Topswara.com -- Kisah pilu datang dari Meriance, seorang mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ia menuturkan bagaimana dirinya harus bertahan hidup di tengah penyiksaan selama berbulan-bulan dari majikannya.
Pemukulan menjadi santapan sehari-hari yang ia terima. Setrika panas pun sempat mendarat di tubuhnya tanpa kesalahan yang jelas. Akhirnya ia berupaya menyelamatkan diri dari tempat yang ia sebut sebagai neraka.
Meski telah delapan tahun berlalu, bekas luka di bagian wajahnya masih terlihat. Seperti tulang hidung bagian atas yang tampak rata akibat kena pukulan, lidah terpotong, serta telinga yang tidak berbentuk akibat penyiksaan yang diterimanya. Hasrat hati ingin mengubah keadaan dengan bekerja di negeri tetangga, Malaysia. Namun bukan perubahan yang didapat, justru penderitaan yang ia rasakan.
Kisah tragis pekerja migran tersebut tidak hanya dialami Mariance. Ratusan PMI lainnya juga mengalami tindakan serupa. Sebagaimana dikutip dari bbc.com (3/2/2023), data dari KBRI Malaysia menunjukkan dalam lima tahun terakhir, terdapat hampir 5.000 masalah yang menimpa pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia. Ratusan di antaranya menyangkut penganiayaan termasuk penyiksaan fisik.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono menjelaskan, bahwa korban terus berjatuhan, baik karena penyiksaan, gaji tidak dibayar, dan lain-lain. Meski demikian, permintaan pekerja di sektor ini terus meningkat. Berdasarkan angka dari KBRI Malaysia, jumlahnya mencapai lebih dari 66.000 sampai Februari 2023.
Faktor Penyebab Maraknya Pekerja Migran
Seakan tidak memedulikan risiko yang akan dihadapi, minat pencari kerja ke negeri Jiran tidak berkurang. Padahal kejadian menyesakkan dada yang menimpa PMI bukan hanya terjadi pada satu atau dua orang saja. Ibarat gunung es, yang tampak ke permukaan hanyalah puncaknya, sementara penderitaan PMI yang tidak melapor disinyalir jauh lebih banyak.
Maraknya PMI merupakan buah dari kemiskinan. Penghasilan yang minim tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Saat kondisi harga kebutuhan pokok tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan mahal, tentu wajar kalau beban hidup kian terasa berat.
Selain itu, sempitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri menjadikan persaingan untuk mendapatkan kerja semakin tinggi. Peluang untuk bekerja ke luar negeri memberi harapan bagi banyak pencari kerja.
Selain itu kemiskinan juga berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Sehingga para pencari kerja tidak ditunjang dengan skill dan keterampilan. Maka peluang sebagai PRT (Pekerja Rumah Tangga) menjadi pilihan yang paling memungkinkan.
Kondisi inilah yang membuat para pekerja migran rentan mendapatkan kekerasan. Di samping itu, Indonesia juga tidak memiliki posisi tawar di hadapan penguasa negara lain. Hal ini membuat para pekerja migran dari negeri ini tak sedikit yang mengalami berbagai penderitaan.
Kapitalisme Penyebab Kemiskinan
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pekerja migran ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 4 Tahun 2023.
Ia menuturkan bahwa peraturan ini dikeluarkan demi meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI. Dalam peraturan tersebut iuran jaminan kesehatan tetap, tetapi menambah manfaat jaminan sosial, dalam hal kecelakaan kerja, kematiaan, dan jaminan hari tua.
Jika ditelaah lebih dalam, solusi ini tidak menuntaskan sampai akar masalah. Pasalnya dengan dikeluarkannya Permennaker ini negara seakan melindungi PMI, tapi sejatinya telah membiarkan PMI tetap bekerja di luar negeri.
Tentu saja hal ini tidak akan mengurangi tingginya minat pencari kerja untuk ke luar negeri. Meski mereka rentan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.
Sejatinya yang menjadi problem mendasar maraknya pekerja migran hingga mengalami berbagai penyiksaan adalah kemiskinan yang diakibatkan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam sistem ini, kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin sangat tinggi. Pihak yang kaya hanya segelintir orang, sebaliknya rakyat miskin lebih mendominasi.
Kondisi ini didorong oleh peraturan negara yang mempermudah bagi korporat untuk mengelola berbagai kekayaan milik umum demi meraup keuntungan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya kemiskinan terjadi, sebab distribusi kekayaan yang tidak merata.
Dengan kondisi miskin berimplikasi pada rendahnya pendidikan. Hingga rakyat tidak memiliki skill dan keterampilan yang cukup untuk dapat mengisi peluang-peluang bekerja di dalam negeri. Negara pun tidak mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.
Kalau pun ada pengusaha swasta yang mengelola industri dan sumber daya alam sehingga membuka lapangan kerja, rakyat seringkali diangkat sebagai buruh yang digaji rendah. Jika dibandingkan dengan gaji di luar negeri yang lebih besar, tentu hal ini mendorong rakyat lebih memilih kerja ke luar negeri.
Peran negara dalam sistem ini hanya sebagai regulator yang mengatur kebijakan. Asas manfaat menjadi standar dalam mengeluarkan kebijakan. Negara tidak berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyat.
Oleh sebab itu tidak heran jika para pekerja di luar termasuk PMI diberi gelar pahlawan devisa. Mereka dinilai dapat memberikan pemasukan pada negara. Hingga negara akan tetap membiarkan banyak rakyatnya bekerja di luar negeri.
Aturan Islam Menjamin Kesejahteraan
Jika saja masyarakat merasakan kesejahteraan hidup di dalam negeri, tentu tidak akan banyak rakyat yang nekat pergi bekerja ke negeri tetangga. Terlebih jika hanya untuk bertahan hidup.
Sesungguhnya jaminan sejahtera hanya akan didapat jika sistem ekonomi Islam diterapkan. Negara dalam Islam berfungsi sebagai pelayan dan pengurus urusan-urusan masyarakat.
Oleh karenanya dengan berbagai mekanisme yang ada, pemimpin dalam Islam akan menjamin setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Selain itu penguasa juga harus memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
“Imam (Kalifah) adalah raa’in atau pengurus dan ia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari)
Sementara dalam pengelolaan harta milik umum, negara tidak akan memberikan hak pengelolaan kepada individu. Sebaliknya harta milik umum seperti sumber energi, barang tambang yang pemanfaatannya tidak dapat langsung dirasakan masyarakat, maka negara akan mengelolanya.
Sekaligus negara pula yang akan membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat seluas-luasnya. Sehingga hasilnya pun dapat dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk lain seperti layanan pendidikan atau kesehatan.
Dalam Islam setiap rakyat juga berhak untuk mendapatkan pendidikan. Setiap peserta didik akan mendapatkan pengetahuan, skill, dan keterampilan untuk bekal dalam mengarungi kehidupan.
Negara wajib menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan. Sehingga pendidikan mudah dan murah untuk didapatkan.
Begitu pula dengan layanan kesehatan, maka negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan. Negara wajib memberi pelayanan dan perlindungan dalam masalah kesehatan bagi seluruh rakyatnya.
Dengan demikian, kehidupan tidak akan terasa berat karena negara hadir dalam mengurus dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat. Saat kehidupan sejahtera dapat dirasakan di dalam negeri, begitu pula kesempatan bekerja luas, tentu rakyat tidak akan tergiur untuk mencari pekerjaan ke negeri Jiran dan lainnya. Terlebih rentan mendapat siksaan.
Namun semua hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah (menyeluruh).
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh: Siti Aisyah
Penulis dan Member Komunitas Rindu Surga
0 Komentar