Topswara.com -- Ada apa dengan perpolitikan kita saat ini, kelihatannya makin kesini makin tidak baik-baik saja. Jika biasanya di depan Gedung DPR berkumpul para pengunjuk rasa dari kalangan buruh, mahasiswa, dan grass root, kali ini ribuan kepala desa (kades) rela berpanas-panasan berunjuk rasa di sana. Sudah seburuk itukah jalur komunikasi dari daerah ke pusat sehingga penyaluran pendapat sekelas kades harus lewat jalanan?
Makin miris jika menelaah tuntutan mereka saat ini. Bukan untuk menuntut terkait kemaslahatan warga, tetapi para kades yang terhormat itu malah mendesak revisi pada pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa. Yang menjadi poin pentingnya adalah menuntut masa jabatan 6 tahun menjadi 9 tahun. Demonstrasi segelintir elite daerah ini pun menuai banyak kritik.
Selain dianggap tidak penting, juga berpotensi dipolitisasi dan melanggengkan oligarki di negri ini.
Unjuk rasa sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 menuai polemik. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU Desa, tapi tak sedikit yang justru mengkritiknya.
Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki.
Sebagai gambaran, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hingga 3 kali periode (secara berurutan atau terputus-putus).
Artinya, jika seorang kepala desa terpilih tiga periode secara berturut-turut, maka ia menjabat sebagai orang nomor satu di sebuah desa selama 18 tahun.(tirto.id/19/01/2023).
Dari tuntutan masa jabatan ini terlihat sangat logis, karena singkatnya masa jabatan bisa saja mementahkan program kades yang sebelumnya. Begitu juga adanya alasan pemborosan, jelas pilkades 6 tahun sekali lebih boros daripada 9 tahun sekali, malah seharusnya memang jauh lebih irit jika pilkades tidak ada sama sekali.
Akan tetapi, dari permasalahannya bukan terletak pada masa jabatan ataupun ada dan tidaknya pilkades tersebut, melainkan pada buruknya pengurusan pejabat desa pada warganya, banyak sekali warga yang menuntut dan mengharap di urus oleh kadesnya.
Berapa pun lama masa jabatannya, jika sistem politik yang menjadi pijakannya adalah demokrasi, kebijakan yang lahir pastilah bukan untuk kemaslahatan umat melainkan kepentingan pribadi.
Di sisi lain, hal ini menunjukkan perbedaan paradigma akan makna kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, jabatan dan kekuasaan menjadi alat untuk memperkaya diri, dan memfasilitasi para pengusaha, yang menjadi para penguasa sejati, untuk mencapai tujuannya sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat.
Sama hal nya pesta demokrasi saat memilih presiden, pemilihan kades pun banyak sekali kecurangan dan sogokan, butuh biaya besar jika ingin terpilih menjadi kades. Maka dari itu para kades pun tak luput dari korupsi dan penggelapan dana desa.
Sementara dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dalam mengurus rakyat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, yang wajib terikat kepada hukum syarak.
Yang menjadi syarat calon pemimpin pun tidak sembarangan, dalam sistem saat ini lulus SD pun bisa nyalon jadi kades.
Seharusnya kita makin kesini makin melek akan solusi ruwetnya persoalan ini sebetulnya sudah ada dalam Islam.
Dengan kesempurnaan sistemnya, Islam akan memunculkan para pemimpin yang peduli umat, termasuk pejabat desa. Satu-satunya motivasi dalam menjabat hanyalah karena ridha Allah Ta'ala. Apa pun yang ditetapkan akan senantiasa sesuai syariat Islam dan amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan umat.
Selain itu, sistemnya yang kuat menjadikan politik transaksional tertolak dan secara otomatis memutus masuknya para cukong-cukong politik. Dari sini akan terlahir kebijakan yang pro umat tanpa ada intervensi dari pihak luar. Sifatnya yang sentralistis juga menjadikan komando terpusat pada pusat (khalifah).
Sungguh, dalam Islam, masa jabatan kades seperti ini tidak akan menjadi soal karena fokus utamanya adalah melayani umat. Jika kita ingin mendapatkan kades yang peduli umat, jalan satu-satunya adalah mengubah sistem politik demokrasi menjadi sistem Islam dan ini hanya bisa dilakukan melalui sistem pemerintahan khilafah.
Oleh: Fitri Khoirunisa, A.Md.
Aktivis Muslimah Kubu Raya
0 Komentar