Topswara.com -- Tanah Papua merupakan maha karya ciptaan Allah SWT yang dianugerahkan bagi negara Indonesia. Selain merupakan pulau paling besar di Indonesia dan terbesar kedua di dunia setelah Pulau Greenland(Denmark), Papua dikenal memiliki keindahan alam yang mempesona.
Gugusan pulau-pulau di Raja Ampat, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Danau Sentani, Lembah Baliem dan Pulau Biak adalah beberapa destinasi wisata alam yang sangat terkenal, bahkan sampai ke manca negara.
Selain pemandangan alam yang indah, Papua juga menyimpan potensi Sumber Daya Alam(SDA) yang berlimpah, yaitu emas,tembaga, batu bara, besi, batu kapur, pasir kaolin, minyak bumi dan gas alam.
Meski saat ini tambang emas di Papua bukan yang terbesar di dunia, tetapi pada 2021 produksi emas PT Freeport Indonesia(PTFI) yang dihasilkan dari kompleks pertambangan emas dan tembaga Grasberg, Mimika mencapai 1,37 juta ons( databoks.katadata.co.id 15/02/2022).
Ironisnya, keindahan dan kekayaan alam tanah Papua berbanding terbalik dengan kehidupan dan kondisi sosial ekonomi rakyat Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Papua menjadi propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Maret 2022, dengan persentase penduduk miskin tercatat mencapai 26,56 persen.
Sudahlah miskin, tanah Papua sampai saat ini seakan tidak pernah lepas dari serangkaian tindak kekerasan dan konflik bersenjata yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok separatis pendukung kemerdekaan Papua. Dan korban terbesar sudah pasti dari kalangan warga sipil.
Sejarah dan status politik integrasi ke Indonesia merupakan salah satu akar masalah konflik di Papua. Kabarnya keputusan penduduk dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tidaklah murni, tetapi hanya legalitas, demi hegemoni atas wilayah yang kaya dengan SDA ini. Seolah olah rakyat Papua tidak memiliki kebebasan menentukan nasibnya sendiri.
Demikian pula dengan operasi militer yang bertujuan mempertahankan kekuasaan pemerintah Indonesia terhadap wilayah Papua dari gerakan separatisme, khususnya kelompok masyarakat yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) nyatanya juga tidak bisa memberikan jaminan keamanan pada rakyat Papua. Karena teror dan kekerasan terhadap warga sipil maupun aparat pemerintah masih terjadi.
Penempatan militer hanya dianggap sebagai upaya keamanan, bukan operasi militer. Karena dianggap menimbulkan masalah baru di Papua. Masyarakat Papua justru memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak pernah ada pertanggung jawabannya.
Kedua hal tersebut sudah cukup membuat menimbulkan stigma bagi masyarakat Papua sebagai warga negara yang termarjinalkan.
Pembangunan di Papua juga dianggap kurang berhasil karena warga gagal memperoleh penghidupan yang layak. Fasilitas kesehatan, pendidikan, apalagi perekonomian jauh dari kata memadai. Padahal, dari dalam bumi Papua ini dikeruk berbagai mineral tambang, terutama emas dan tembaga dalam jumlah besar. Sungguh suatu hal yang kontradiktif dengan kondisi kehidupan rakyatnya.
Upaya untuk menyelesaikan kekerasan dan konflik di Bumi Cenderawasih dengan pembangunan fisik dan sosial, pemberian otonomi khusus (otsus) dan pemekaran wilayah belum membuahkaan hasil. Karena solusi itu tidak menyentuh akar permasalahan konflik di Papua, tetapi lebih menitikberatkan pada kepentingan ekonomi. Inilah realita di negara yang menganut sistem kapitalisme.
Ketidakpuasan rakyat Papua atas hasil Pepera, mestinya disikapi pemerintah Indonesia dengan pendekatan dialog yang humanis antara pemerintah pusat dengan tokoh-tokoh yang merupakaan representasi masyarakat Papua. Dialog haruslah mengakomodir aspirasi seluruh kelompok kepentingan yang ada di Papua.
Pemerintah harus secara tegas menangkap dan menghukum para pelaku kekerasan dan pelanggar HAM tanpa pandang bulu. Karena syariat Islam memerintahkan pelaku kejahatan akan dihukum sebagaimana kejahatan yang telah di lakukan.
Membunuh seorang tidak berdosa, sama halnya menghilangkan seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah ysng artinya “Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.”(TQS. Al Maidah ayat 32)
Dalam hal kesejahteraan rakyat, Islam mengharuskan negara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Papua yang meliputi sandang, pangan, papan, termasuk kesehatan dan pendidikan. Wilayah Papua dengan SDA yang melimpah harus terjaga dan terpelihara dengan baik. Hasil tambang, misalnya, termasuk kekayaan bersama milik rakyat yang tidak boleh didominasi individu atau kelompok.
Syariat Islam mewajibkan negara mengelola kekayaan alam milik umat dan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Sistem pemerintahan Islam mencegah adanya intervensi asing. Haram hukumnya bagi asing ikut campur, apalagi sampai menguasai aset-aset penting dan vital yang seharusnya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat luas.
Ini berarti negara harus berdaulat, mandiri dan mempunyai wibawa di kancah internasional. Sehingga tidak mudah diintervensi negara lain
Dalam politik Islam, negara hanya akan bekerjasama dengan negara-negara asing yang murni mengajak bekerjasama, bukan dengan negara-negara yang akan mengancam kedaulatan wilayahnya.
Inilah keunggulan syariat Islam sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi seluruh problematika kehidupan, termasuk penyelesaian konflik di Papua. Masihkah kita ragu mewujudkan Indonesia yang berkah dengan penerapan Islam secara kaffah?
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh: Puji SR, S.ST
Sahabat Topswara
0 Komentar