Topswara.com -- Hasil monitoring Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa yang terjadi di Jaya pura Papua pada pukul 15.28 WIT itu berpusat di 2.60 LS dan 140.66 BT di kedalaman 10 kilometer.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah pengungsi akibat gempa itu bertambah menjadi 2.136 jiwa, yang tersebar di 15 titik.
Gempa itu juga menyebabkan sedikitnya 55 bangunan rusak, yaitu 15 rumah rusak berat, satu rumah rusak sedang,serta 28 rumah rusak ringan.
Bencana alam datang tiada henti. Gempa tidak hanya melanda Indonesia, tetapi juga negara lainnya, seperti Suriah dan Turki. Meski pihak pemerintah langsung turun tangan, masih saja ada hambatan saat penanganannya.
Gempa berkekuatan 7,8 SR melanda Turki dan Suriah bagian utara. Hingga tulisan ini ditulis, korban dilaporkan mencapai 41.123 jiwa (Selasa, 14-2-2023). Dalam penanganan korban, berbagai elemen tampak bersatu padu menyelamatkan korban yang masih tertimbun puing-puing reruntuhan bangunan. Sayangnya, aksi penyelamatan itu didahului dengan kisah pilu.
Suriah, salah satu negara terdampak gempa, justru harus bersabar menunggu bantuan datang. Negeri ini terkendala menerima bantuan gempa dari internasional. Kesulitan tersebut karena Suriah sedang menghadapi sanksi embargo dari AS dan Eropa. Konflik berkepanjangan di Suriah membuat ia tidak memiliki alat berat, ambulans, bahkan truk pemadam yang memadai.
Allepo, misalnya, kota yang ditempati warga sipil itu harus menunggu lama untuk mendapat bantuan. Mereka yang selamat tidak dapat berbuat apa-apa meski mendengar orang-orang yang terjebak reruntuhan masih hidup. Mereka tidak memiliki peralatan untuk menolong.
Di kota lainnya, pemerintah telah menurunkan kendaraan pemadam berikut ambulans, tetapi tetap tidak bisa membantu banyak karena jumlahnya terbatas dan kondisinya yang tidak lagi layak. (BBC, 8-2-2023).
Gempa bumi terjadi akibat pergeseran/gesekan lempeng bumi, baik secara vertikal maupun horizontal. Islam memandang ini adalah ketetapan Allah Ta'ala yang tidak dapat dielak. Akan tetapi, manusia diberi karunia berupa akal untuk dapat mengantisipasinya, yaitu menyiapkan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meminimalkan kerusakan dan jumlah korban gempa.
Salah satu upayanya adalah membuat bangunan tahan gempa, terutama sarana milik umum. Penataan tata kota khusus wilayah rawan gempa juga diperlukan agar jika terjadi gempa, rakyat bisa lari ke tempat yang aman. Pemerintah juga perlu menyiapkan dana besar untuk menanggulangi jika gempa terjadi.
Persiapan itu wajib dilakukan oleh pemerintah karena mereka adalah pelayan dan pelindung rakyat. Mereka wajib mengayomi dan memastikan bahwa rakyatnya bisa aman.
Persiapan semacam ini juga butuh dana besar dan negara wajib menyiapkannya. Sayangnya, keuangan negara-negara saat ini lemah. Sistem ekonomi kapitalisme membuat negeri-negeri muslim tidak mampu berbuat apa-apa.
Sumber keuangan hanya bertumpu pada pajak dan utang, bukan dari pengelolaan SDA atau sumber lainnya (kharaj, jizyah, fai, dan ganimah) sebagaimana aturan Islam. Walhasil, negara tidak siap menghadapi bencana besar dan menunggu uluran tangan pihak lain untuk memperbaiki keadaan.
Pemerintah memang telah menetapkan aturan pembangunan gedung tahan gempa, tetapi pihak kontraktor banyak yang tidak mematuhinya. Bangunan tahan gempa itu mahal. Rakyat mana mampu membayar? Jadi, agar rakyat bisa beli hunian, mereka membuat bangunan biasa untuk bisa mendapatkan keuntungan. Inilah wajah kapitalisme, semua bernilai kapitalistik. Apa pun dilakukan demi mencari untung meskipun harus membahayakan nyawa banyak orang.
Kejadian penanganan di Suriah seharusnya membuat orang berpikir betapa sekat nasionalisme dan titah AS lebih didengar daripada jeritan saudara muslim di sana. Kala mereka butuh bantuan segera, masyarakat dunia justru sulit memberikan pertolongan karena terhalang masuk akibat sanksi embargo tadi.
Nasionalisme pun berhasil mendirikan sekat tembok raksasa. Suatu negara akan lebih mementingkan menyelamatkan penduduknya terlebih dahulu daripada penduduk negara lain, meski mereka adalah kaum Muslim. Tersebab itulah, bisa kita katakan negara tidak mampu mengayomi dan memberikan pelayanan keamanan yang layak.
Jika semua kesulitan ini terjadi karena dominasi asing dan sekat nasionalisme, tentu satu-satunya cara agar bantuan bisa segera tersalurkan adalah menghilangkan kesulitan itu. Caranya adalah seluruh negeri muslim bersatu untuk mematahkan pengaruh asing atas dunia Islam. Mereka harus berani melawan asing yang memusuhi Islam.
Persatuan negeri muslim ini secara otomatis akan menghapus sekat nasionalisme. Dengan begitu, umat Islam benar-benar akan menjadi satu tubuh dan bisa saling menguatkan. Bersatunya kaum Muslim ini tidak akan mungkin, kecuali ada institusi yang menyatukan. Institusi ini adalah negara yang berdasarkan sistem Islam.
Negara islam mampu menjalankan peran meriayah dan paham akan perannya, yaitu mengurusi kebutuhan rakyat. Negara islam dengan sistem perekonomiannya akan membangun perekonomian yang kuat. Dengan begitu, ia mampu membiayai pembuatan bangunan, termasuk bangunan dengan struktur tahan gempa.
Pada masa kejayaan Islam, bangunan-bangunan umum didirikan menggunakan teknologi tahan gempa. Oleh karenanya, beberapa bangunan tidak roboh meski dilanda dua kali gempa besar.
Pada masa sekarang, teknologi jauh lebih maju. Seharusnya, ini dapat membantu manusia untuk menjalankan amanahnya, yaitu melindungi umat. Struktur bangunan tahan gempa ini sangat diperlukan, terutama di wilayah yang terindikasi rawan gempa, misalnya Turki dan Indonesia.
Bagi wilayah tidak berdampak gempa, negara islam akan mengomando rakyat untuk bahu-membahu menolong, baik terhadap Muslim maupun nonmuslim.
Sungguh, negara islamlah yang dapat mempersatukan negeri-negeri muslim dan mengalahkan dominasi asing. Jika kaum Muslim menginginkan negara yang dapat menjadi pelayan keamanan dan menyiapkan tanggap bencana terbaik, negara islam jawabannya.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar