Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Larangan Thrifting, Benarkah untuk Rakyat?


Topswara.com -- Presiden Jokowi gusar dengan adanya impor pakaian bekas atau thrifting. Menurutnya impor pakaian bekas telah mengganggu UMKM dan industri tekstil dalam negeri. Jokowi kemudian menginstruksikan kepada jajaran terkait untuk mengusut tuntas hingga ke akarnya.

Merespons yang disampaikan Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan sigap memberikan instruksi kepada seluruh jajaran kepolisian. Sigit meminta agar diadakan pemeriksaan dan mengusut akar permasalahan impor pakaian bekas. Bekerja sama dengan stakeholder terkait, Polri akan bersinergi dengan jajaran terkait seperti Kemendag dan Bea Cukai.

Bisnis thrifting yang sudah berusia 30 tahun ini terjegal oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam Pasal 2 Ayat 3 tertulis barang yang dilarang impor, salah satunya berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Dan pasca instruksi presiden, pelaku thrifting memilih menahan diri dari pada barang mereka disita atau dimusnahkan.

Benarkah untuk Rakyat?

Larangan thrifting ini aneh. Bisnis ini sudah ada puluhan tahun yang lalu. Dan tak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Apalagi dengan alasan melindungi industri tekstil dalam negeri dan UMKM, tambah aneh lagi. Sebab sejak akhir 2022 lalu, industri tekstil dalam negeri di ambang kematian, ribuan karyawan telah dirumahkan.

Jika benar untuk melindungi industri tekstil dalam negeri, mestinya pemerintah segera menghidupkan kembali industri tekstil yang mati. Dengan menghentikan impor kain yang jumlahnya setiap tahun semakin meningkat.

Yang dijual oleh pedagang thrifting di antaranya sepatu dan baju bermerek. Namun karena bekas, maka harganya jauh lebih murah dibanding yang baru. Diduga kuat, hadirnya thrifting bermerek ini telah mengganggu pasar importir barang-barang branded.

Jadi, larangan thrifting ini demi siapa? Yang pasti bukan untuk rakyat biasa, sebab pedagang dan pembeli thrifting justru lebih banyak dari rakyat biasa. Besar kemungkinan larangan thrifting ini demi melindungi importir barang branded yang terganggu oleh murahnya barang thrifting.

Di Balik Fenomena Thrifting

Maraknya thrifting mengindikasikan dua hal. Pertama, untuk barang branded namun bekas. Adanya budaya konsumerisme namun budget tidak mendukung. Walhasil, barang thrifting yang bermerek pun diburu, meskipun bekas dan tak terjamin kebersihannya. Sebab menurut penelitian, pakaian bekas masih mengandung jamur yang bisa menyebabkan penyakit kulit.

Terhadap kelompok pertama ini semestinya negara hadir untuk mengedukasi masyarakat. Bahwa nilai sebuah benda itu dilihat dari fungsinya, bukan mereknya. Beginilah sistem kapitalisme mendidik manusia, eksistensi diri dinilai dari barang-barang yang dikenakannya. Semakin bermerek, semakin tinggi kedudukannya.
 
Kedua, pakaian bekas menjadi pilihan wajib bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Daripada membeli pakaian yang mahal, lebih baik uangnya untuk membeli makanan pokok sehari-hari. Demikian yang ada di benak masyarakat yang membeli pakaian impor bekas.

Semestinya negara menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyat. Sebab negara memiliki seperangkat sistem yang bisa digunakan untuk itu. Namun lagi-lagi sistem kapitalisme yang menjadi sistem aturan hidup saat ini justru menciptakan kemiskinan terstruktur dan sistematis.

Negara kehilangan fungsi melayani rakyat, sebab yang dilayani hanyalah para kapital. Utang budi kontestasi penguasa pada pengusaha mesti dibayar dengan regulasi-regulasi yang menguntungkan kapital, tapi tidak untuk rakyat. Satu di antaranya adalah izin penguasaan atas SDA oleh swasta. Hingga SDA yang memiliki deposit besar itu tak dirasakan oleh rakyat.

Islam Mengatasi Kemiskinan

Sistem Islam yang sumber aturannya berasal dari Allah SWT mempunyai solusi untuk semua persoalan manusia. Termasuk kemiskinan. Islam mewajibkan negara untuk melayani rakyat, sebagaimana hadis Rasulullah SAW: "Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Untuk mengatasi kemiskinan, ada sejumlah mekanisme yang akan dijalankan oleh negara Islam. Pertama, Islam mewajibkan kepala keluarga untuk bekerja, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. 

Jika individu tidak mampu bekerja karena cacat fisik atau akal, maka kewajiban nafkah beralih pada keluarganya. Jika keluarganya tak mampu, maka negara yang akan menjamin kebutuhannya dan diambil dari kas baitul mal.

Kedua, menjalankan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan. Sistem kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga yaitu individu, negara, dan umum. SDA termasuk harta milik umum, dikelola oleh negara dan dikembalikan ke rakyat dalam berbagai bentuk manfaat. 

Di antaranya, untuk pembiayaan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan infrastruktur yang berkualitas dan terbaik sehingga rakyat bisa mengaksesnya dengan gratis dan mudah. Jika pendidikan dan kesehatan sudah terjamin, maka pendapatan individu dari hasil bekerja bisa maksimal untuk mencukupi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan.

Dengan mekanisme ini, takkan ada individu yang tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi sampai memakai barang bekas yang tak terjamin kesehatannya. Wallahu a'lam []


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar