Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Terjebak Janji Manis Proyek KCJB


Topswara.com -- Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang digadang-gadang akan beroperasi Juni 2023 memasuki babak baru. Pembengkakan biaya (cost overrun) menjadi persoalan klimaks yang dihadapi. Dikutip dari laman cnbcindonesia.com (12/2/2023).

Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi menyampaikan bahwa, bengkak biaya proyek KCJB adalah US$1,449 miliar atau Rp22,7 triliun. Data tersebut berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 15 September 2022.

Akibat penambahan pembengkakan biaya ini, Indonesia China melakukan negosiasi ulang. Akhirnya disepakati oleh keduanya bahwa pembengkakan biaya senilai US$1,2 miliar atau Rp18 triliun. Untuk menutupi kekurangan biaya ini, Indonesia pun mengajukan utang ke Negeri China sebesar US$550 juta atau Rp8,3 triliun. Sebab kucuran dana dari APBN yang menambahkan Rp3 triliun tidak mencukupi.

Sejak awal perencanaan pembangunan infrastruktur ini sudah menuai polemik. Bermula saat proyek ini diambil alih dari Jepang tahun 2015 oleh China. Pemerintah telah terpedaya janji manis China yang memberi harapan bahwa pembangunan proyek KCJB lebih murah. 

Namun kenyataannya pembangunan infrastruktur tersebut menelan biaya yang berlipat dari perencanaan awal. Mulanya China merinci dana sebesar US$5,13 miliar atau Rp76 triliun pada proposal awal, tetapi perlahan meningkat menjad US$6,071 miliar, selanjutnya melonjak lagi menjadi US$7,5 miliar atau setara Rp117,75 triliun (kurs Rp15.700).
 
Pembangunan KCJB Bukanlah Proyek Prioritas

Bengkaknya pembiayaan proyek KCJB menunjukkan perencanaan yang kurang cermat dari pemerintah dalam membangun kerjasama dengan investor. Hanya tergiur dari sisi pembiayaan yang dinilai lebih murah. 

Di samping itu, proyek infrastruktur KCJB juga bukan prioritas dari sisi pengadaan infrastruktur fisik vital bagi masyarakat. Masih banyak fasilitas lain yang menanti solusi tuntas dari negara. Seperti pembangunan jalan, jembatan, pembangunan rumah layak huni, bangunan sekolah,  dan lain-lain.  

Hal yang demikian itu sangat urgen bagi masyarakat dan merupakan kebutuhan mendesak yang perlu diprioritaskan. Sebab berhubungan dengan kebutuhan pembangunan nonfisik masyarakat berupa pendidikan, keamanan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 

Oleh karena itu pembangunan KCJB tidak efektif, terlebih dengan biaya yang harus digelontorkan juga relatif mahal. Ditambah lagi kondisi kas negara tidak memiliki dana yang mencukupi. Jika terpaksa berutang tentu hanya akan menambah beban APBN. 

Bahkan akan membahayakan kedaulatan negara. Sebab utang kerap menjadi sarana jebakan (debt trap) yang sengaja dijeratkan oleh negara-negara maju untuk menguasai negara berkembang.

Di sisi lain, proyek KCJB tidak akan banyak bermanfaat bagi rakyat. Sebab untuk menghubungkan antara Jakarta-Bandung, kini telah banyak alternatif moda transportasi yang dapat digunakan. 

Mulai dari kendaraan pribadi, travel, bus, kereta bahkan pesawat dengan waktu tempuh yang bervariasi. Jika menggunakan pesawat bisa ditempuh hanya 20-25 menit, atau 3 jam melalui kereta. Dengan demikian Proyek KCJB bukan kebutuhan mendesak.

Negara Abai terhadap Rakyat

Kesalahan perencanaan pembangunan sesungguhnya bukan hanya pada proyek KCJB, tetapi juga terjadi pada proyek lain seperti Bandara Kertajati atau pembangunan pembangkit listrik 350 ribu MW. Semua hal tersebut akibat penerapan sistem ekonomi Kapitalisme sekuler. 

Dalam sistem ini negara memberi peluang besar kepada pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur. Hingga tidak heran kerjasama antara pemerintah dan investor ini hanya berorientasi pada keuntungan, tanpa berpikir panjang kemanfaatan untuk masyarakat luas. 

KCJB hanya dapat bermanfaat bagi segelintir orang saja. Terutama pebisnis atau penguasa yang mampu membeli tiket. Sementara rakyat kebanyakan hanya menanggung beban utang. 

Selain itu, pemimpin dalam dalam sistem Kapitalisme tidak serius dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Karena peran penguasa hanya sebagai regulator kebijakan yang berpihak pada investor dengan kantong tebal. 

Pembangunan infrastruktur seperti KCJB, bukan berdasarkan prioritas kebutuhan rakyat yang mendesak, tapi lebih karena ingin terlihat maju dengan adanya sarana transfortasi yang berbasis teknologi modern. Tanpa didukung dengan dana yang memadai. Pemimpin cenderung abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat.

Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan yang komprehensif yang mengatur urusan manusia dalam segala aspek kehidupan secara mendetail. Begitu pula halnya dalam pengaturan pembangunan fasilitas umum (infrastruktur) bagi kemaslahatan masyarakat.

Dalam konsep aturan Islam, pembangunan infrastruktur merupakan tanggung jawab negara sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW.: "pemimpin (khalifah) adalah raa'in (pengurus). Sehingga ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dipimpinnya." (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian, pembangunan fasilitas umum ditujukan untuk melayani kepentingan publik dan mempermudah akses masyarakat. Sehingga semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas yang ada untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup. 

Adapun terkait pendanaan, maka dalam konsep aturan Islam, infrastruktur yang masuk pada kepemilikan umum harus dikelola oleh negara. Dana akan ditanggung Baitul maal yang berasal dari pos pengelolaan kepemilikan umum dan negara. 

Tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan infrastruktur tersebut. Jika sampai ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. Misalnya pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. 

Sementara dari aspek jangka waktu pengadaannya, maka pembangunan infrastruktur dalam Islam terbagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. 

Misalnya, dalam satu wilayah tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, rumah sakit, dan saluran air minum. Maka dalam kondisi ini, negara wajib membangunnya tanpa memperhatikan ada dana atau tidak. Jika dana dari Baitul maal cukup, wajib dibiayai dari dana tersebut. 

Namun jika dana tidak mencukupi, ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan oleh negara. Di antaranya memproteksi beberapa kepemilikan umum seperti minyak, gas, dan tambang. Selain itu negara boleh memungut dharibah (pajak) dari masyarakat Muslim yang kaya saja.
 
Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan, tetapi tidak terlalu mendesak dan masih dapat ditunda pembangunannya. Misalnya, jalan alternatif, perluasan masjid, gedung sekolah tambahan, dan sebagainya. 

Sehingga negara tidak boleh membangun infrastruktur jenis ini dalam kondisi dana Baitumaal tidak mencukupi. Terkait hal tersebut, pembangunan proyek kereta cepat sejatinya termasuk infrastruktur yang tidak mendesak. Apalagi jika pembiayaannya bersumber dari utang, negara tidak boleh mengambilnya sebagai kebijakan. Sebab utang yang berbasis riba, selain hukumnya haram, juga mengancam kedaulatan dan kemandirian negara.

Dengan demikian, negara tidak akan mudah tergiur janji manis siapa pun. Karena dengan sumberdaya yang ada negara dapat mandiri dan berdaulat untuk memenuhi kebutuhan rakyat termasuk membangun infrasruktur. Semua hal tersebut hanya akan dirasakan saat sistem aturan Islam diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu  a'lam bish shawwab.


Oleh: Siti Aisyah
Penulis dan Member Komunitas Muslimah Rindu Surga
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar