Topswara.com -- “Menyesal,” kata ini diucapkan oleh Presiden Jokowi saat menyampaikan beberapa peristiwa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia menyesali dan mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat yang dilaporkan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. (Republika, 11-1-2023).
Dua belas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah pembunuhan massal 1965, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997—1998, peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, dan kerusuhan Mei 1998. Lalu tragedi Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998—1999, peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, peristiwa Wasior dan Wamena 2001, serta peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Ada dua langkah yang akan Jokowi lakukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, pemerintah akan berupaya memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Kedua, ia dan pemerintah berupaya agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia.
Akankah harapan Jokowi bisa terwujud selama masih menerapkan sistem demokrasi dan HAM sebagai solusi mengatasi ketidakadilan di negeri ini?
Selama ini, bantuan pada korban diberikan lewat kerja sama dengan berbagai kementerian, tetapi tetap tidak bisa menjawab pertanyaan terkait keadilan yang tidak pernah mereka dapatkan.
Apa sebenarnya penyebab terus terjadinya pelanggaran HAM di alam demokrasi? Apakah demokrasi begitu menjunjung tinggi HAM? Ataukah justru menginjak-injak HAM?
Sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa HAM adalah “barang impor” dari Barat. Ide tersebut bertentangan secara diametral dengan akidah Islam, mayoritas agama di negeri ini. Sebenarnya, Barat sendiri mengidap penyakit democratic dualism (dualisme demokrasi), yakni di satu sisi mengekspor ide HAM, di sisi lain mereka menginjak-injak HAM mereka sendiri.
Ketidak adilan akan terus dipertontonkan pada masyarakat selama masih menerapkan demokrasi. Menurut Huntinton, isu-isu antar peradaban meliputi HAM, proliferasi senjata nuklir, dan masalah imigrasi. Ketiga hal itu mendominasi agenda internasional sebagai pokok bahasan di berbagai forum antarnegara adikuasa.
Lucunya, negara-negara adikuasa tidak murni berkomitmen untuk melakukan penegakan HAM, melainkan menggunakan isu tersebut untuk menyerang dan memojokkan negara-negara yang dipandang tidak mau bekerja sama dan mendukung politik global negara adikuasa. Siapa salah satu negara adikuasa tersebut? Ialah Amerika Serikat (AS).
AS menyiapkan panggung bagi para diktator yang brutal dan korup. Seharusnya, Indonesia mengantisipasi agar ide HAM tidak eksis karena berbahaya bagi masyarakat. Namun, yang terjadi justru saat ini menjadi “terdakwa” karena telah mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Sebanyak 47 persen pelanggaran HAM di Indonesia bersifat struktural. Maksudnya, penguasa yang merupakan pelaku atas pelanggaran terhadap hak asasi warganya. Jika demikian, ketika rezim berganti, jumlah pelanggaran hak asasi akan makin tinggi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawat menyatakan bahwa ada tiga unsur yang membuat pelanggaran HAM makin banyak terjadi pada masa pemerintahan saat ini.
Pertama, proyek mercusuar, yang mana berbagai proyek strategis nasional pemerintah saat ini menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Komnas HAM mengaku menerima banyak aduan masyarakat mengenai konflik SDA, terutama berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang makin gencar.
Kedua, stabilitas keamanan. Pemerintah menggunakan aparat penegak hukum dan kepolisian untuk melindungi keberlangsungan megaproyek yang cenderung menguntungkan industri ketimbang rakyat. HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain secara sistematis.
Hal ini karena adanya kebebasan ekonomi (kebebasan kepemilikan) membuat manusia berpikir untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan membenarkan segala cara.
Salah satunya menjadikan aparat penegak hukum sebagai “alat pukul” siapa saja yang mengganggu berjalannya megaproyek.
Ketiga, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menghadirkan UU KPK sejatinya menggembosi lembaga tersebut agar tidak banyak berkutik dan diarahkan “tebang pilih” saat melakukan eksekusi para terduga korupsi.
Sungguh hanya bualan jika bisa menegakkan HAM di alam demokrasi. Ini karena demokrasi sendiri diakui atau tidak turut menyuburkan kekerasan di tengah masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran HAM di negeri ini justru terjadi akibat penerapan demokrasi.
Istilah penegakan HAM hanya kedok untuk menutupi ketidakmampuan demokrasi menyelesaikan berbagai konflik yang diciptakannya sendiri. Ada dua faktor penyebab suburnya kekerasan dalam demokrasi.
Pertama, faktor individu pelakunya, yakni sikap dan mentalnya telah rusak, misalnya tidak takut dosa sehingga meremehkan nyawa manusia. Kedua, faktor lemahnya penegakan hukum oleh negara, misalnya hukum yang bisa direkayasa atau dibeli, ataupun hukuman ringan yang tidak menimbulkan efek jera.
Kedua faktor tersebutlah yang mengakibatkan masyarakat makin rusak. Mudahnya seseorang menghilangkan nyawa manusia sungguh menunjukkan masyarakat sedang ada di titik nadir. Jika demikian, publik harus membuka mata dan hati, memikirkan dengan baik bahwa demokrasi merupakan sumber kerusakan bersamaan dengan berbagai produk yang dihasilkannya, termasuk HAM.
Siapa pun yang berakal sehat pasti berharap kehidupan yang tenang, aman, dan adil. Juga mengharapkan penegakan hukum tidak tebang pilih, terjaganya nyawa manusia, dan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama.
Akan tetapi, di mana kita bisa mendapatkan semua ini? Jawabannya adalah hanya dalam kepemimpinan Islam.
Umat Islam harus mencampakkan ide HAM. Bukan Islam penyebab perpecahan dan konflik di setiap wilayah di dunia, melainkan infiltrasi pemikiran asing. Hanya dengan penerapan syariat Islam, kemuliaan agama bisa ditegakkan, nyawa manusia terjaga, serta kehormatan, harta, dan keturunan umat manusia terlindungi.
Islam memberikan jaminan terhadap harta, darah, dan kehormatan nyawa bagi setiap warga negara. Jaminan ini berupa visi politik kewarganegaraan Islam yang memberikan ruang hidup bagi manusia dengan jaminan paripurna.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar