di topang dengan sistem yang kuat dan serius menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi yang melekat pada diri manusia. Tetapi kenyataannya sudah banyak perkara yang belum diselesaikan seacara serius akhirnya terjadi ketidakadilan.
Kasus menyelesaikan permasalahan HAM bukanlah pertama kalinya dijanjikan presiden RI untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, melainkan pada saat berkampanye pemilihan presiden tahun 2014 silam, namun upaya ini baru dilakukan pada masa akhir jabatan sehingga seperti lebih banyak menunjukkan adanya pencitraan.
Kasus yang belum terselesaikan seperti pelanggaran HAM berat kasus penumpasan PKI 1965 1966, pembunuhan Enam laskar Front Pembela Islam(FPI) yang terjadi pada peristiwa KM 50 yang menimpa pengawal pengawal Habieb Rizieq Syihab. Selain itu tragedi Talangsari 1989 yang memakan banyak korban hingga saat ini belum ada perkembangan signifikan.
Pada Rabu (15/3) presiden Joko Widodo telah meneken Inpres nomor 2 tahun 2023 tentang pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Inpres ini merupkan tindak lanjut setelah presiden pada tahun lalu membentuk Tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu atau disebut tim PPHAM dan melahirkan setidaknya 11 rekomendasi. (Bbc.com, 15/3/2023).
Presiden Joko Widodo mengulang komitmennya untuk menyelesaikan masalah HAM berat di masa lalu. Akan tetapi seorang pegiat hak asasi manusia, Wahyu Djafar, menilai inpres ini seakan menempatkan korban sebagai penerima bantuan sosial, bukan korban pelanggaran HAM berat yang patut diberikan pemulihan. (Bbc.com, 15/3/2023).
Omong Kosong HAM dalam Sistem Demokrasi
Negara telah gagal dalam melindungi warga negaranya. HAM merupakan hasil produk dari kapitalisme, pelanggaran HAM banyak terjadi akibat sistem tersebut. Karena sistem kapitalisme merupakan buatan tangan manusia maka pasti terciptanya beragam kezaliman.
Sistem ini juga yang hanya memikirkan kepentingan segelintir orang saja demi perolehan materi sekaligus mustahil mengurus persoalan kemanusiaan dengan tulus.
Selain itu, sistem politik demokrasi yang menjadikan kedaulatan hukum berada di tangan manusia maka akan sangat mudah bagi para penguasa atau pihak yang memiliki kepentingan agar kasus pelanggaran HAM tidak segera tuntas.
Akibatnya banyak kasus pelanggaran HAM baik di masa lalu maupun yang baru terjadi, hingga sekarang korban yang sudah meninggal masih belum mendapatkan keadilan.
Keadilan dalam Islam
Islam adalah agama yang sangat menghormati dan menghargai nyawa manusia, darah dan jiwanya mendapatkan perlindungan dalam Islam.
Sebagaimana firman Allah SWT.
“Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS. Al Maidah (5):32).
Selain itu di dalam Islam adanya hukum qishas sebagai bentuk penghormatan nyawa manusia, yaitu hukuman setimpal akibat pembunuhan atau melukai orang lain.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. “Wahai orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu melaksanakan qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan.” (QS. Al-Baqarah (2):178).
Jika ada kasus pembunuhan tanpa hak seperti yang menimpa korban pelanggaran HAM berat maka Islam tidak akan membiarkan pelaku bebas begitu saja melainkan akan diberi sanksi kepada mereka yang melanggar aturan Allah SWT.
Berupa sanksi qishas bagi pelaku, adapun jika keluarga korban memaafkan maka pelaku wajib membayar diyat berupa 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya dalam keadaan hamil.
Penerapan sanksi dalam Islam (uqubat) berfungsi sebagai penebus dosa pelaku dan membuat efek jera (jawabir) dan sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan perbuatan serupa (zawajir) Dan pelaksanaan syariat ini hanya bisa diterapkan dalam negara yang menerapkaan Islam secara kaffah. Wallahu A’lam Bishawaab[]
Oleh: Tsabita Fiddina
Mahasiswi
0 Komentar