Topswara.com -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung mengadakan Job Fair pada hari Rabu, 22 Februari 2023. Langkah Pemkab ini dalam rangka menurunkan jumlah angka pengangguran yang mencapai 120.000 orang, jumlah ini merupakan 6,98 persen dari angkatan kerja (ayobandung.com, 22/02/2023).
Angka pengangguran nasional pada tahun 2023 menembus angka 8,42 juta jiwa. Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak, menjelaskan bahwa pengangguran terjadi karena peningkatan jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan lapangan kerja yang tercipta. (mediaumat.id, 27/02/2023)
Permasalahan pengangguran kerap bersanding dengan masalah kemiskinan dan kesehatan. Tidak adanya pekerjaan membuat kebutuhan pokok tidak dapat terpenuhi, begitu pula saat mereka sakit akan sulit untuk mendapat akses kesehatan.
Selain itu masalah ini akan berdampak pada problem sosial dan keamanan. Seseorang yang tidak memiliki pemasukan atau kurang memiliki pemasukan untuk memenuhi kebutuhan dan tidak dapat menurunkan standar kebutuhan minimal, maka dia akan melakukan berbagai macam cara untuk dapat memenuhi nafkah diri dan keluarganya.
Sebagian dari mereka turun ke jalan untuk mengamen dan tidak sedikit yang mengemis, baik orang dewasa, anak-anak serta balita pun dieksploitasi agar mengundang iba lalu memberi.
Hal paling dikhawatirkan adalah meningkatnya kriminalitas seperti pembegalan, pencurian, hingga penipuan disinyalir karena sulitnya mendapat pekerjaan yang halal dan layak. Kondisi ini tentu semakin memperparah iklim usaha, yang bila tidak diselesaikan akan merusak kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, sumber daya yang melimpah dan lahan yang begitu luas memilki potensi untuk menumbuhkan iklim usaha dan menambah lapangan pekerjaan. Potensi tersebut harus dimanfaatkan dengan mempersiapkan sumber daya manusia, iklim usaha yang baik dan permodalan.
Upaya pemerintah sejauh ini adalah dengan merombak regulasi agar tercipta kemudahan dalam investasi, akan tetapi kemudahan yang diberikan pemerintah kepada para investor nyatanya lebih cenderung bersifat padat modal ketimbang padat tenaga kerja.
Sistem pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia kini berubah menjadi lembaga komersial yang telah membatasi rakyat untuk mendapatkan akses. Upaya yang dilakukan pemerintah lebih banyak menyerahkan penciptaan lapangan kerja pada mekanisme pasar.
Pemerintah berupaya mendorong munculnya usaha kecil mikro dengan fasilitas kredit, akan tetapi fasiltias tersebut bunganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga kredit korporasi. Hal ini menyebabkan usaha mikro kurang kompetitif dan banyak dari mereka yang gulung tikar karena kesulitan modal dan pemasaran.
Pengangguran yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh kondisi struktur ekonomi yang tidak ideal. Masalah pengangguran tidak mungkin diatasi selama sistem yang menjadi penyebab utamanya yaitu sistem kapitalisme berikut sistem politik demokrasinya terus eksis. Oleh karena itu perlu ada solusi mendasar pada struktur ekonomi Indonesia yang dapat menuntaskan masalah pengangguran yang makin membelit.
Solusi tersebut adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, berikut beberapa solusi mendasar yang wajib dilakukan untuk mengentaskan pengangguran di negeri tercintai ini.
Upaya paling utama adalah mendistribusikan kekayaan secara merata dan adil. Yaitu melalui penerapan sistem ekonomi Islam termasuk tentang kepemilikan, tasharruf kepemilikan dan pendistribusian harta diantara masyarakat.
Islam menetapkan bahwa kepemilikan harta itu dibagi menjadi tiga. Pertama kepemilikan umum, harta tersebut adalah milik bersama kaum muslimin.
Kategori kepemilikian umum yaitu harta yang dibutuhkan oleh seluruh kaum muslimin yang jika terjadi kelangkaan maka akan menimbulkan persengketaan, barang tambang yang jumlahnya melimpah, dan barang yang secara karakter tidak bisa dikuasai oleh individu.
Kepemilikan umum akan dikelola oleh negara untuk pengaturan agar kaum muslim mendapat manfaat secara merata.
Kedua, kepemilikan negara yaitu harta yang menjadi hak negara untuk mengelolanya berdasarkan izin as-syari contohnya adalah harta fai, ghanimah, jizyah, dan kharaj. Ketiga, kepemilikan individu, adalah seluruh harta yang diizinkan syarak untuk dapat dimiliki oleh individu di luar dua kepemilikan di atas.
Begitu pula dengan tasharruf kepemilikan ditentukan berdasarkan hukum syarak. Seorang pemilik harta dilarang membelanjakan dan mengembangkan harta dengan cara yang haram. Jual beli khamr, pelacuran, riba, penimbunan harta, penipuan, dan perjudian diharamkan dalam Islam, maka tidak boleh harta dibelanjakan ataupun dikembangkan pada sektor-sektor tersebut.
Untuk pendistribusian, negara pun akan melakukannya sesuai rambu-rambu syariat agar tersebar secara merata ke tengah umat dan masyarakat bisa merasakannya secara nyata.
Dasarnya adalah adanya larangan harta yang hanya berputar dikalangan orang kaya saja, Allah SWT. berfirman :
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr :7)
Distribusi harta dapat dilakukan dengan strategi non ekonomi dengan memberdayakan sektor zakat, infak, dan shadaqah untuk disalurkan kepada mustahik sesuai dengan ketentuan dan strategi ekonomi yaitu dengan pemberian jaminan pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat.
Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya Zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk kepentingan di jalan Allah Swt, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah Swt. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS at-Taubah : 60)
Strategi kedua adalah dengan memerintahkan setiap laki-laki agar bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan kerja untuk rakyat, baik dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung negara bisa membuka lapangan kerja melalui proyek-proyek pembangunan. Sedangkan secara tak langsung, negara harus menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif. Di antaranya di pisah dengan sistem administrasi dan birokrasi yang mudah, sederhana, cepat, dan tanpa pungutan.
Upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan harus dibarengi dengan diberantasnya berbagai distorsi yang menghambat iklim usaha, seperti penimbunan (kanzul mal), riba, dan penipuan.
Negara diizinkan memberikan bantuan modal, teknis, dan informasi kepada rakyat yang mampu dan mau untuk berusaha/bekerja. Selanjutnya negara akan menghilangkan sektor non riil, sehingga harta hanya akan berputar di sektor riil sehingga berefek langsung pada perekonomian secara langsung.
Inilah amanah yang ada di pundak pemimpin negara. Salah satu beban kewajibannya adalah untuk mengatur perekonomian dari berbagai sumber pemasukan, lalu harta itu disimpan di Baitul mal hingga tersalurkan kepada seluruh rakyat, kepala per kepala.
Contohnya era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutus Yahya bin Said seorang pengumpul zakat, yang diambil di wilayah Afrika. Setelah memungut zakat, Yahya ditugaskan untuk membagikan zakat tersebut kepada orang-orang miskin, akan tetapi tidak ada satupun warga miskin yang ia dapati. Akhirnya harta tersebut dia gunakan untuk memerdekakan budak.
Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal mengisahkan, Umar bin Abdul Aziz saat menjabat sebagai khalifah mengirim surat kepada Gubernur Irak, Hamid bin Abdurrahman, agar membayar semua gaji pegawai dan pengeluaran rutin lainnya di provinsi itu.
Akan tetapi setelah semua gaji dan hak dibayarkan masih tersisa banyak harta di baitul mal. Khalifah pun memerintahkan Hamid bin Abdurrahman untuk melunasi utang orang-orang, setelah utang-utang itu ditunaikan ternyata uang di Baitul mal masih banyak tersisa.
Kisah ini bukan dongeng semata tapi fakta yang menunjukan salah satu kepemimpinan yang luar biasa ketika aturan Islam diterapkan. Selain warga masyarakat sejahtera, kekayaan negara pun bisa surplus.
Bukan hanya ketakwaan pemimpinnya tetapi juga karena pengelolaan aset publik dan kekayaan lainnya ada dalam pengelolaan yang benar dan sesuai syariat. Kondisi ini akan kembali dirasakan oleh kaum muslimin jika Islam dan institusinya tegak di tengah umat, yakni institusi yang menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahua’lam bish shawwab
Oleh: Novi Widiastuti
Pegiat Dakwah
0 Komentar