Topswara.com -- Aneh tetapi ini nyata dalam penegakan hukum sekarang. Nasib Muhammad Hasya Atallah Saputra mahasiswa FISIP Universitas Indonesia (UI) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas, padahal ia sudah meninggal akibat kecelakaan tersebut.
Kasus ini terjadi pada hari Kamis (6/1/2023) malam WIB, Hasya mengendarai motor di daerah Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan beriringan dengan motor temannya. Tiba-tiba sebuah motor di depannya melaju lambat. Hasya mengelak, kemudian mengerem mendadak sehingga motor Hasya jatuh ke sisi kanan.
Tidak lama kemudian, dari arah berlawanan, sebuah mobil SUV yang dikemudikan mantan Kapolsek Cilincing, AKBP (Purn.) Eko Setio Budi Wahono melintas dan melindas korban. Seorang saksi meminta pengemudi mobil membawa Hasya ke rumah sakit (RS). Namun, Eko menolaknya. Akibatnya, Hasya tidak bisa cepat dibawa ke RS untuk mendapatkan pertolongan. Tidak lama setelah tiba di RS, Hasya dinyatakan meninggal dunia. (Republika, 29/1/2023).
Kompolnas menyatakan bahwa Eko dengan kendaraannya menabrak Hasya tidak memenuhi unsur untuk dijadikan tersangka. Sedangkan korban ditetapkan sebagai tersangka karena penegak hukum menilai Hasya telah mengambil jalur secara mendadak karena menghindari kendaraan yang sedang berbelok. Hasya dinilai melakukan kelalaian sehingga menghilangkan nyawanya sendiri.
Belum lama dari kasus ini, sebelumnya publik dikejutkan dengan keputusan penegak kasus tentang kasus Ferdy Sambo yang melakukan rekayasa kasus sehingga seolah-olah korban (Yosua) yang bersalah. Hal ini tentu mencederai keadilan penegak hukum di negeri ini.
Dimana profesionalisme penegak hukum? Masyarakat geram dan mempertanyakan profssionalisme lembaga ini. Penetapan Hasya sebagai tersangka. Umumnya, penetapan seseorang sebagai tersangka adalah rangkaian proses pidana yang arahnya adalah persidangan. Nah, ketika Hasya sudah meninggal, maka penetapan tersangka terhadap Hasya tidak perlu lagi.
Hal itu justru menambah beban keluarga yang sudah kehilangan sang putra sehingga makin sedih. Seharusnya, aparat bisa bersikap profesional dengan menjaga perasaan keluarga.
Inilah kenyataan pahit penegakan hukum di negeri ini, hukum tumpul kepada mereka yang punya kekuasaan dan uang. Penegak hukum tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga menghasilkan keputusan yang tidak masuk akal.
Ini merupakan contoh kasus yang menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam sistem kapitalistime tidak bekerja secara profesional. Sebelumnya, sering terjadi kasus yang membuktikan ketidakprofesionalan penegakan hukum. Misalnya penangkapan dan pemberian hukuman pada seorang nenek yang mencuri makanan karena kelaparan. Sementara itu, banyak para oknum pejabat yang terlibat kasus korupsi ternyata malah bebas.
Seharusnya penegak hukum adalah yang seharusnya mengayomi rakyat dan bertindak secara adil. Sudah seharusnya ketika rakyat mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, hendaknya penegak hukum segera memenuhinya digarda terdepan tanpa harus melihat apa jabatan serta kondisi keuanga mereka.
Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berwenang mengatur suatu urusan manusia, lalu ia menutup diri (dari) orang yang memiliki kelemahan dan kebutuhan, niscaya Allah akan menutup diri dari dirinya kelak pada hari kiamat.”
Sudah selayaknya penegak hukum adalah alat utama negara dalam menjaga keamanan. Slogannya melayani rakyat seharusnya menjadi pengingat untuk terus melayani rakyat tanpa melihat status dan materi.
Oleh karenanya, polisi harus kembali dikembalikan perannya sehingga mempunyai karakter terbaik manusia yang mengedepankan keikhlasan, akhlak baik, tawaduk, tidak sombong dan arogan, kasih sayang, tindak tanduknya baik, seperti murah senyum, mengucapkan salam, menjauhi perkara syubhat, bijak dan lapang dada, menjaga lisan, berani, jujur, amanah, taat, berwibawa, dan tegas. Dengan demikian, rakyat akan mendapatkan perlindungan dari segala mara bahaya.
Selain perkara personal penegak hukum, pelaksanaan tugas penegak hukum harus didukung oleh sistem yang menaunginya. Keberadaan sistem kapitalisme sekuler menghasilkan penegak hukum yang mata duitan. Akibatnya, keadilan tegak bagi yang kuat membayar, sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan keadilan.
Inilah urgensitasnya kita memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang satu-satu akan mampu mewujudkan penegak hukum yang adil. Karena hanya dalam hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan sama. baik ia muslim, nonmuslim, pria maupun wanita. Dalam Islam tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak istimewa. Siapa pun yang melakukan tindakan kriminal mendapatkan hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya.
Pada masa Rasulullah, ada seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum melakukan pencurian. Para bangsawan mereka meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah SAW. untuk meringankan hukuman. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW. murka.
Sabda beliau, “Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan. Sedangkan jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR Bukhari).
Inilah bukti bahwa hanya sistem Islam, di sepanjang masa berdirinya berhasil mewujudkan keadilan.
Oleh: Euis Dedah, S.Pd.
Pengasuh Pondok Pesantren Kab. Bandung
0 Komentar