Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembangunan Kereta Cepat, untuk Kepentingan Siapa?


Topswara.com -- Pemerintah Indonesia dan Cina baru saja menyepakati pembengkakan biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau KCJB. Pembengkakan biaya proyek KCJB ini tidak sesuai dengan pengajuan pemerintah Cina di awal. 

Dan diketahui, biaya proyek KCJB sudah mengalami pembengkakan beberapa kali. Mega proyek yang sudah terlanjur berjalan ini harus menjadi PR yang diselesaikan negara. Jika tidak, dipastikan akan mangkrak seperti kasus Hambalang. Jika terus mengalami pembengkakan sedemikian rupa, akankah kereta cepat menjadi layanan transportasi yang murah bagi rakyat?

Pembengkakan Dana KCJB

Proyek KCJB penuh dengan drama silih berganti, mulai dari investor yang mengerjakan (Jepang dan Cina), juga polemik dana yang selalu mengalami pembengkakan. 

Dirilis dari CNBC Indonesia, awalnya Cina merinci dana sebesar US$ 5,13 miliar atau Rp 76 triliun pada proposal awal, tetapi perlahan berubah menjadi US$ 6,071 miliar lalu melonjak lagi jadi US$ 7,5 miliar atau setara Rp 117,75 triliun (kurs Rp 15.700). 

Perubahan ini membuat Indonesia-Cina melakukan negosiasi ulang terkait penambahan pembengkakan biaya ini. Akhirnya, pada Senin (13/2/2023), keduanya sepakat bahwa pembengkakan biaya sebesar US$ 1,2 miliar atau Rp 18 triliun.

Proyek yang awalnya tidak melibatkan dana APBN, kini justru harus disuntik oleh APBN sebesar 3 triliun dan disinyalir tidak cukup. Kemudian untuk menambal kekurangan, Indonesia mengajukan utang ke Cina sebesar US$ 550 juta atau Rp 8,3 triliun. Proyek yang dijanjikan bakal murah kini justru menjadi bencana bagi pembangunan infrastruktur negeri ini, juga menambah besar utang yang harus ditanggung oleh negara.

Alasan pembengkakan dana karena perhitungan awal cost proyek tidak memasukkan adanya pajak sewa tanah dan penyewaan sinyal GSM-R. Lalu ada juga Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dengan PT PLN (Persero). Pembangunan Stasiun Halim yang terintegrasi dengan LRT Jabodebek hingga ongkos relokasi Stasiun Walini ke Stasiun Padalarang. 

Sungguh ironi, negara yang APBNnya bersumber dari utang luar negeri dan pajak rakyat, justru mengambil tindakan untuk membangun sarana transportasi listrik melalui skema utang luar negeri juga melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Apalagi transportasi kereta cepat atau kereta listrik bukan kebutuhan mendesak untuk negeri seperti Indonesia ini.

Negara Gagal dalam Menentukan Skala Prioritas

Pembangunan proyek KCJB ini menghadapkan Indonesia pada situasi sulit dan pilihan yang serba salah antara melanjutkan dan menghentikan proyek. Keduanya memiliki konsekuensi sulit bagi Indonesia. 

Dari sini dapat diasumsikan bahwa pembangunan proyek kereta cepat ini tidak melalui proses berpikir matang dari negara terutama yang berkaitan dengan mitigasi resiko. Semua hal pasti memiliki resiko yang harusnya diperhitungkan matang-matang di awal, dilakukan proses perencanaan sebaik mungkin, tidak terburu-buru mengambil tindakan pembangunan dan infrastruktur. 

Karena pembangunan infrastruktur membutuhkan gelontoran dana besar di tengah kondisi perekonomian negara yang tidak mendukung. Kesalahan fatal juga terjadi ketika proyek ini hanya menghitung dana pembangunan proyeknya saja, namun tidak memperhitungkan secara detail cost-cost lainnya seperti penyewaan sinyal GSM-R, perjanjian jual beli tenaga listrik bersama PLN dan sebagainya. Yang mana cost tersebut cukup besar jumlahnya sebagai salah satu sebab membengkaknya dana proyek di kemudian hari.

Apalagi kondisi hari ini. Tingginya angka pengangguran pada masyarakat yang memaksa mereka harus mencari kerja hingga ke luar negeri dengan berbagai resiko yang didapatkan, seperti kelaparan dan stunting akibat kemiskinan yang jumlahnya kian tahun kian meningkat. 

Hal ini menjadi bukti abainya negara terhadap jaminan kesehatan publik. Kondisi rakyat yang tinggal di kolong jembatan, tinggal di saluran drainase, di rumah kardus, dan kondisi rakyat yang tidak memiliki tempat hunian yang layak masih menjadi daftar permasalahan pelik negeri ini. 

Buruknya layanan publik seperti akses jalan, baik di wilayah perkotaan bahkan lebih parah di daerah-daerah. Masyarakat telah mengetahui dan merasakan bagaimana buruknya akses jalan ini.  Harusnya ini menjadi prioritas yang wajib diurus oleh negara, bukan membangun proyek kereta cepat serta jalan tol yang bukan kebutuhan urgent bagi rakyat. 

Jikapun melakukan pembangunan, membangun sarana tempat tinggal bagi rakyat lebih dibutuhkan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) mengatakan akan mengucurkan Rp30,38 triliun untuk 230 ribu unit rumah bersubsidi pada 2023. 

Jika dana untuk pembangunan proyek KCJB menghabiskan anggaran sekitar 76,95 triliun (sebelum membengkak menjadi 110 T), artinya dana pembangunan KCJB akan bisa membangun ratusan ribu unit rumah subsidi bagi rakyat Indonesia. 

Atau membangun perumahan korban bencana seperti gempa dan banjir yang hingga hari ini belum disentuh oleh pemerintah seperti korban gempa Lombok dan Donggala. Atau dana tersebut bisa dipakai untuk jaminan makanan minuman halal dan thayyib bagi rakyat yang terjerat masalah gizi buruk dan stunting akibat kemiskinan akut yang melanda rakyat hari ini.

Terlebih sumber dana yang digunakan untuk proyek tersebut adalah dari dana utang. Ini pasti menjadi bencana tersendiri bagi negara. Karena negara harus menanggung pembayaran utang pokok juga bunga utang. 

Apalagi besaran bunga utang pembangunan KCJB belum disepekati oleh kedua belah pihak. Lepas dari itu, membangun infrastruktur dari dana riba adalah haram dalam pandangan syariat. Apalagi utang luar negeri mengancam kedaulatan negara. 

Utang adalah instrumen yang akan senantiasa membuat rakyat menderita. Dengan utang, negara-negara kapitalis akan menekan dan melakukan intervensi bahkan bisa menduduki wilayah negeri-negeri muslim.

Pembangunan Infrastruktur dalam Daulah Islam

Pemerintah sudah seharusnya berbenah secara sistemis. Sebab sampai kapanpun pembangunan yang dilakukan tidak akan tepat sasaran dan hanya membuang-buang anggaran selama sistem yang digunakan adalah kapitalisme demokrasi. 

Karena sistem ini akan terus memberi celah bagi masuknya para oligarki dan penguasa yang bekerjasama dengan oligarki atas nama investasi dan pembangunan infrastruktur semata atas tujuan mendapatkan keuntungan pribadi. 

Kita pasti masih ingat dengan kasus Wisma Atlit yang hingga kini mangkrak. Negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah yang sangat mungkin bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat yang lebih mendesak di tengah kondisi rakyat yang memang sangat membutuhkan perhatian dari negara. 

Pembangunan infrastruktur tidak tepat sasaran juga asal-asalan akan terus berulang dalam sistem hari ini, seperti pembangunan jalan dan jembatan di salah satu wilayah di Kalimantan yang belum diresmikan namun jembatan telah ambruk. Sungguh pembangunan yang sia-sia, hanya menghabiskan anggaran negara.

Berbeda dengan Islam. Islam memiliki skala prioritas yang jelas, baik yang berhubungan dengan peri’ayahan rakyat atau dalam pembangunan infrastruktur. 

Walau negara Islam melakukan pembangunan secara fisik, namun negara tidak abai akan jaminan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Rakyat akan tetap mendapatkan pelayanan dari negara berupa sandang, pangan papan. Juga pelayanan kesehatan dan pendidikan. 

Pembangunan infrastruktur tidak lantas membuat negara abai terhadap pelayanan kebutuhan rakyat yang lainnya. Apalagi Islam memiliki tujuan bahwa pembangunan untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. 

Jadi pembangunan dalam negara Islam tetap berorientasi untuk pelayanan bagi umat dan rakyat yang hidup dalam daulah. Seperti pembangunan mega proyek Hijaz Railway  atau jalur kereta api Hijaz. Proyek ini dibangun pada masa Khilafah Utsmaniyyah pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. 

Jalur ini membentang antara Damaskus-Amman sampai ke Madinah. Pembangunan kereta api Hijaz ini adalah mega proyek di zamannya, yang pembangunannya tidak menggunakan dana riba. Sebab Islam tidak akan asal-asalan melakukan utang luar negeri apalagi yang berbasis riba. 

Dana pembangunan kereta api Hijaz bersumber dari kas negara, kantong pribadi Sultan Abdul Hamid II, didukung sumbangan dari kaum muslim, angkatan bersenjata, hingga tokoh-tokoh masyarakat saat itu.

Islam sebagai negara superior yang independen tidak menggantungkan diri pada negera lain, termasuk dalam mekanisme pendanaan dalam pembangunan dan infrastruktur. Sebab Islam memiliki sistem ekonomi terbaik yang didalamnya mengatur mekanisme kepemilikan dan pengelolaan SDA. 

Dari mekanisme pengelolaan yang tepat ini akan menghasilkan surplus dana bagi daulah, yang kemudian digunakan untuk kesejahteraan, pelayanan dan jaminan hajad hidup rakyat hingga dana untuk pembangunan berbagai infrastruktur dalam daulah. 

Jika telah ada mekanisme dan tata kelola yang telah terbukti membawa kemaslahatan bagi umat dan dunia saat itu, maka sudah selayaknya negeri ini menerapkan sistem yang pernah ada tersebut agar Indonesia terlepas dari berbagai keterpurukan seperti hari ini.



Oleh: Rahmania, S.Psi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar