Topswara.com -- “Engkau tak dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal yaitu : cerdas, selalu ingin tahu, tabah, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru dan dalam waktu yang lama” -Ali bin Abi Thalib.
Menuntut ilmu bukan lagi menjadi kewajiban bagi setiap insan, melainkan sebuah kebutuhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan keberlangsungan kehidupan.
Kewajiban menuntut ilmu pun dilakukan dari buaian hingga liang lahat, artinya membutuhkan waktu yang lama agar seseorang kaya akan ilmu. Tidak memandang ras, status sosial, profesi dan kedudukan, setiap orang memiliki kebutuhan akan ilmu.
Termasuk seorang ibu yang mengurus anak-anak dan rumah tangganya, ia adalah pondasi terbaik bagi anak-anaknya dalam mengokohkan adab dan ilmu dasar dalam kehidupan. Menjadi kebutuhan pokok bagi seorang ibu untuk memperkaya diri dengan ilmu, terutama ilmu agama.
Agamalah yang menjadi bekal utama bagi anak-anak yang akan menjadi penggerak generasi cemerlang. Berbagai cara dapat dilakukan dalam rangka berupaya memantapkan ilmu agama bagi seorang ibu, salah satu cara efektif adalah, hadir di acara pengajian, memperdalam ilmu agama serta mengokohkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sungguh mengejutkan, seorang ibu negara, tokoh wanita berpendidikan yang selayaknya menjadi panutan, justru malah mengkerdilkan makna pengajian dalam pidatonya di acara Seminar Nasional Pancasila dalam Tindakan ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam rumah Tangga, serta Mengantisipasi Bencana’ di Jakarta Selatan pada Kamis (16/2/2023).
Dilansir pada laman REPUBLIKA.CO.ID., Ketua Dewan badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarno Putri mengatakan “Saya melihat ibu-ibu tuh ya maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya beribu maaf, jangan lagi saya di-bully, Kenapa toh seneng banget ngikut pengajian ya? Iya lho maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu lho, ini pengajian iki sampai kapan tho yo? Anake arep dikapake (anaknya mau diapakan), he, iya dong. Boleh bukan ga berarti boleh, saya pernah pengajian kok”.
Pidato yang disampaikannya tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat, termasuk Wakil Ketua badan pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai Demokrat, Andi Nurpati. Ia menuturkan bahwa pengajian itu terkadang dilakukan seminggu sekali atau sebulan sekali.
Dia menambahkan, didalam pengajian juga terkadang banyak membahas tentang Kesehatan. “Sangat tidak pantas menyoal ibu-ibu pengajian, kenapa enggak menyoal ibu-ibu yang dugem (dunia gemerlap) ke diskotik? Ibu-ibu yang bekerja fullday” ujarnya kepada SINDOnews pada Minggu (19/2/2023).
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Muhammad Cholil Nafis ikut menanggapi Pidato tersebut. Ia mengatakan “Soal tidak senang ngaji, tak apalah, tapi tak usah usil dengan ibu-ibu yang rajin ngaji sampai kapanpun” pada Minggu (19/2/2023).
Ia menambahkan, malah dengan ikut pengajian, ibu-ibu jadi tahu dan peduli mengurus anak. Sebab, tidak ada ceritanya ibu-ibu rajin pengajian menjadi bodoh dan tidak kreatif.
Kontroversi ini melahirkan berbagai spekulasi dan kepentingan. Ibu-ibu yang rajin mengikuti pengajian menjadi ragu untuk meneruskannya, dengan berbagai alasan kepentingan anaknya. Sehingga secara perlahan ibu dan masyarakat luas menjadi malas untuk mengkaji agama, ragu akan keyakinannya bahkan lebih parahnya membeci ajaran agamanya sendiri.
Jika penyebab anak stunting ini menjadi kesalahan seorang ibu yang terlalu sibuk dengan aktivitasnya, sistem sekulerisme kapitalisme inilah yang menjadi biang keladi dari semuanya, bukan karena aktivitas pengajian.
Betapa tidak, hadirnya feminisme yang menggaungkan ide keseteraan gender, memperjuangkan bahwa perempuan harus mampu bekerja atau berkarir dengan level yang sama dengan laki-laki.
Sehingga peran ummun wa rabbatul bayt menjadi hilang. Sistem ini memaksa perempuan yang disebut ibu terpaksa bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga, disibukkan dengan sesibuk-sibuknya sehingga waktu di rumah menjadi sangatlah minim dan mengakibatkan kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, terutama ibu.
Merupakan suatu pernyataan yang tendensius jika hadir di pengajian dianggap sebagai aktivitas yang melalaikan anak, sehingga dinilai sebagai salah satu penyebab anak menjadi stunting. Ini adalah tuduhan yang tidak berdasar dan salah besar.
Pengajian merupakan tempat alternatif untuk mempelajari dan memahami berbagai hukum Allah SWT secara kaffah, meliputi ilmu agama, bagaimana cara menjalankan kehidupan secara sempurna sesuai dengan ketetapan Allah SWT, termasuk juga tentang kesehatan.
Islam mengajarkan segalanya secara paripurna, tanpa cacat yang tidak diperoleh di bangku sekolah yang menerapkan kurikulum sekuler.
Negara Islam memberlakukan mengkaji Islam secara kaffah merupakan bagian dari program pembinaan kepribadian setiap individu yang secara sistematis dan terintegrasi dengan kurikulum dan kebijakan lainnya.
Sehingga menghasilkan individu yang beriman dan bertaqwa, tinggi taraf berpikirnya, kuat kesadaran politiknya yang menjadi bekal bagi para ibu untuk mendidik anaknya menjadi pribadi muslim yang berkepribadian Islam calon pemimpin masa depan dan generasi cemerlang.
Sejarah Islam mengatakan, perempuan yang berpendidikan merupakan prioritas utama. Sebab kaum wanita dinilai dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan mengajarkannya kepada orang lain, termasuk anak-anaknya.
Hal ini tergambar jelas pada istri Rasulullah SAW, yakni ‘Aisyah RA. Setelah Rasulullah SAW wafat, Beliau dikenal sebagai salah satu ulama dan guru besar terkemuka.
Artinya, perempuan yang bergelar ibu, wajib hukumnya menimba ilmu dalam rangka memperkaya ilmu pengerahuan, terutama ilmu agama dalam rangka untuk mengajarkannya kembali kepada orang lain, dalam lingkup terkecilnya yaitu kepada anak-anaknya.
Wallaahu a’lam bishshawaab
Oleh: Widya Amidyas Senja
Pendidik Generasi
0 Komentar