Topswara.com -- Prihatin saat membaca di media sosial betapa tingginya kasus anak penderita diabetes. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebanyak 1.645 anak mengidap diabetes mellitus tipe satu. Paling banyak menyerang anak usia 10-14 tahun.
Kasus diabetes mellitus tipe satu pada anak meningkat sebanyak 70 kali lipat sejak tahun 2010 hingga 2023.
Pada tahun 2010, prevalensi kasus diabetes mellitus terhadap anak di Indonesia hanya 0,028 per 100 ribu jiwa. Kemudian, pada tahun 2023 prevalensi kasus diabetes melitus menjadi 2 per 100 ribu jiwa. Dan ini hanya laporan dari 13 kota, sementara Indonesia sangat luas, kemungkinan lebih banyak lagi.
Peningkatan kasus ini dari 2010 sampai 2023, terhitung 70 kali lipat. Riilnya bisa jadi lebih besar (voaindonesia.com, 1/2/2023).
Kasus-kasus diabetes mellitus pada anak tersebut disumbang oleh 13 kota seperti Manado, Surabaya, Jakarta, Medan, Padang, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Denpasar, dan Makassar. Paling tinggi adalah Jakarta dan Surabaya.
Jauhnya Pola Hidup Sehat
Mengapa terjadi peningkatan kasus diabetes pada anak? Hal ini di antaranya karena anak-anak tanpa disadari telah menjalani pola hidup tidak sehat, salah satunya akibat konsumsi makanan berkandungan gula tinggi.
Mudahnya mereka menjangkau makanan berpemanis tiap harinya. Bagaimana tidak, tempat jajan lingkungan sekolah atau rumah terkadang menjual makanan murah namun jauh dari kata sehat.
Selain itu, di zaman yang serba digital, anak dibersamai dengan gadget, membuat ia malas bergerak alias mager. Hal itu tentu semakin menambah faktor penyebab pola hidup tak sehat lantaran anak jarang berolahraga.
Regulasi Belum Cukup Melindungi
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan pemerintah sejauh ini dianggap "belum cukup melindungi", dan lebih banyak menggantungkan pembatasan konsumsi gula pada keputusan masyarakat sendiri berdasarkan informasi kandungan gula yang tertera pada label makanan dan minuman. Sementara literasi kesehatan masyarakat masih rendah.
Sementara itu Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) mendesak pemerintah segera mengintervensi situasi ini dengan mengenakan cukai pada minuman berpemanis hingga 20 persen dari harga minuman.
Selain itu, CISDI juga mendorong untuk membentuk regulasi yang mewajibkan produsen memberi label yang tidak hanya mencantumkan informasi kandungan gula di dalam setiap minuman, namun juga soal batas konsumsi gula per hari.
(bbc.com, 6/2/2023).
Pola Hidup Sehat Butuh Dukungan Negara
Mencermati hal ini, jelas tidak cukup upaya pencegahan diabetes pada anak hanya sebatas imbauan untuk menghindari makanan/minuman manis dan olahraga. Namun dibutuhkan peran negara untuk mengatur regulasi agar masyarakat hidup sehat.
Memang secara individu, Islam memerintahkan untuk mengonsumsi makanan halal dan thayib.
Allah Ta'ala berfirman,
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).
Namun perintah untuk makan makanan/minuman halal dan thayib akan sempurna terwujud apabila disertai oleh pengurusan negara secara sistemis dalam rangka menjaga kualitas generasi yang sehat dan kuat.
Allah Taala juga berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa [4]: 9).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim).
Oleh: Sari Diah Hastuti
Aktivis Muslimah Yogyakarta
0 Komentar