Topswara.com -- Nafkah adalah harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik itu berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.
Syarat Istri Berhak atas Nafkah dari Suami
Diantara konsekuensi dari pernikahan yang sah adalah diwajibkannya seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya jika memenuhi beberapa syarat berikut:
Pertama, at Tamkîn, yakni suami dimungkinkan untuk mendapatkan hak ‘bersenang-senang’ dengan sang istri, walaupun hal tersebut tidak mesti terjadi, semisal karena istri haidh dan udzur syar’i yang lain.
Oleh karena itu, setelah menikahi Aisyah r.a, saat itu Aisyah masih kecil dan tetap bersama Abu Bakar r.a, saat itu Rasulullah tidak memberikan nafkah kepadanya.
Kedua, al Ittibâ, yakni istri mengikuti suami tinggal di satu negeri yang dipilih suami, dan negeri itu layak didiami. Jika istri pindah tempat tanpa izin suaminya, atau melakukan perjalanan tanpa izin, maka gugur kewajiban suami untuk memberi nafkah.
Jika dua syarat ini terpenuhi, maka suami wajib memberi nafkah, termasuk jika istrinya dicerai dalam keadaan mengandung anak suaminya, atau dalam masa ‘iddah bagi thalak yang masih bisa diruju’. Adapun thalaq yang tidak bisa diruju’ maka istri hanya mendapatkan hak tempat tinggal selama masa iddahnya.
Kadar Nafkah
Kadar/besarnya nafkah ditentukan berdasarkan kondisi suami, bukan memandang kedudukan istri, karena nafkah itu mengikuti kemampuan (suami). Allah berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ
‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(QS. ath-Thalaq [65]: 7)
Jenis Nafkah Wajib
Yang termasuk nafkah wajib adalah apa saja yang secara adat diperlukan oleh manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya, diantaranya adalah:
Pertama, at Tha’âm (makan). Dalam mazhab (as Syafi’i) al jadid, berapa mud makanan yang wajib diberikan suami diqiyaskan dengan banyaknya mud dalam kaffârat. Bagi suami yang kaya kadar nafkah ke istrinya adalah dua mud sehari, bagi yang sedang adalah 1,5 mud, dan bagi suami yang miskin adalah 1 mud sehari. (1 mud gandum beratnya sekitar 544 gram).
Jika istrinya meminta uang sebagai ganti makanan, maka suami tidak wajib menuruti kehendak istrinya. Jika suami tinggal bersama istrinya, dan tiap hari ia dan istrinya makan bersama sesuai dengan adat kebiasaan, maka sudah terhitung suami menafkahi istrinya.
Wajibnya memberi makan adalah harian, mulai matahari terbit, istri diberi nafkah untuk sehari[1]. Namun boleh suami memberikan jatah makan langsung perbulan, jika suami sudah memberikan jatah makan untuk sebulan, namun ternyata oleh istri disalahgunakan untuk beli pulsa/kuota, maka suami tidak wajib lagi memberi nafkah (makan) untuk bulan itu.
Kedua, al Udmu, yakni apa-apa yang menjadi ‘teman’nya makanan, seperti minyak, lemak, daging, buah-buahan, dan lain-lain, yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan adat dimana dia tinggal. Adapun besarannya ditentukan oleh qadhi (hakim) sesuai dengan ijtihadnya, yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan suami.
Ketiga, al Kiswah, yakni pakaian yang layak dipakai. Kadar pakaian yang wajib diberikan suami adalah yang mencukupi bagi istrinya, wajibnya adalah enam bulan sekali (karena kebiasaan pakaian rusak setiap enam bulan), jika pakaian yang diberikan rusak sebelum 6 bulan, maka suami wajib memberi pakaian ketika itu juga[2]. Adapun bagus dan kualitas bahan pakaiannya disesuaikan dengan kemampuan suami.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istrinya) dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah: 233).
Keempat, alat-alat kebersihan, sapu, sabun, dan lain-lain. Kadarnya disesuaikan dengan adat kebiasaan dimana mereka tinggal. Adapun wewangian dan alat berhias istri bukanlah kewajiban suami untuk menyediakannya, hanya saja suami wajib menjaga agar tidak tercium bau yang tidak menyenangkan, jika suami menyediakannya, maka istri wajib menggunakannya.
Kelima, peralatan masak dan makan, hal ini disesuaikan dengan adat dan zaman.
Keenam, tempat tinggal yang layak secara adat. Tidak disyaratkan tempat tinggal ini harus hak milik suami, boleh sewaan, boleh juga pinjaman.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (QS ath-Thalaq 65: 6).
Ketujuh, perkakas rumah untuk duduk, tidur dan lain-lain, disesuaikan dengan kondisi zaman dan ditempat mana dia tinggal.
Kedelapan, alat penghangat dan pendingin, ini disesuaikan dengan kondisi dimana mereka tinggal. Bagi yang tinggal di daerah bersalju, tentu penghangat ruangan diperlukan, baik elektronik atau sekedar perapian.
Kesembilan, pembantu. Wajib bagi suami menyediakan pembantu jika adat di negeri sang istri, di keluarganya dan di rumah bapaknya secara khusus, seorang istri tidak mengurus rumah sendiri, maka hendaklah suami membantu istrinya baik suami itu kaya atau miskin, dan suamilah yang menggaji pembantu, dengan syarat pembantunya adalah wanita, atau anak-anak atau mahramnya si istri.
Bagaimana jika suami kesulitan menafkahi keluarganya? Insya Allah bersambung dalam bahasan berikutnya.
Hanya saja yang perlu ditegaskan, para jomblo yang secara ekonomi merasa kurang, tidaklah perlu takut nikah hanya gara-gara nafkah, tidak ada kewajiban suami untuk membawa istrinya bersolek ke salon, atau membelikan alat-alat kecantikan yang ‘wah’, tidak ada juga kewajiban mengisikan kuota/pulsa, jatah shopping, beli mobil, menaikkan haji dan lain-lain, bahkan untuk urusan makan, bisa memberi makan dengan makanan yang biasa dimakan oleh masyarakat biasapun itu sudah terkategori menafkahi.
Di sisi lain, harus diyakini bahwa bukanlah suami yang memberi rizki kepada istrinya, tiap nyawa itu rizkinya sudah Allah sediakan, Dia yang menjamin rizkinya. Yang ‘sulit’ adalah mendapatkan istri yang tahu haknya, dan siap menerima sebatas apa yang menjadi haknya, tidak menuntut lebih dan mensyukuri apa saja pemberian suaminya.
Oleh: Ustaz M. Taufik NT
Pengasuh MT Darul Hikmah Banjarbaru
[Diringkas dari al Mu’tamad fil Fiqh as Syafi’i, juz 4 hal 271-274 dengan sedikit tambsyarat
0 Komentar