Topswara.com -- Hari-hari ini nyaris seluruh platform media sosial ramai membincangkan ide Childfree (menolak memiliki anak). Pro kontra muncul menanggapi pernyataan seorang pesohor media sosial yang belakangan getol mengkampanyekan Childfree. Menarik menyimak respons warganet atas sikap si pesohor.
Beragam alasan dikemukakan pendukung ide Childfree. Mulai dari teori usang Malthusian, beban berat menjadi orang tua baik secara fisik, materi, psikis maupun tanggung jawab mendidik, hingga mempertanyakan pihak kontra dengan pertanyaan "Apa sih kerugian yang ditimbulkan pemilih Childfree kepada penentangnya?"
Tidak kalah beragam, di pihak kontra pun muncul berderet argumen. Mulai dari kebahagiaan yang dirasakan saat memiliki anak, mengolok si pesohor bahwa dia sedang membutuhkan validasi orang lain atas pilihannya, mencemooh logical jump si pesohor yang menyimpulkan ketiadaan anak sebagai anti aging, hingga berangnya warganet yang merasa si pesohor merendahkan pilihan orang lain yang memutuskan memiliki anak.
Dalam panasnya polemik Childfree, nyaris tidak ditemukan argumen yang berlandaskan Islam. Jika dicermati, baik di pihak pro maupun kontra, keduanya sama-sama melandaskan argumentasinya pada kebebasan berperilaku dan relativitas kebenaran. Standarnya sama-sama setiap pilihan adalah benar menurut pemilihnya dan selama itu tidak merugikan orang lain, maka pilihan tersebut tidak perlu dikomentari apalagi ditentang.
Meskipun tampaknya bisa saja landasan tersebut digunakan untuk menolak perilaku islamofobia, namun sepakatnya warganet (saat ini warganet dapat dianggap sebagai gambaran masyarakat) pada kebebasan berperilaku dan relativitas kebenaran sesungguhnya adalah bahaya.
Menjadikan kebebasan berperilaku dan relativitas kebenaran sebagai standar kebenaran sama artinya dengan mengharuskan Islam tunduk pada keduanya. Berpegang pada kebebasan berperilaku dan relativitas kebenaran secara pasti berimplikasi pada penihilan aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar karena dianggap merecoki pilihan hidup orang lain, bahkan bisa dituding sebagai pemaksaan kebenaran.
Meluruskan Standar Berpikir Masyarakat Adalah Fokus Utama
Para pengemban dakwah hendaknya tidak perlu larut dalam polemik Childfree (apalagi jika belum mampu membedakannya dari childless) karena ide tersebut hanyalah ekses dari kelirunya standar berpikir.
Tanpa meluruskan standar berpikir, beragam ide-ide yang bertentangan dengan Islam akan terus muncul susul menyusul. Tentu akan sangat melelahkan dan kontraproduktif jika kita harus mengoreksinya satu per satu, sedangkan di saat yang sama ide-ide rusak tersebut terus diproduksi dan dikampanyekan secara masif.
Fokus utama para pengemban dakwah adalah mengembalikan mafahim (pemahaman), maqayis (standar-standar berpikir), dan qanaat (rasa cinta dan benci) masyarakat pada mafahim, maqayis, dan qanaat Islam. Hal ini dapat dicapai dengan memahamkan masyarakat tentang Islam yang bukan sekadar ajaran moral dan spiritual.
Islam juga bukan sekadar dogma yang diwariskan turun temurun dari orang tua ke anak. Sampaikan ke tengah masyarakat bahwa Islam adalah pandangan hidup yang mampu mengurai tiga simpul besar manusia: dari mana dia berasal, tujuan hidup di dunia, dan akan ke mana setelah mati. Karenanya Islam mampu dan layak digunakan sebagai standar pemikiran yang menilai kelayakan seluruh pemikiran/ide untuk diambil atau dibuang.
Oleh: Khafidoh Kurniasih
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar