Topswara.com -- Indonesia terletak di antara pertemuan tiga lempeng yaitu Tektonik Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia. Zona-zona ini menjadikan Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam yang tinggi, seperti: gunung meletus, gempa bumi, tsunami, longsor dan banjir. Bahkan Indonesia memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat dibanding Amerika Serikat.
Yang terbaru, pada hari Rabu (1/2/2023) malam pukul 22.57 WIB terjadi gempa berkekuatan M 4,3 di wilayah Garut, Jawa Barat. Adapun pusat gempa berada di 19 km Barat Daya Kabupaten Garut.
Diduga gempa dipicu aktivitas sesar Garut Selatan (Garsela). Sebelumnya, guncangan serupa juga melanda Kabupaten Bandung dengan kekuatan M 4,0 tanggal 28 Januari 2023 pada kedalaman lima kilometer. (Kompas.com, 1/2/2023).
Mengutip laporan resmi BMKG dan data dari Stasiun Geofisika Bandung, tercatat ada tujuh struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat yang diduga masih aktif hingga sekarang. Seperti sesar Cimandiri, Baribis, Cipamingkis, Garsela, Citarik, Lembang dan yang baru ditemukan belakangan ini yaitu di Cugenang.
Fenomena alam seperti gempa adalah bencana yang sudah bisa dipelajari karena kecanggihan teknologi saat ini. Penemuan titik-titik sesar yang ada di beberapa wilayah sebagai buktinya.
Hanya saja menjadi sesuatu yang ganjil jika kita tinggal di wilayah yang rawan bencana, tetapi daerah tersebut belum juga bisa beradaptasi dan siap siaga menghadapi bencana. Mitigasi hanya jadi wacana ketika terjadi musibah di media. Dikalangan masyarakat belum merata pemahamannya tentang seberapa penting makna mitigasi.
Baru-baru ini sudah terjadi beberapa gempa kecil di Kabupaten Bandung dan Garut, walaupun kejadiannya tidak berdampak besar seperti di Kabupaten Cianjur. Walau disyukuri karena tidak menelan korban seperti sebelumnya, namun wajib diwaspadai oleh masyarakat jika sewaktu-waktu muncul guncangan lainnya.
Pemerintah pun seharusnya memberi perhatian ekstra dengan melakukan persiapan mitigasi, sehingga bisa meminimalisasi jatuhnya korban dan kerusakan bangunan-bangunan.
Mitigasi wajib ada bagi negara yang rawan bencana. Dari rakyat kecil yang awam sampai pejabat tinggi pun harus paham urgensinya. Karena negara berkewajiban melindungi rakyat dari marabahaya.
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai Undang-Undang terkait mitigasi bencana yaitu pasal 1 ayat (6) PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Namun dalam tataran realisasinya begitu sulit. Selain kendala anggaran, mental para pejabat dalam sistem kapitalis ini sangat berperan besar, sehingga UU mitigasi pun hanya ada tertulis dalam konsep.
Terkait mitigasi bencana Indonesia bisa belajar dari Jepang. Bagaimana persiapan kota Tokyo dalam menghadapi gempa yang sangat jelas, yaitu dengan pengulangan dari gempa Great Kanto Earthquake yang sudah sangat well studied dengan estimasi kekuatan M 7,9-8,2.
Kemudian mitigasi dilakukan mulai dari penguatan standar bangunan, jalur evakuasi, jalur air untuk antisipasi kebakaran, hingga waktu pemulihan infrastruktur dasar dengan hitungan pasti.
Islam juga memiliki konsep yang khas dalam menghadapi musibah, kita bisa meneladani dari apa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat.
Pada saat terjadi gempa di Madinah, Rasul meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata: “Tenanglah, belum saatnya bagimu.” Lalu Rasul berkata kepada para sahabat: ”Sesunggunya Rabb kalian menegur kalian, maka jawablah (buatlah Allah rida kepada kalian)!” Sikap Rasul ini ditiru oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Ketika terjadi gempa pada masa Umar menjadi khalifah, ia berseru kepada penduduk Madinah. “Wahai manusia, apa ini?” Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi.”
Khalifah Umar memahami bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduk Madinah telah mengundang bencana. Umar pun mengingatkan kaum muslim untuk menjauhi maksiat dan segera bertobat kepada Allah.
Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa lagi. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kekuasaanNya, jika manusia tidak mengindahkan aturan-Nya.
Umat Islam juga harus memahami bahwa bencana adalah teguran Allah supaya kita bertobat. Tobat harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa, khususnya para penguasa dan pejabat negara.
Mereka harus segera bertobat dari dosa, maksiat dan kezalimannya yang terbesar yaitu mengabaikan hukum-hukum Allah. Karena itu bukti tobat mereka terlihat dari kesediaan mereka mengamalkan dan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan.
Allah berfirman dalam Qur'an surat Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya).”
Negara yang menerapkan syariat Islam terbukti bisa melindungi rakyatnya dari bencana, karena memiliki strategi dalam penanganannya. Misalnya dengan membangun gedung-gedung tahan gempa yang terbukti sampai saat ini masih berdiri kokoh meski di wilayah tersebut terkena guncangan dahsyat.
Penguasa dalam sistem Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat ketika terjadi bencana. Mereka mengeluarkan biaya yang besar untuk membuat alat dan metode peringatan dini, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat.
Selain itu, aktivitas jihad yang dilakukan negara adalah cara efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi terburuk sekalipun. Mereka tahu cara menyelamatkan diri, menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, mengurus jenazah yang bertebaran, serta rehabilitasi diri pasca kondisi darurat.
Para pemimpinnya juga adalah orang-orang yang selalu siap siaga dalam mengurus rakyat dalam keadaan darurat. Mereka adalah orang-orang yang paham tentang apa saja yang harus dikerjakan dalam situasi normal ataupun genting.
Alhasil bencana alam adalah qada Allah, tidak bisa diprediksi kapan terjadinya. Manusia hanya bisa berusaha mengantisipasinya dengan melakukan mitigasi bencana.
Dan hal ini membutuhkan paradigma yang benar, tepat sasaran, bersih dan tak ada motif kepentingan. Dalam sistem kapitalisme selalu ada motif kepentingan dalam setiap aksi pengurusan rakyat.
Sedangkan dalam sistem Islam motivasinya hanya demi kepentingan umat sehingga mampu meminimalisasi dampak-dampak bencana alam. Orang yang cerdas dan bijaksana pasti bisa memilih sistem mana yang membawa kebaikan bagi umat manusia.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Ooy Sumini
Member Akademi Menulis Kreatif
0 Komentar