Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sengkarut Tata Kelola SDA di Papua


Topswara.com -- Keberhasilan pemerintah Indonesia  mengakuisisi 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sejak 21 Desember 2018 ternyata tidak diikuti dengan kemampuan mengelola limbah tambang (tailing) dengan baik.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, Rabu (1/2/2023), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua(DPRP) dari Kabupaten Mimika, John NR Gobay mengatakan, sejumlah sungai di Mimika, Papua, tercemar dan mengalami pendangkalan karena limbah tailing PTFI yang berdampak kepada kehidupan masyarakat setempat. 

Menurut John NR Gobay, kehidupan Suku Sempan, Kamoro, Amungme, Nduga dan Asmat yang identik dengan 3 S yakni sampan, sungai, dan sagu, menjadi sangat terganggu akibat pendangkalan sungai.  Akibat pendangkalan sungai, kapal tidak bisa berlayar, ikan menjadi beracun, tanaman sagu menjadi sulit tumbuh. 

Masih menurut kata John NR Gobay, limbah tailing PTFI telah merusak pesisir dan pulau-pulau kecil, bahkan sejumlah pulau hilang karena ditutupi limbah tailing salah satu perusahaan penambang emas terbesar di dunia itu , yakni Pulau Pasir Hitam dan Pulau Puriri (Inilah.com,Kamis,2/2/2023).

Pada kesempatan diskusi publik melalui zoom meeting, mengenai kejahatan berulang Freeport Indonesia setelah 54 tahun beroperasi dan divestasi saham, Rabu (2/2/2023) malam waktu Papua,pegiat Yayasan Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh atau Lepemawi, Adolfina Kuum, menjelaskan, selama beroperasi PT Freeport Indonesia selalu mengabaikan kehidupan masyarakat adat, dengan merusak ekosistem di sekitar wilayah tambangnya.

Adolfina melaporkan bahwa sejauh ini PT Freeport Indonesia sudah membuang limbah tailing sebanyak 3.000 ton ke Sungai Ajikwa atau Wanogong di pesisir Mimika yang di area itu ada 23 kampung, dan enam ribu penduduk dari data statistik 2020 yang berdomisili di tiga Distrik yang terkena dampak langsung(Jubi.co.id, 2/2 2023).

Alih-alih memberikan kesejahteraan pada rakyat Papua khusunya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, berbagai persoalan muncul sejak awal beroperasinya PTFI di Indonesia. 

Pembuangan limbah tailing secara sembarangan tanpa diolah dulu sehingga merusak lingkungan merupakan problem laten yang kembali merebak saat ini.  

Ketiadaan laporan dasar perihal aktifitas pertambangan yang dilakukan PTFI, menyebabkan pemerintah Indonesia tidak mengetahui secara persis jumlah emas yang dikeruk dan keuntungan yang didapat perusahaan tambang asal Amerika Serikat.

Hal ini berimbas pada rendahnya nilai royalti yang dibayarakan oleh PTFI, yang hanya untuk 3 jenis mineral saja(emas, perak, tembaga). Padahal sejatinya kandungan mineral/konsentrat dari tailing, yang seringkali disebut sebagai mineral minor, cukup beragam

Dari sisi kepatuhan pada Undang-undang, PTFI tidak mampu menjalankan Undang-Undang (UU) Mineral Energi Batuan (Minerba) dan tidak konsisten dalam kontrak karya. Ironisnya, pemerintah Indonesia tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menekan PTFI mematuhi UU tersebut dan konsisten menjalankan kntrak karya.

Ketika pengelolaan sumber daya alam (SDA) diserahkan kepada swasta atau pihak asing, maka paradigma yang terbentuk adalah bisnis atau mencari keuntungan. Rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan berbagai komoditi SDA di negerinya sendiri, bahkan untuk kebutuhan hidup yang mendasar sekalipun. Dan ketika eksploitasi alam yang berlebihan sudah merusak lingkungan, rakyat sekitar juga yang akan menanggung dampak buruk bencana yang ditimbulkannya. 

Selama kaum kapitalis masih menguasai negeri ini, apapun kebijakan pemerintah  tidak akan efektif dan tidak akan pernah membuahkan hasil. 

Syariat Islam mengatur bahwa kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasilnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. 

Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum tersebut kepada individu, swasta apalagi asing.
 Rasulullah saw dalam sebuah hadist yang sangat mashur mengatakan : 

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Dalam hadist lain, Rasul SAW. juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Syariat Islam mengharuskan negara berperan secara dominan untuk menguasai berbagai sumber kekayaan alam dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berkaitan dengan fungsi negara dalam sistem ekonomi Islam sebagai periayah rakyat. 

Selama masih menggunakan aturan-aturan kapitalis sekular dalam pengelolaan SDA dan meninggalkan syariat Islam, semua itu tidak akan ada manfaatnya bagi rakyat. Dan pastinya tidak ada keberkahan di dalamnya. 

Terbukti, di tengah berlimpahnya SDA kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, yaitu pihak asing dan para pemilik modal, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Maka, masihkah ada keraguan untuk menerapkan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan?

Wa Allahu A’lam Bishawab 


Oleh: Puji SR, S.ST.
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar