Topswara.com -- Tuntutan sejumlah Kepala Desa yang meminta perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun menimbulkan polemik di masyarakat.
Sebelumnya, para Kepala Desa yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/1). Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (CNN Indonesia, 20/01/2023)
Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui Budiman Sudjatmiko (mantan anggota DPR yang juga politikus PDIP) diklaim telah setuju dengan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa. (detikNews, 20/01/2023)
Senada dengan Presiden Jokowi, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar juga menyetujui perpanjangan masa jabatan Kades menjadi sembilan tahun, dengan asumsi bahwa perpanjangan masa jabatan ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat desa (CNN Indonesia, 20/01/2023)
Apapun dalih pemerintah, perpanjangan masa jabatan Kades pada kenyataannya lebih banyak dampak buruknya daripada manfaat yang akan dirasakan masyarakat desa.
Dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat desa berupa kejenuhan terhadap pemimpinnya. Kepala Desa yang menjabat terlalu lama, membuat mereka menjadi "raja kecil" di daerahnya yang memerintah tanpa pengawasan yang ketat.
Perpanjangan masa jabatan Kades juga berpotensi terjadi tindakan korupsi karena terlalu lama berkuasa. Apalagi pemberian dana desa dalam jumlah besar, tidak diikuti dengan sistem pengelolaan dan pengawasan yang transparan.
Usulan perpanjangan masa jabatan Kades sarat dengan nuansa “politis”, karena dilakukan pada saat menjelang wakil-wakil rakyat di Senayan sedang butuh dukungan dari Kades yang dianggap bisa menjadi pendulang suara partai politik(parpol) dalam Pemilu 2024 mendatang.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, apabila usulan perpanjangan masa jabatan Kades ini hanya menjadi “alat” untuk mengokohkan oligarki, yang dilakukan oleh parpol tertentu untuk pemenangan Pemilihan Umum 2024.
Begitulah kalau jabatan menjadi tujuan hidup. Alih-alih menyelesaikan berbagai program pembangunan desa atau merealisasikan janji-janji saat kampanye, para Kades justru berupaya mendapatkan perpanjangan masa jabatan.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang wajib dijaga dan ditunaikan, karena kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari pembalasan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasul SAW mengatakan :
ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْئُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Melalui hadist ini Rasulullah SAW memberi penegasan bahwa kemimpinan Islam adalah soal kepercayaan dari orang lain bahwa yang dipilih sanggup memikul tugas dan amanah yang tidak ringan.
Dalam riwayat yang lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan (dalam pemerintahan). Jika engkau diberi jabatan tanpa meminta, engkau akan dibantu Allah untuk melaksanakannya. Tetapi, jika jabatan itu engkau dapatkan karena engkau memintanya, maka engkau sendiri yang akan memikul beban pelaksanaannya (tanpa dibantu Allah).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Secara tersirat, hadis ini mengingatkan bahwa untuk menjadi pemimpin perlu kecakapan, keahlian, dan kejujuran. Poin penting terakhir inilah yang dimiliki Rasulullah SAW hingga beliau diberi gelar amanah (mampu mengemban kepercayaan dan menyampaikan kepada yang berhak).
Jabatan bisa menjadi anugerah, ketika seorang pemimpin mampu melaksanakannya dengan penuh amanah. Sebaliknya, menjadi musibah ketika sudah tidak ada lagi rasa takut pada Allah sehingga menghalalkan segala cara agar terus berkuasa.
Sudah seharusnya seorang pemimpin (dalam pemerintahan) mulai level terendah hingga tertinggi hanya berkiblat pada kepemimpinan Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Ahzab ayat 21 yang artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Jika bukan syariat Allah yang kita jadikan pedoman hidup, lalu kita akan tunduk pada aturan siapa?
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Puji SR, S.ST.
Aktivis Muslimah
0 Komentar