Topswara.com -- Belakangan ini, isu kasus penculikan anak semakin masif di sejumlah daerah. Bahkan dinyatakan darurat. Anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual.
Sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir.
Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri.
Para orang tua untuk memfilter informasi yang hoaks, di samping tetap memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak. KPAI juga telah menghimpun sejumlah kejadian penculikan anak yang terjadi di beberapa tempat baru-baru ini.
Pertama, peristiwa di DI Yogyakarta, ada dua kejadian penculikan anak yang gagal. Kedua, peristiwa di TKP Wisma Asri Kota Bekasi yang tersebar viral di medsos tentang penculikan anak untuk tujuan menjual organ tubuh. Namun telah dijawab Kapolres Metro bahwa informasi tersebut hoax dan peristiwa videonya benar terjadi pada 2020.
Ketiga, peristiwa di bawah yuridiksi Polda Kepulauan Riau atas pembunuhan dua anak dengan dilaporkan motif pembunuhan korban karena ingin mengambil ginjal dan menjualnya.
Keempat, peristiwa di Makassar, di mana pelaku anak yang membunuh korban anak untuk menjual organ. Rencana pembunuhan dan penjualan organ itu setelah terhubung dengan jasa online pembelian organ.
Kelima, peristiwa penculikan bayi di tempat persalinan yang pernah disampaikan media. Lalu pada 2022, seorang pelaku yang berprofesi sebagai pemulung bernama Iwan Sumarno menculik korban bernama M di Kawasan Gunung Sahari.
Hasil visum menunjukkan M menderita luka fisik akibat ditendang dan disentil oleh pelaku. Belakangan diketahui, motif Iwan membawa M karena memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak.
Berdasarkan data penculikan anak yang dilaporkan melalui KPAI pada 2022, sebanyak 30 kasus. Sementara itu, sebanyak 20 anak di 2020 dan 15 anak di 2021 (tirto.id, 4/2/2023).
Tidak ada asap jika tidak ada api. Artinya, tidak ada akibat jika tidak ada sebabnya. Maraknya kasus penculikan anak dan juga pelecehan seksual terhadap anak, tentu banyak faktor yang menjadi pemicunya.
Persoalan yang mendasar adalah terpisahnya aturan Sang Pencipta dari kehidupan atau disebut sekulerisme.
Sekulerisme yang diadopsi di berbagai negara sangat sarat dengan berbagai persoalan yang terjadi. Kasus pada anak-anak hanya salah satu dari sekian banyak problematika yang muncul.
Dalam paham sekuler, kebebasan berperilaku diserahkan kepada individu masing-masing. Ini menyebabkan individu yang hidup di dalam sistem ini merubahnya menjadi individu yang jauh dari aturan Tuhannya. Kehidupan sehari-hari cenderung pada perilaku yang bebas tanpa landasan keimanan.
Karena jauh dari nilai-nilai keimanan, maka perbuatan tidak lagi didasari dengan rasa takut kepada Sang Pencipta. Jadilah segala pemenuhan kebutuhan hajat maupun penyaluran naluri didasarkan pada keinginan manusia saja. Tidak lagi ada standar halal atau haram.
Sementara itu di lingkungan tempat tinggal selalu dipenuhi dengan suasan yang mendorong untuk melakukan aktivitas yang buruk (melanggar hukum Allah).
Contoh saja tayanan pornografi, kekerasan dan hal-hal lain yang justru mengajari masyarakat untuk menirunya. Sayang memang, tontonan yang tidak bisa dijadikan tuntunan berkeliaran dengan leluasa.
Tayangan di media sosial yang sangat mudah diakses oleh semua orang berisi konten yang tidak mendidik. Kondisi ini diperparah dengan hukum yang berlaku tidak memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan terhadap anak. Bukannya taubat, justru terkesan semakin parah perilakunya.
Perlindungan terhadap hak-hak anak saat ini memang sangat rendah. Bahkan upaya KPAI maupun LSM yang telah berupaya maksimal, namun faktanya persoalan yang menimpa anak-anak tak kunjung terselesaikan dan tersolusikan.
Akibat sistem yang sekuler, kehidupan anak-anak menjadi tidak nyaman dan penuh dengan marabahaya yang kapan saja bisa menerkamnya. Mereka yang lemah dan sangat membutuhkan perlindungan, sudah seharusnya mendapatkan perlindungan agar kehidupan mereka aman.
Karena anak-anak adalah individu-individu calon penerus bangsa. Di tangan mereka ada harapan besar untuk melanjutkan, memikul tanggung jawab sebagai generasi emas pengemban peradaban mulia (yaitu peradaban Islam).
Jika saat ini masih mengharapkan pada sistem sekuler yang nyata-nyata telah tampak keburukannya, maka sudah seharusnya tidak lagi dipakai untuk mengatur kehidupan. Saatnya kita semua berpikir bagaimana nasib anak-anak pada kehidupan mendatang. Saatnya pula kita kembalikan semua kepada Sang Pencipta, termasuk taat terhadap seluruh hukumNya.
Sebab hanya hukum Allah yang bisa menyelesaikan problematika yang terjadi saat ini. Dalam aturan Islam, perlindungan terhadap seluruh warga negara menjadi tanggung jawab besar negara. Setiap tindakan yang membahayakan keselamatan, maka akan dilakukan tindakan yang tegas.
Baik berupa pelecehan seksual, penculikan, penyekapan hingga pemerkosaan serta menghilangkan nyawa, maka negara akan memberikan sanksi yang tegas.
Keimanan yang kuat akan dibentuk mulai dari tingkat individu, masyarakat dan negara yang menjaganya. Pensuasanaan keimanan ini dibentuk sejak dini, baik tingkat individu, keluarga dan masyarakat, serta difasilitasi oleh negara. Sebab negara adalah pelindung bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak.
Keamanan adalah kebutuhan komunal yang wajib diwujudkan oleh negara, terlebih untuk anak yang merupakan golongan yang rentan. Namun hal ini masih belum menjadi prioritas negara.
Abainya negara atas keselamatan rakyatnya adalah salah satu bukti lemahnya negara sebagai junnah atau pelindung rakyat. Bahkan keamanan menjadi salah satu obyek kapitalisasi, sehingga tidak semua rakyat mendapat jaminan keamanan dan perlindungan. Islam menjadikan keamanan sebagai kebutuhan komunal yang wajib dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, Islam menjadikan keselamatan semua individu menjadi salah satu hal utama yang harus diwujudkan oleh negara.
Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar