Topswara.com -- Belum lama ini terjadi kegaduhan khususnya di kalangan ibu-ibu pengajian, ada apa gerangan? Bila ibu-ibu sudah gaduh konon katanya bisa mengguncang stabilitas nasional! “The power of emak-emak”, jangan sepelekan kalau ibu-ibu sudah bersuara apalagi beraksi.
Pasalnya ibu-ibu pengajian seantero nusantara yang jumlahnya jutaan bahkan mungkin puluhan juta, langsung bereaksi keras dan kritis atas pernyataan dari seorang ibu mantan presiden RI yang kelima. Atas pernyataannya yang terkesan ‘sinis’ menohok ibu-ibu yang rajin ke pengajian yang disinyalir meninggalkan anak dan suami.
Publik mempertanyakan apa maksud pernyataan tersebut? Kenapa pengajian yang disorot? Padahal faktanya tidak sedikit fenomena hari ini ibu-ibu yang bekerja, berkarir dari pagi hingga petang baik karena kesulitan ekonomi atau untuk eksistensi.
Bahkan negeri ini masih membebaskan dan membuka keran secara legal bagi pekerja migran (TKW) untuk bekerja keluar negeri dan yang pasti mereka meninggalkan anak dan suami dalam jangka waktu yang lama.
Belum lagi fenomena ibu-ibu dugem dan arisan mewah yang menguras kantong suami dan kebutuhan anak. Tidak sedikit pula di antara mereka justru ibu-ibu yang terlena akan perannya sebagai ibu sejati.
Ibu-ibu di alam kapitalisme “dididik” merasa malu dan rendah diri bila “cuma” sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak dan rumah. Apalagi bila ibu rumah tangga yang rajin ke pengajian, makin dipandang rendah dan remeh. Padahal di masa Rasulullah para ibu rumah tangga yang rajin pengajian disebut “al-mar’atu imaddul bilad”, wanita itu tiang negara!
Pengajian, Jadikan Ibu Paham Perannya
Peran ibu-ibu rumah tangga yang rajin pengajian jangan dianggap sepele! Jawabannya karena peran ibu sangat strategis sebagai pendidik generasi, maka dibutuhkan ilmu dan upaya juga proses belajar yang cukup. Semua itu hanya bisa diperoleh di kajian ilmu atau pengajian.
Seperti yang dikemukakan pimpinan MUI bidang dakwah, KH Cholil Nafis yang langsung merespon “Bila tidak suka (dengan ibu-ibu ke pengajian) boleh saja, tapi jangan usil pada ibu-ibu yang rajin ke pengajian.” Masih menurut beliau, justru ibu-ibu yang rajin ke pengajian mendapat ilmu bagaimana mendidik anak lebih baik dan mengurus rumah tangga.
Dalam sebuah talk show di media TV mainstream, salah seorang ibu yang juga berprofesi sebagai dokter, mengatakan stunting sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibu-ibu rajin ke pengajian.
Sebagai penasehat, pembina BPIP (Badan Penguatan Ideologi Pancasila) dan juga sebuah lembaga strategis BRIN (Badan Riset Nasional), yang pada saat itu berbicara di forum penanggulangi stunting, rasanya memang tidak elok mengeluarkan pernyataan tersebut, yang seolah-olah melempar tanggung jawab negara, terkait stunting.
Negara telah gagal mengelola negara yang subur makmur gemah ripah loh jinawi ini bagi kemakmuran rakyatnya. Rakyatnya justru miskin bahkan tidak mampu memenuhi gizi anak-anaknya.
Akar masalah kemiskinan dan abainya negara dalam memberi edukasi pada rakyat, karena negara menerapkan kapitalisme dengan ekonomi liberalnya, sehingga pendidikan dan kesehatan yang seharusnya gratis dan berkualitas sebagaimana ketika negara khilafah yang menerapkan Islam secara menyeluruh selama 14 abad lamanya, berlalu dalam sejarah, seiring umat yang tertipu demokrasi dan kapitalisme.
Lihatlah hari ini, hak asasi rakyat yaitu pendidikan dan kesehatan dikomersilkan hingga begitu mahal bagi rakyat kecil. Ironis memang, justru negeri yang kaya akan sumber daya alam strategis seperti batubara, nikel, dan lain-lain. Justru menjadi surga bagi para kapitalis oligarki para konglomerat. Rakyat melarat, anak-anak stunting adalah korban semua ini.
Ibu-ibu pengajian yang didalamnya mengkaji Islam secara kaffah justru adalah ibu-ibu yang memiliki kesadaran akan peran sebagai ibu pendidik, sumber ilmu, sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya.
Ibu-ibu pengajian juga adalah mereka yang akhirnya memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan di tengah umat ke arah yang lebih baik, bersama mencerdaskan kaum ibu lainnya.
Gelombang hijrah di tengah umat hari ini sungguh tidak dapat dipungkiri tidak terlepas dari peran ibu-ibu. Merekalah motor penggerak peradaban Islam kelak. Stabilitas negara dan keluarga ada di tangan dan hati ibu-ibu pengajian.
Pengajian Kewajiban dan Kebutuhan
Membahas seputar dunia ibu-ibu dan seabrek aktivitasnya memang tak ada habisnya. Apalagi yang namanya “emak-emak militan”, ceritanya akan semakin panjang lebar kali tinggi. maraknya fenomena hijrah khususnya di kalangan ibu-ibu tak dapat dihindari, dan tidak terlepas dari proses dakwah yang terjadi di kalangan ibu-ibu sendiri.
Dari pengajian yang kini marak, akhirnya ibu-ibu sadar bahwa mengkaji Islam, thalabul ilmi, adalah kewajiban. Bahkan ibu-ibu umumnya merasakan pengajian bukan lagi kewajiban tapi kebutuhan, rasanya seperti ada yang kurang bila dalam seminggu tidak pergi ke pengajian.
Apakah ini salah? Tentu tidak! Gelombang Ini jelas sebuah arus positif, selama tidak menyalahi syariat Islam dalam pelaksanaannya. Dimulai dari niatnya, lurus ikhlas karena Allah melaksanakan perintah Allah, ibu-ibu mengkaji ilmu bukan “just for fun” atau kumpul-kumpul bersosialisasi untuk eksistensi.
Tidak pula melalaikan kewajiban lain seperti anak dan suami. Tidak heran bila ibu-ibu ngaji anak-anak pun ramai. Para ibu sungguh-sungguh mempelajari Islam secara menyeluruh dari A sampai Z (Islam kaaffah).
Dalam sebuah hadis disebutkan “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pahamkan dia dalam agama.” Tentu agar paham agama harus ada ikhtiarnya yang salah satunya ke pengajian.
Para ulama mengingatkan bahwa tipu daya setan yang pertama pada manusia adalah memalingkannya dari ilmu. Sekarang kalau masih ada yang gerah melihat ibu-ibu senang ke pengajian. Wallahu’alam, tetapi begitulah karakter setan.
Oleh: Rengganis Santika A, STP.
Sahabat Topswara
0 Komentar