Topswara.com -- Badan Pangan Nasional latau Bapanas mengungkapkan, penyaluran beras medium dalam rangka Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Beras terus diperluas dan ditingkatkan dengan mendorong beras Bulog ke penjualan ritel.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi mengatakan, langkah ini dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan SPHP sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka stabilisasi harga beras di tingkat konsumen.
Melalui langkah ini, beras medium yang digelontorkan dalam program SPHP Bulog tidak hanya bisa didapatkan di Kanwil Bulog atau pasar-pasar tradisional, tetapi juga di warung sekitar pemukiman warga, toko-toko rumah pangan kita (RPK) Bulog, dan ritel modern baik secara daring maupun luring.
Terlepas dari harga beras di Indonesia yang entah termurah atau termahal dibandingkan dengan negara lain, tetapi sebuah fakta bahwa harga beras Indonesia tidak pernah stabil dan cenderung terus meningkat. Tidak ada yang bisa membantahnya. Jangankan lembaga riset, masyarakat awam pun mengetahui dengan cermat kenaikan setiap rupiahnya.
Setiap harinya, mereka yang berupah di bawah UMR atau yang bekerja serabutan apalagi yang menganggur akibat PHK selalu waswas. Kian hari harga pangan kian naik. Bukan hanya beras, melainkan juga pangan pokok lain, seperti telur, minyak, dsb. Belum lagi kebutuhan hidup, seperti pulsa, air, listrik, dan BBM, semua mencekik.
Walhasil, masyarakat makin tidak mampu membeli pangan lengkap dan sehat. Sudahlah SNI ‘beras sukarela’ alias tidak wajib sehingga kualitas beras yang beredar di pasar tidak dijamin oleh negara, masyarakat sekarang membeli bahan makanan agar yang penting kenyang.
Tingkat kemiskinan yang makin tinggi telah menyebabkan banyak keluarga lebih memilih pangan murah. Para ibu akhirnya lebih memilih membeli sekadar karbohidrat daripada protein dan lemak, alih-alih buah-buahan untuk ketahanan pangan keluarga.
Akhirnya, nutrisi keluarga tidak terpenuhi, ibu anemia, para bayi berisiko stunting, hingga anak-anak usia sekolah jadi lambat berpikir. Semua ini berawal dari kondisi kurang gizi akibat akses pangan sehat yang tidak lancar.
Sebenarnya, problem tingginya harga pangan dan turunnya daya beli masyarakat ini tidak bisa terlepas dari akumulasi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Kebijakan yang demikian tidak bisa pula dilepaskan dari penerapan ekonomi kapitalisme diakui atau tidak telah menjadi pakem dalam melahirkan seluruh kebijakan.
Kebijakan intensifikasi pertanian, misalnya, malah makin membuat lesu produktivitas pertanian. Pengurangan subsidi pada pupuk, benih, dan saprodi jelas membuat ongkos produksi jadi makin mahal. Pada saat yang sama, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar.
Walhasil, harga pangan lokal kalah bersaing dari harga pangan impor,Jika sudah begitu, gairah petani untuk menanam pun memudar. Terjadilah penurunan produksi yang menyebabkan ketersediaan pangan turut berkurang. Bukankah ini ancaman bagi kedaulatan pangan?
Kebijakan ekstensifikasi pertanian juga tidak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Bukankah ini pula penyebab menurunnya produksi pangan?
Selain kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kebijakan yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada produksi, sedangkan distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar. Uang menjadi pengendali tunggal dalam distribusi. Akhirnya, pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu, tetapi tidak pada kaum miskin.
Seluruh kebijakan yang berlandaskan sistem ekonomi kapitalisme ini didukung dengan sistem pemerintahan demokrasi yang rapuh yang hanya bisa menghasilkan penguasa rasa pengusaha. Seperti terkait memberantas mafia beras, pemerintah seolah mandul dan kondisi ini telah nyata membuat rakyat menderita.
Sungguh berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berdiri di atas hukum syarak yang seluruh kebijakannya akan berfokus pada kemaslahatan umat. Setidaknya ada dua kebijakan dalam sistem Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Pertama, kebijakan yang dapat memperkuat kedaulatan pangan, yaitu intensifikasi dengan mempermudah petani dalam hal produksi. Subsidi bukanlah beban, melainkan satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang akan menjaga ketersediaan. Begitu pun ekstensifikasi, pemerintah akan hadir untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pemerintah akan menjaga agar alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Kedua, harga bukan satu-satunya hal dalam pendistribusian harta. Negara akan bertanggung jawab terhadap pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pangan.
Contohnya, negara menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan tanah mati dan pemagaran apabila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Kebijakan yang demikian ini bisa terwujud jika negara memiliki peran sentral dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Kebijakan yang berfokus pada umat hanya akan bisa kita dapatkan dalam sistem pemerintahan Islam, bukan demokrasi. Selain karena sejarah membuktikan bahwa hanya peradaban islam yang dapat menyejahterakan penduduknya dengan sebaik-baik pengurusan.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar